Jumat, 30 Agustus 2013

(Fanfic: Oneshot) - - My Sweet Moment - -


(Maincast: Exo's member Jongdae and The girL) 


***


Menyukai seseorang itu membutuhkan mental kuat dan hati yang besar. Mungkin aku akan menjadi bahan olokkan teman-temanku karena menyukai teman laki-laki terlebih dahulu. Namun kupikir tak ada aturan undang-undang yang melarang hal itu.

Awalnya aku ingin menyimpan rapat-rapat perasaanku ini, tapi sepertinya aku salah memilih teman curhat karena rupanya teman sebangku itu tidak bisa menyimpan rahasia. Mulutnya tak berhenti berkicau ketika dengan mudahnya kuceritakan mengenai adanya teman sekelas yang tengah kutaksir. Alhasil setiap kali teman-teman sekelas melihatku yang tak sengaja berpapasan dengannya, sorakan itu menggema tanpa bisa dikendalikan.

Wajahnya memang tidak rupawan. Ia juga bukan termasuk murid yang pintar. Ia sangat jahil. Ia juga bukan dari keluarga kaya. Tapi ada sesuatu dari dirinya yang berhasil mencuri hatiku. Ketika pelajaran seni musik, ia merupakan penyanyi yang handal dan nada tingginya begitu melengking hingga dapat membuat bulu kuduk meremang siapapun yang mendengarnya.

Benar. Aku tertawan oleh suara merdunya. Ia membuatku terpukau dengan bakat langka yang tidak dimiliki oleh kebanyakkan orang. Bait demi bait yang ia nyanyikan menghipnotisku. Terlebih saat ia menyanyikan lagu berjudul Hug milik DBSK.

Aku sudah menahan perasaan ini selama berbulan-bulan. Jika aku tidak mulai mendekatinya terlebih dahulu, ia tidak akan pernah tahu dan kemungkinan besar ia akan menyukaiku tidak sampai 50% jika aku diam saja. Aku juga tidak pernah tahu berapa banyak perempuan yang menaruh hati padanya dan siapa perempuan yang tengah disukainya. Kalaupun ada, yang pasti perempuan itu bukanlah aku.

Aku tidak peduli apakah ia tahu aku menyukainya. Aku juga tidak peduli kalau dia menolakku saat aku menyatakan perasaanku terlebih dahulu. Jika teman-teman semakin menggodaku, ku anggap itu sebagai resiko kecil, meski aku tidak yakin mentalku bisa sekuat itu.

Dan inilah saatnya.

Bel pulang sekolah menyentak jantungku membuat wajahku pucat pasi. Dadaku berdebar tak karuan ketika kulihat dari sudut mataku ia berjalan keluar kelas dan aku mengekor dibelakangnya sambil menjaga jarak.

Ia menuju ke arah parkiran lalu mengeluarkan sepeda motornya. Aku menoleh ketika teman sekelasku menyapaku tak jauh dari tempatku berdiri. Temanku menatapku khawatir, mengira aku terkena demam karena ia bilang wajahku merah dan sedikit gemetaran, cara berjalanku juga seperti robot.

Ya Tuhan, sebegitu kentarakah diriku?

Tapi hal itu lebih baik daripada temanku mengetahui alasan sebenarnya dari sikap anehku ini.

"Kau yakin tak apa-apa? Wajahmu pucat dan terlihat demam." Aku menggeleng berakting lemah, menundukkan kepalaku agar tidak semakin terlihat rona diwajahku.

Yah! Lebih baik berakting.

"Mungkin aku sedikit demam. Apa ada teman sekelas yang masih belum pulang?" Aku menjawab dengan suara yang kubuat selemah mungkin.

"Aku tidak tahu. Tapi mereka belum. Dan aku tidak dekat dengan mereka." Ucap temanku menunjuk gerombolan anak laki-laki yang tidak jauh dari kami. Tiga dari lima anak laki-laki tersebut adalah teman sekelas kami.

Aku membeku. Apakah ini saatnya?? Apakah aku harus berakting lemah juga dihadapannya dan memintanya mengantarkanku pulang?? Bagaimana jika ia membenciku saat teman-teman mulai menggodai kami??

Bagaimana ini??

Aku pura-pura batuk, "Mungkin aku harus meminta salah satu dari mereka untuk mengantarku pulang." Ucapku sedikit tercekat, berharap semoga temanku tidak tahu rasa gugup yang tengah menguasai tubuhku.

"Baiklah, aku akan menemanimu berbicara dengannya." Aku menoleh kearah temanku.

Ya Tuhan!! Ia tahu. Ia baru saja menyebutkan satu objek dalam pembicaraan kami.

Temanku lantas tersenyum, "Tidak apa-apa, jika kau tidak melakukannya sekarang, bisa tidak ada lain kali. Kau sedang sakit, mungkin ini satu-satunya kesempatanmu."

Aku berdiri tegang menatapnya. Bersyukur temanku tidak curiga bahwa aku sedang berpura-pura sakit. Ku genggam tangannya agar menguatkanku.

"Jangan jauh-jauh dariku."

Kakiku terasa berat saat melangkah. Jalanku mungkin sudah melebihi kakunya robot rakitan. Kami mendekati gerombolan siswa itu. Ada salah satu anak laki-laki yang menyadari kedatangan kami dan menunjuk kami dengan dagu. Semuanya menoleh. Ada yang menatap bingung, ada pula yang sudah senyam-senyum.

Aku berdiri disampingnya. Saat ini, ia tengah duduk di jok motornya menoleh kearahku. Aku tahu ia mengenaliku karena tadi ia langsung menegakkan tubuhnya begitu aku mendekatinya.

"Jo...jongdae-ssi, apa kau sibuk?"

Mesti tak kentara, aku yakin sempat melihatnya sedikit terkejut sedetik tadi.

"Tidak juga." Ia mengangkat bahunya pelan. Tersenyum kecil.

Aku mengangguk-angguk canggung, "Mmm...sepertinya aku sedikit tidak enak badan. Bisakah.... aku meminta bantuanmu mengantarkanku pulang? Rumahku mungkin sedikit jauh....sekitar 10 menit dari sekolah." Aku terbata mengutarakan kalimatku yang sudah kususun serapi mungkin.

Sudah kuduga, teman-temannya mulai bersiul menggoda kami. Jongdae tak tinggal diam. Ia berusaha menghentikan mereka ketika melihatku menundukkan wajahku yang sudah merah padam.

Jongdae kembali menatapku, "Aku tidak keberatan, tapi apa tidak apa-apa?" Ucapnya seraya mengedikkan kepalanya pada teman-temannya yang tengah menatap kami penuh arti.

Kupikir, ia sedikit khawatir tentang kemungkinan aku akan digoda habis-habisan lagi oleh mereka. Apa boleh buat? Aku hanya bisa pasrah. Nasi sudah menjadi bubur. Dan aku hanya menjawabnya dengan gelengan pelan menahan malu sebisaku.

"Naiklah." Jongdae mulai menyalakan mesin motornya.

Aku menoleh kebelakang berpamitan pada temanku. Dan aku tidak tahan dengan mulut besar teman-temannya yang bersiul-siul menyebalkan. Besok berita ini pasti akan menjadi topik super panas dikelas. Sayang sekali mereka tidak bisa langsung menyebarkannya.

Motor melaju dengan pelan. Dan aku beruntung memiliki sifat yang mudah tergelitik oleh sesuatu yang membuatku penasaran sehingga tidak akan ada orang yang merasa canggung ketika berada didekatku. Namun belum sempat aku berbicara, ia sudah memulainya terlebih dahulu.

"Maaf tentang teman-temanku tadi. Kau pasti sangat malu ya?"

"Tidak apa-apa." Sahutku. Menikmati semilir angin yang menerpa wajahku. Hatiku berdesir bukan main mengetahui ia kembali mengkhawatirkanku.

Lalu kami pun terdiam.

"Jongdae-ssi, apa kau tidak membenciku?" Tanyaku tiba-tiba dengan sedikit mencuri kesempatan mendekatkan daguku di bahunya, meski dadaku tidak menempel tapi rambut pendeknya sedikit menusuk-nusuk pipiku

"Kenapa aku harus membencimu? Ada-ada saja." Ia terkekeh pelan.

"Kupikir karena teman-teman sekelas selalu menggodaimu karena aku, kau jadi membenciku."

"Kau ini lucu. Aku tidak merasa seperti itu. Santai saja."

Lagi-lagi kami terdiam. Selanjutnya Jongdae bertanya dimana rumahku dan waktu terasa begitu singkat karena kami sudah tiba didepan rumah.

"Mampirlah."

"Lain kali saja. Tidak enak mampir kerumah dengan memakai seragam sekolah." Tolaknya sopan. Aku mengangguk mengerti.

"Terimakasih Jongdae, maaf sudah merepotkanmu." Aku membungkuk padanya. Ia tersenyum manis membalasku setelah mengatakan bahwa ia sama sekali tidak merasa direpotkan.

Tak lama ia pun pamit dan berbalik arah melajukan motornya meninggalkanku yang masih melihatnya hingga menghilang dari kejauhan.

Aku menarik napas pelan.

Tidak apa-apa. Tidak usah terburu-buru. Berteman saja dulu. Maka semuanya akan mengalir seiring berjalannya waktu.

Aku membalikkan badan meraih pintu pagar, namun kembali sudut mataku menangkap sesuatu dari kejauhan. Aku nyaris berhenti bernapas ketika ia tampak kembali lagi dan menghentikan motornya tepat didepanku.

"Ada apa?" Tanyaku heran melihatnya tampak terengah mengatur napas, padahal ia tidak baru saja berlari.

"Apa benar kau menyukaiku?" Tembaknya langsung.

"Hah???"

"Tidak. Jangan dijawab. Berikan nomor ponselmu. Kau baru saja berhasil membuatku berpikir bahwa kau tidak pantas mendekati pria terlebih dahulu."

"A...apa??" Aku masih terperangah.

Jongdae menarik napasnya. Sedikit berpikir mencari kalimat apa yang tepat untuk di ucapkan. Herannya aku dengan sabar menunggu sampai ia mengatakan sesuatu. Ia kemudian memegang kedua bahuku dan mengguncangnya pelan.

"Kita mulai pendekatan dari situ. Setuju?!"

Mungkin aku terlalu lama mencerna kalimatnya. Namun jika semenit kemudian reaksiku terlihat berlebihan karena tertawa dan sedikit berjingkrak, itu karena aku tak kuasa menahan gejolak di hatiku.

Jongdae tertawa melihat tingkahku dan mengacak rambutku gemas.

.
.
.

Sekarang aku percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita berani mencoba. Meskipun itu cinta. Apapun itu hasilnya. Baik atau buruk. Berhasil atau gagal. Diterima atau ditolak. Semua itu akan selalu menjadi misteri dan menjadi sebuah kejutan tak terkira di masa depan.


The End


Eng ing enggg~~~~ I'm back~~
Tumben banged ya maincastnya Jongdae,,
Cerita ini terinspirasi dari curhatan adekku mengenai teman sekelasnya yang cukup berani mendekati orang yang tengah disukai.
Dan hasilnya adalah.....................

Okai enjoy it,,