Rabu, 23 November 2011

(Fanfic: Oneshoot) - - The Arrogant - -

(Maincast: Cho Kyuhyun, Lee Donghae, and The girL)                                    


      

* * *


Hatiku........
tak lebih hanyalah sebuah organ yang berfungsi sebagai penyerap zat racun yang masuk kedalam tubuh.


Hatiku........
terasa kini makin menghitam karena rasa angkuh, iri, dengki, serta tak pernah merasa puas diri.


Hatiku.........
bisakah tak menyimpan lebih dari satu hati??


Hatiku........
rakus........




* * *


Seoul, Sunday, 09.33 Am (13 Rooms)


Aku membuka mata, memaksa diri merefresh ulang otakku yang membeku. Bahkan hingga pergantian hari rasanya masih tetap sama. Saat mengerjap, seakan ada bola kelereng menyangkut di kedua pelupuk mataku, berat, akibat menangis semalam.


Aku masih bertahan diposisiku, nyaris tak bergerak, hanya nafasku yang berhembus teratur, terlentang memandang langit-langit kamar, sibuk dengan pikiranku yang masih sama, tanpa jawaban.


Tubuhku terasa kaku. Lemas rasanya.


Aku tidak bergadang, tapi aku juga tidak tidur. Aku hanya memejamkan mata, meredam tangis, menahannya agar tidak merebak dan mengalir dalam tempo cepat hingga menyisakan sesak didada.


Malas rasanya beraktivitas, ah tidak, aku memang tidak memiliki aktivitas selama 6 bulan ini. Hampa, itulah yang kurasakan.


Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Hanya 1 yang kusadari, aku orang yang tak memiliki tujuan hidup. Aku orang yang telah ditinggalkan.


Hal yang menyebabkan aku seperti ini tak lebih karena aku terlalu memanjakan rasa angkuh, iri, dengki, serta ambisi yang terlalu lama bersarang didalam tubuhku, hingga aku nyaris gila, frustasi.


Aku merubah posisi tidurku, menyamping menghadap kearah jendela yang masih tertutup gorden. Diluar sana tampak begitu terang, sudah tinggikah matahari??


Aku kembali menyadari 1 hal, yang kini bertambah menjadi 2. Diriku tak lebih sebuah kamar yang sedang kutempati saat ini, gelap, namun tampak begitu terang diluar. Aku terlalu lama berpikir sendiri, bergelut dengan duniaku yang tak pernah nyata, nyaris fana dan tak terjamah.


Aku mengerjap, ketika kurasakan siluet bayangan menghalangi pandanganku pada jendela, dengan sekali sibak, cahaya itu mulai merasuk memenuhi retinaku, tanpa ampun. Lenganku refleks menjadi penyelamat, menutupi mataku hingga mampu menyesuaikan diri dengan cahaya.


Kudengar suara langkah berjalan mendekat kearahku.


"Bangun!!!!" Suara berat itu memerintah, menyibakkan selimut dengan kasar.


Kini bisa kulihat wajahnya. Otakku memaksa kembali menyusun memori pada lekuk wajah rupawan pria didepanku, mencari sebuah nama yang selalu memenuhi pikiranku selama 6 bulan ini. Hingga pada akhirnya membuatku nyaris lupa saking terkejutnya.


Dia disini, Cho Kyuhyun.


"Kau benar-benar kacau. Seperti ini kau bilang bisa hidup tanpaku?!"


Aku bahkan belum menyesuaikan diri dengan suaranya, merasa bahwa ini masih ilusi, tapi dia sudah merecokiku seperti biasa.


"Kau....bagaimana bisa masuk??" Ucapku serak. Bukan, bukan ini yang ingin kutanyakan. Tapi aku hanya ingin menyatakan padanya bahwa, 'Kau....kembali'. Ia menjawab pertanyaanku dengan menunjukkan kunci duplikat dijarinya.


"Ayo bangun!!!"


Tangan besarnya menarik tanganku yang dengan sigap langsung menahan bahuku ketika ia memaksaku duduk hingga nyaris terkulai kembali keranjang. Aku memandangnya nanar, pada akhirnya dia pun melihatku seperti ini, kacau, sama seperti yang dikatakannya.


"Kau benar2 bodoh."


Dia masih saja senang memakiku, tapi dari situlah aku tahu bahwa dia memperhatikanku. Matanya menelusuri wajahku, mempelajarinya secara menyeluruh, seakan membaca apa yang terjadi padaku selama ia tak ada.


"Kau mengundurkan diri eh??" Tebaknya tepat sasaran. Aku menggeleng, yang justru ditangkapnya sebagai arti mengiyakan. Aku menundukkan kepala, semakin muram.


Bekerja sebagai pialang saham tidaklah mudah, sangat menekanku untuk mendapatkan Client, ditambah lagi jika dana yang ditransaksikan terseret hingga jutaan won, seorang pialang harus mampu memberikan penjelasan masuk akal sesuai dengan News pada Client di hari itu.


"Teman2mu juga satu per satu meninggalkanmu, dan kau sangat merindukan keluargamu, sedangkan kau masih belum berbuat apa2 untuk mereka, kau merasa gagal, begitukah??" Air mataku merebak, tanpa kompromi mengalir deras begitu saja, dan jatuh diatas punggung tanganku.


Ia membacanya. Ia membaca email yang kukirimkan beberapa bulan yang lalu. Syukurlah.


"Kau...juga sangat merindukanku, begitu yang kau tulis??" Aku semakin tersedu, dengan menekan segenap harga diri, aku berkeluh kesah disana, merasa benar-benar kalah, gagal dan sangat membutuhkan dirinya.


"Kenapa.....kau baru datang??" Isakku pelan, memainkan ujung kaosku yang entah sudah berapa lama belum kuganti. Ia menghela napas iba. Perlahan tangannya menggiring kepalaku menuju dadanya, membenamkan wajahku disana, membiarkanku menumpahkan kegelisahanku, mengijinkan airmataku membasahi kemeja putihnya.


"Karena kau yang memintaku." Ucapannya seketika membuatku mendesakkan kembali ingatan pada kalimat-kalimatku terdahulu, yang membuatnya begitu tersakiti.


"Benarkah?? Aku...lupa, bantu aku mengingatnya." Ia tersenyum, mengelus lembut kepalaku.


"Saat kau mendapatkan pekerjaan untuk pertama kalinya, kau benar2 merasa seperti berada diatas langit, kau lupa pada orang2 yang berada disekelilingmu, workaholic, dan cenderung merendahkan orang lain. Namun begitu kau melihat temanmu hampir menyamai kedudukanmu, kau merasa iri, bahkan dengki. Kau tidak menyukai pesaing."
Ia berhenti sejenak, menggantungkan kalimatnya, membiarkan isakku semakin menjadi, membiarkan rasa penyesalan merasuki tubuhku, merayap dan mencengkeram kuat tepat didadaku.


"Kau sama sekali tidak mendengarkanku, dan malah menyuruhku meninggalkanmu karena aku tidak pernah mendukungmu, kau melupakan masa 3 tahun kebersamaan kita, begitu mudahnya karena kau terlena pada suatu pekerjaan, kau mengagung-agungkan materi, dan merasa kau bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain."
Nada suaranya tercekat, aku semakin tersedu. Seburuk itukah aku??


"Aku sadar, itu bukan dirimu, kau tidak butuh kritikan kala itu, kau hanya butuh dukungan, kau hanya butuh pengakuan dari orang-orang agar menganggapmu hebat, bukankah begitu??"
Aku mengangguk pasrah, mengiyakan semua perkataannya, ia tahu lebih baik mengenai diriku, aku benar-benar buta.


"Kau bahkan menduakanku dengan teman sekantormu itu, Lee Donghae, benar bukan??"
Ia terkekeh saat menyebutkan nama orang ketiga yang sempat merusak hubungan kami. Tak pernah terbayangkan bahwa pria brengsek itu telah berkeluarga.


"Kau memintaku datang pada saat kau jatuh, dan aku menepatinya. Sengaja datang terlambat agar kau memikirkan setiap sikap burukmu, memberimu waktu agar bisa instrospeksi. Aku tahu, kau kini menyesal."


"Iya....aku sangat menyesal. Kumohon maafkan aku." Ia mengelus punggungku, memberi ketenangan disana.


"Tahukah kau hal ini membuatku lega?? Aku yakin kau belajar dari semua kejadian ini. Aku yakin kau bisa hidup jauh lebih baik setelah ini, dan aku yakin kau pasti bisa...... menemukan seseorang yang jauh lebih memahami dan mampu membimbingmu menjadi pribadi yang lebih baik."
Aku terkejut dengan kalimat terakhirnya, mendongak menatapnya, meminta penjelasan. Ia bahkan tak mau menatapku, ia membuang muka. Kami terdiam cukup lama, nyaris penuh emosi dalam drama. Ia kemudian merngangkat tangan kirinya, melonggarkan kelima jari, membuatku mengarahkan pandangan pada benda logam yang membalut kecil di jari manisnya.


Kesadaranku menurun drastis, hatiku makin tercabik, bahkan terkoyak bagai kain usang.


"Kau......"


"Ya, aku sudah bertunangan." Ucapnya tegas. Aku mendengus tak percaya. Pendengaranku masih normal tapi seakan merasa tuli mendadak.


Tolong katakan bahwa ini benar-benar tidak nyata. Bulan apa ini? April mop kah? Dengan airmataku yang masih tampak bercucuran, dan luka yang masih menganga, ia malah menambahkan perasan air jeruk di atasnya, membuatku semakin histeris dalam tangis.


"Kau....brengsek." Umpatku memukul dadanya kuat2, ia diam.


"Aku dijodohkan." Akunya membuat sedikit pembelaan, namun tak mengurangi rasa kesalku yang meluap-luap.


"Dan kau pikir aku peduli?? Brengsek kau."


Aku sama sekali tak ingin tahu dengan siapa ia dijodohkan, aku juga tak peduli bahkan ia bertunangan karena menaruh benih dirahim wanita lain. Dia sama halnya dengan pria yang berselingkuh.


"Untuk apa kau kembali kemari hah?? Kau datang seakan memberikanku kesempatan kedua, tapi kau memberikan kenyataan lain, pria macam apa kau?!" Tangisku semakin menjadi, nafasku tercekat, namun pukulanku melemah.


Aku membenamkan wajah dikedua tanganku, menolak keras saat tangannya kembali mendorong kepalaku kedadanya. Dadaku naik turun dengan deru nafas menahan emosi yang tak terkendali. Kembali kami terdiam dengan pikiran masing-masing, ia memperhatikanku begitu intens, seakan takut tiba-tiba aku berdiri dan gantung diri.


"Pergilah." Pintaku beberapa saat setelah kami terdiam cukup lama, emosiku sudah cukup stabil setidaknya.


"Tidak, sampai aku melihatmu membenahi diri, aku tak mau melihatmu berantakan."


Aku tertawa mengejek, membuatnya mengernyit heran. "Apa yang harus dibenahi?! Aku sudah hancur."


Ia memandangku tak suka. "Kau tidak boleh begini, kau masih muda, kehidupanmu masih panjang. Kumohon bangkitlah."


Melihatnya memohon seperti ini membuat mataku kembali memanas.


"Lalu aku harus bagaimana? Aku benar-benar sudah tak punya siapa-siapa lagi disini." Keluhku pada akhirnya memberitahu kegelisahanku selama ini.


Dia meraup wajahku, menyejajarkan posisi kami yang saling berhadapan. "Pulanglah, kembalilah ke orangtuamu, kau akan lebih baik jika berada ditengah keluargamu."


Aku terpaku, memikirkan beribu alasan bagaimana aku bisa begitu berani pulang dengan tangan kosong jika hanya membawa gelar Sarjana Akuntansi dibelakang namaku. Apa yang akan dipikirkan keluargaku?? Orang-orang di sekitar tempat tinggalku??


Seakan mengerti kegelisahan yang tengah melanda pikiranku, ia kembali berucap. "Tidak ada orangtua yang tidak menginginkan anaknya kembali, meskipun kau belum menjadi orang sukses, keluarga akan tetap menerimamu, kau hanya perlu meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau pasti akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik disana."


Setelah mendengar kalimatnya, seakan ada udara yang memenuhi rongga dadaku, perasaan lega yang tak terkira menyusup begitu saja, membuatku memiliki secercah harapan untuk bangkit.


Kenapa selama ini aku tak pernah berpikir demikian? Orangtuaku selalu menawarkanku untuk pulang kapanpun aku mau, tak pernah ada paksaan dari mereka untuk mengatur hidupku. Aku diberi kebebasan. Aku dimudahkan dalam menjalani hidupku tanpa kekangan.


Saat memikirkan hal itu, rasa rindu kembali melandaku, tangisku pecah, tangis rindu yang selama ini tertahan, tak tersampaikan secara langsung dari bibirku, pada orangtuaku, terutama ibuku.


"Kau menangis lagi."


"Aku rindu Ibu." Isakku dibahunya. "Aku ingin pulang." Dia mengangguk mengerti.


"Berbenahlah, bersihkan dirimu, lalu penuhi perutmu, setelah itu aku akan membantumu berkemas."


Kali ini aku tidak menolak, aku mengangguk patuh. Dengan langkah gontai berjalan menuju kamar mandi, berhenti sejenak saat aku melihat kaca dan mematut diri disana.


Benar yang dikatakannya, aku sangat kacau, dengan airmata yang mengering disudut mataku, serta rambut panjang yang awut-awuttan, aku sama sekali tidak mencerminkan seperti gadis normal kebanyakan. Memalukan.


Usai membersihkan diri kurang lebih 20 menit, aku keluar dengan baju mandiku. Melihatnya yang tengah terbaring tenang diranjangku, aku menghampirinya. Dia tertidur, aku duduk ditepi ranjang, menelusuri tiap lekuk wajahnya tanpa menyentuh, garis rahangnya terbentuk sempurna, mata, hidung, dan akhir pandanganku terpaku pada bibirnya.


"Dia sudah bertunangan." Gumamku menarik diri dari gejolak hormon yang sempat melandaku beberapa detik yang lalu.


Aku bangkit menuju kelemari pakaian, mengambil salah satu pakaian sehari-hariku disana, jeans dan kaos berwarna biru muda, kemudian kembali kekamar mandi untuk mengganti pakaian.


"Dijodohkan ya??" Gumamku lagi, sesaat kemudian menggelengkan kepalaku, menekan dadaku yang terasa sesak, mencoba menerima kenyataan.


Saat keluar dari kamar mandi, ia sudah tidak lagi berbaring. Aku mendekatinya yang kini tengah berdiri didekat jendela, tersenyum manis kearahku yang kubalas dengan kaku. Aku memperhatikan cincin dijarinya, pada akhirnya penasaran setengah mati dengan siapa dia bertunangan.


"Ayo kita pergi makan." Ajaknya menarik tanganku, tapi aku masih mematung ditempat.


"Boleh kutanya sesuatu??" Ucapku. Ia berbalik, siap dengan pertanyaan yang akan kuajukan, air mukanya tampak tenang, seakan tak terjadi apa2, seakan aku dan dia masih....memiliki hubungan.


"Siapa....wanita itu??" Tanyaku sedikit tak jelas, namun jari telunjukku yang mengarah pada jemari kirinya memperjelas semuanya. Ia tersenyum.


"Ikutlah, aku akan mengenalkannya padamu." Ia berkata lembut. Namun seketika aku mengibaskan tanganku. Wajahku berubah tegang saat ia dengan beraninya berbaik hati akan mengenalkan tunangannya padaku.


Seulas senyum tampak menghiasi tiap sudut bibirnya saat melihat reaksiku, bahkan belum ada 1 jam aku dikejutnya dengan pengakuannya, kini ia malah dengan santai mengajakku untuk dikenalkan pada calon istrinya. Konyol


"Kalau kau sampai melakukannya, berarti kau sama sekali tidak menghargai perasaanku." Tandasku membuatnya semakin tersenyum penuh arti. Ia lalu mendekatiku, meraih tanganku yang satunya hingga ia berhasil menggenggam keduanya.


"Bagaimana jika kukatakan bahwa kaulah wanita itu??" Ia mengatakannya dengan tatapan mengarah tepat kemanik mataku, seakan menyekap bola mataku disana agar tidak bergerak kemana-mana.


Aku terdiam, mencerna ucapannya


"Oh, jadi kau mempermainkanku eh??" Ucapku datar, tak sudi untuk terkejut maupun ikut andil dalam lelucon garapannya.


"Iya, aku mempermainkanmu, sedikit memberi pelajaran lebih tepatnya" Sahutnya santai, namun ada nada tegas dalam suaranya.


Ia melepas cincinnya dan memperlihatkan ukiran nama didalamnya, mataku membulat ketika membaca sebuah nama disana, namaku. Aku mundur selangkah, kembali emosiku meluap, merasa tak rela telah dikerjai.


Bingung harus melakukan apa, juga takut jika tak dapat mengendalikan emosiku yang membabi-buta, aku lebih memilih untuk duduk, memijit pelipisku.


"Mianhae." Ucapnya berlutut didepanku, wajahnya menyiratkan rasa tak enak hati setelah melihat ekspresiku yang cukup terkejut hingga tak mampu berkata-kata. Ia merasa sudah sangat kelewatan.


"Puas kau??"


"Mianhae."


"Brengsek kau."


"Saranghae."


Sejurus kemudian ia mengecup bibirku membuat otakku meronta meminta bekerja, namun gagal, kecupan singkatnya bahkan membuat sistem syarafku macet total, aku membeku. Ia terkekeh pelan, khas seorang Cho Kyuhyun.


"Sejujurnya, aku kecewa saat kau mengusirku tadi, kupikir kau sudah tidak mencintaiku, bahkan kau tidak menanyakan siapa wanita itu, hampir saja rencana untuk mengerjaimu gagal." Akunya tanpa dosa, semakin membuatku jengkel melihat ekspresi wajah jahilnya.


Perlahan kesadaranku pulih, lalu tanpa ampun, aku mencubit pipinya keras-keras, menarik tiap inci kulitnya memenuhi jemariku, wajah mengaduhnya tampak jelek sekali, membuatku mau tak mau akhirnya tertawa.


Bukan, ini bukan tawa karena melihat wajah jeleknya, ini hanya manipulasi saja. Aku tertawa karena luapan rasa lega mengetahui bahwa dia hanya mengerjaiku, mendapat kenyataan lain lagi bahwa hatinya masih milikku. Aku berhenti menghukumnya dan meringis pelan. Menundukkan wajahku, menyentuhkan keningku di bibirnya.


"Jangan pernah berubah lagi demi apapun, Arasseo??" Pintanya, yang langsung kusetujui dengan anggukan mantap.


Ia memelukku erat, memaksakan semua beban terangkat dari pundak kami masing-masing. Kurasakan kemejanya masih terasa lembab oleh airmataku tadi.


"Tapi kau tetap harus pulang." Ucapnya tiba2.


Kembali resah melandaku, baru saja kurasakan kelegaan luar biasa, kini dia membuatku limbung lagi. Kali ini dengan alasan yang berbeda, jika aku pulang, maka kemungkinan aku bisa bertemu dengannya sangat minim, pasalnya dia masih terikat kontrak dengan perusahaannya selama beberapa tahun kedepan.


"Hei, tak akan lama, mungkin 2 hingga 3 tahun. Jika kontrakku sudah selesai, aku akan mengajukan pindah tugas dan menetap di Jeju, dengan begitu akupun sudah siap untuk menikahimu." Ia mencoba menenangkanku. Tapi, apa yang baru saja dia bilang?? Menikah?? Apa ia baru saja melamarku??


Ya Tuhan!!


Tanpa diketahuinya, aku tersenyum, sedikit getir, namun sangat bahagia. Aku semakin mengeratkan pelukanku dibahunya, merasa lega karena pada akhirnya aku memiliki tujuan hidup bersamanya, meski sedih karena aku tidak dapat bertemu dengannya dalam jangka waktu lama.


Lalu ia kembali berucap. "Kau juga harus berusaha disana, kau selalu bilang ingin menjadi bagian dari staff Accounting Banking Industry kan?? Wujudkanlah. Meski aku tidak peduli kau bekerja atau tidak, tapi aku tidak berhak memaksa impianmu." Aku mengangguk patuh, setetes airmata kembali membasahi pipiku, namun kali ini airmata haru.


"Sudah jangan menangis, apa kau tidak lelah menangis terus??" Aku menggeleng, membenamkan wajahku di relung lehernya.


"Kyuhyun-aa." Panggilku pelan.


"Mmh??"


"Mianhae." Desahku disela tangis haruku.


"Untuk??"


"Segalanya." Ia tersenyum, mengusap pelan punggungku, menenangkanku dengan pancaran aura kehangatan melalui tangannya.


"Kyuhyun-aa." Panggilku sekali lagi.


"Ne??"


"Gomawo."


"Untuk??" Tanyanya kembali, meresponku dengan sabar.


"Segalanya."


Ia terkekeh. "Sudah puas memelukku??" Tanyanya menggoda, aku menggeleng kuat, wajahku tengah merona, aku tak ingin ia sampai melihatnya, karena berakibat ia akan menggodaku habis-habisan.


"Lututku pegal, asal kau tahu." Keluhnya, sukses membuatku tertawa lalu mengalah dan melepaskannya. Ia terduduk dilantai, meringis pelan saat meluruskan kakinya.


"Ayo makan, aku tidak ingin cacing-cacing diperutmu itu berbunyi terus-menerus, kau ini sudah berapa lama tidak makan?? Lihat, tubuhmu yang mulai seperti tengkorak, bagaimana kalau kau terkena maag, kau benar2 tidak sayang pada tubuhmu ya?!" Ia kembali merecokiku, aku seakan kembali ke masa-masa terdahulu, saat kami pertama kali bertemu.


Dia hanya seorang senior yang dikenalkan oleh teman kampusku. Dia sangat pendiam dan hanya berbicara seperlunya. Namun itulah yang menarik dari dirinya, dia diam bukan berarti tidak memperhatikan, dia sangat pintar dan peka meski caranya menunjukkan ekspresi terlihat seperti orang yang tidak peduli dengan sekelilingnya.


"Kenapa kau senyum-senyum sendiri??" Tanyanya heran melihatku tersenyum seperti orang gila.


"Tidak ada.."


Ia menaikkan alisnya, lalu menghela napas pelan, "Bagaimana hal kecil bisa menjadi seberat ini?? Ayo kita makan, setelah itu kita jalan-jalan, sudah lama kita tidak berkencan. Nanti malam aku akan membantumu berkemas. Bagaimana??" Aku mengangguk setuju.


Ia bangkit berdiri, mengulurkan tangannya untuk kuraih. Senyum tak lepas dari bibirku, wajah ceria pertamaku setelah beberapa bulan menarik diri dari lingkungan.


Ia meraih pinggangku, menuntunku berjalan disisinya, membuatku tak kuasa menahan hasratku untuk tidak melakukan sesuatu. Aku berjinjit, menopang lenganku dibahunya, mengecup pipinya dengan penuh rasa sayang. Ia tertawa lebar saat aku berbisik pelan ditelinganya.


"Saranghae."



                                                                                The End



Horeeeee oneshoootttt,,
Haigohhhh, saya ketar-ketir ngetiknya, tapi puas ohohoohoohoh
Capek ah, mau makan duyu,,
Cawwwwww




Selasa, 22 November 2011

(Fanfic: Oneshoot) - - Love letter - -

(Maincast: Cho Kyuhyun, and the girL)


* * *

Aku ingin menceritakan sebuah kisah. Tepatnya mengenang kembali masa ketika aku, masih berseragam sekolah menengah, berkacamata, dengan rambut pendek sebahu dan dada bedebar, memegang sebuah amplop pink bermotif bunga, dengan sentuhan aroma vanila yang bisa tercium hingga kesudut kelas. Aku mendatanginya dan mengajaknya bertemu diruang kesenian.

            “Ini untukmu”
Kataku menyerahkan amplop itu.

            ”Apa ini??”
Tanyanya tak acuh. Ahhh, apa semua laki2 seperti itu jika ada perempuan yang hendak menyatakan cinta?? Membuatku salah tingkah saja.
           
            ”Baca saja”
Ucapku lalu buru2 pergi, sebelum aku pingsan dihadapannya.


* * *

            Aku sedang jatuh cinta. Mungkin dia memang bukan yang pertama, tapi dialah orang yang telah membuatku terpekur hingga larut malam demi menulis sebuah syair cinta yang tak berarti.

            Dia teman sekelasku sejak tingkat pertama, hingga memasuki tingkat ketiga, kami masih sekelas. Kupikir kala itu, kenapa aku tidak menyatakannya dari dulu?? Aku bahkan sampai melupakan kodratku sebagai perempuan.

            Selama ini memang tidak ada yang berani mendekatinya, bukan karena dia sangat sulit didekati, tapi memang seperti ada aura yang memperingatkan perempuan2 untuk tidak dekat2 dengannya. Dia sendiri juga sangat menjaga jarak, terlebih terhadap perempuan yang hanya cantik fisik tidak berotak.

            Namun lain jika terhadapku. Sungguh, aku tidak ingin dibilang kegeeran, tapi memang begitulah kenyataannya. Dia sangat lunak dan sejauh hanya aku perempuan yang diajaknya bicara. Itu membuatku memiliki harapan dan sedikit celah untuk mendapatkannya.

            Aku bukan perempuan pesolek, bahkan minusku saja sudah hampir mencapai angka 2 setengah, akibat terlalu banyak baca buku. Aku tidak terlalu pintar disekolah, tapi bukan berarti aku bodoh, aku selalu masuk 10 besar. Mungkin akan jauh lebih baik jika aku mengganti bacaan komik serta novel2 koleksiku dengan buku pelajaran, setidaknya otakku akan seimbang dengannya.

            Kelebihan yang ada pada dirinya. Dia tidak pelit ilmu seperti yang dikatakan banyak orang. Aku pernah memintanya mengajariku rumus linier, dia bahkan sangat sabar. Hanya saja kau perlu memasang muka setebal mungkin, karena intonasi suaranya akan membuat orang menoleh bahwa dia sedang mengajari murid bodoh. Tapi karena bantuannya itulah, untuk pertama kali aku bisa mendapatkan nilai kuis matematika terbaik kedua dikelas, setelah dirinya tentu saja.

             Selain itu, dia pernah meminjamiku jaket ketika aku tersiram minuman soda berpewarna merah pekat. Saat itu dikantin sangat penuh, lalu entah bagaimana, ada seorang perempuan dari kelas lain, mendorongku hingga menubruk ketua osis berlesung pipit yang sedang membawa nampan makan siangnya. Setibanya dikelas, tanpa berucap, dia menyerahkannya padaku begitu saja saat melihatku tampak berantakan.

            Dia juga penyanyi yang hebat. Siapa sangka dibalik ’ekspresi tak bersahabat’nya, dia ternyata memiliki suara emas. Ketika acara ulang tahun sekolah, tiap kelas wajib menyumbangkan sebuah penampilan. Tak ada persiapan matang dari kelas kami, ketua osis terlalu mendadak menyampaikan infonya. Akhirnya dia naik ke atas panggung, temannya mengiringi dengan petikan gitar, menyanyikan sebuah lagu berjudul Listen to you dengan irama acoustic. Dan itu sukses membuatku semakin menyukainya.

             Dari tadi hanya kelebihan saja yang kuceritakan. Sebenarnya ada beberapa hal sih yang tidak kusukai darinya, dia itu terlalu maniak terhadap game. Aku tahu dia pintar, tapi aku tidak suka jika dia justru bermain game ditengah pelajaran sedang berlangsung.

             Aku pernah memberanikan diri bertanya, dan dia justru menatapku tajam seolah berkata ’Apa urusanmu??’, tapi seperti yang kubilang tadi, dia sangat lunak terhadapku, buktinya dia dengan santainya mengatakan padaku bahwa game membuatnya tidak mengantuk.

            Dia juga sangat payah dipelajaran olahraga, lari 100 meter saja dia sudah kewalahan mengatur napasnya. Mungkin baginya, dia lebih baik disuruh menyanyi 100 lagu daripada disuruh berlari. Dan aku baru tahu bahwa dia memiliki penyakit Pneumothorax, semacam kelainan terhadap paru2, bisa dikarenakan faktor keturunan atau pernah terjadi kecelakaan sebelumnya. Dia pingsan, dan aku tak bisa berbuat apa2 ketika orang2 menggotongnya ke mobil ambulance. Aku hanya berharap, dia baik2 saja.

            Aku ingat saat sedang membesuknya keesokan hari dirumah sakit. Bayangkan saja banyak sekali bunga dan kado ucapan lekas sembuh di kamar inapnya, semuanya dikirim lewat suster yang ditugaskan untuk merawatnya. Ketika aku melihat tumpukkan kado itu dan keranjang2 buah yang mahal, aku langsung ciut. Bagaimana tidak, aku bahkan tidak membawa apa2, aku hanya membawa..... diriku sendiri.

            ”Hey, masuklah”
Panggil teman dekatnya yang kala itu sedang mengobrol dengannya, aku muncul dari balik pintu dengan kikuk, seperti maling ketahuan.

            ”Oh kau, Ada apa??”
Tanyanya masih berbaring menatapku . ’Hey, aku datang membesukmu, kau pikir untuk apa aku datang kemari hah??’ Rasanya aku ingin sekali berteriak seperi itu, pertanyaannya sangat menyebalkan.

”Eumm...kebetulan ada saudaraku yang juga dirawat di rumah sakit ini, jadi aku mampir”
Binggo!!! Justru kebohongan yang meluncur mulus dari lidahku.

            ”Ohhh”
Singkat, padat, jelas. Hanya itu saja jawabannya. Kalau aku tidak menyukainya, mungkin sudah kutendang dia hingga terjerembab dari ranjang pesakitan yang tengah menopang tubuhnya itu.

”Maaf, aku tidak membawa buah maupun bunga, tapi kudoakan semoga lekas sembuh”
Kataku cepat, sepertinya suaraku bergetar.

            ”Hemmm, terimakasih”
Ucapnya datar, memakan apel yang baru saja dikupas temannya itu. Merasa diabaikan, akhirnya aku pamit pulang.

            ”Ya sudah, aku permisi dulu”
Kataku dan buru2 pergi dari sana. Baiklah, aku tidak mau munafik, aku menyesal membesuknya, tidak heran kalau orang2 tidak ingin langsung bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku menyukai pria macam itu, tidak tahu sopan santun.

Ya Tuhan!!! Kenapa baru sampai dikoridor saja, aku sudah membayangkan dia berlari mengejarku, meminta maaf, bahkan memelukku. Ahhh sungguh, jika hal terakhir itu terjadi, ini namanya mimpi indah disiang bolong. Tuh kan?? Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas suara derap kaki didalam otakku, sepertinya aku perlu merestart ulang imajinasi yang sudah overdream ini.

”Hey”
Seseorang menyentuh pundakku, membuatku menoleh.

            ”Ada apa??”
Tanyaku heran. Ternyata bukan dia, tapi temannya.

            ”Ini, ada banyak sekali didalam, tidak mungkin habis”
Katanya menyerahkan sekeranjang besar buah2an yang terlihat sangat mahal.

            ”Tapi, aku tidak membawa apa2, kenapa justru memberiku ini??”

            ”Tidak apa, anggap saja permintaan maaf darinya”

            ”Permintaan maaf??”

           ”Dia merasa agak kasar denganmu, mungkin masih terbawa emosi dari yoeja yang menjenguknya tadi”

            ”Ohhh, tidak masalah”
Kataku singkat, sedikit melunak, setidaknya ada kata maaf.

            ”Ya sudah, hati2 dijalan”

            ”Tunggu, apa buah kesukaannya??”
Tanyaku, membuatnya mengerutkan kening heran.

            ”Kiwi”
Bagus!! Setidaknya tidak ada sambungan pertanyaan ’kenapa??’. Aku tidak suka pria yang terlalu banyak tanya. Tanganku membuka plastik transparan yang membalut keranjang, mengambil 4 buah kiwi didalamnya.

            ”Ini, berikan padanya”

            ”Kenapa kau berikan buah yang diberikannya untukmu??”

            ”Karena ini sudah jadi milikku, jadi bebas mau kuapakan”

            ”Kau ini”

            ”Ya sudah, sampai bertemu disekolah”
Kataku pamit padanya.
  
       Sungguh awalnya memang sangat pahit, tapi ada rasa manis dibalik sikapnya. Bodohnya, meski diperlakukan seperti itu, aku masih tetap menyukainya. Sebelumnya kumohon, jangan mengejekku jika aku berpikir seperti ini, tidak salah kan jika aku berpikir dia juga sedikit.....menyukaiku??.

         Saat itu sudah tahun ketiga, sampai kapan aku akan terus berada dalam angan tak berujung ini, aku harus melakukan sesuatu. Yahhh, sepertinya memang harus aku yang memulai, dan sepucuk surat cintalah jawabannya.

Kembali otakku singgah ke kehidupan nyata.
”Kira2, dia sedang apa ya?? Apa tengah membaca suratku??”
Gumaman yang pasti akan terlontar pasca nembak, membayangkan dia pasti tengah tersenyum2 membaca surat cintaku yang terlihat sangat kekanak2an.

            Ahhhh, kenapa aku tidak memberinya aroma maskulin saja tadi, cocok sekali dengan kepribadiannya. Dan lagi, kenapa aku memilih amplop warna pink, bukannya dia suka sekali dengan warna biru. Tapi bukan surat cinta namanya kalau tidak berwarna pink, ditambah lagi aroma maskulin, seperti tidak ada aroma lain saja.

          Aku berteriak tak jelas dibalik guling yang sedang kupeluk, berharap kala itu yang tengah kupeluk adalah dia. Malam semakin larut dan aku masih juga belum tidur, padahal besok aku masih harus sekolah. Sekolah?? Itu berarti aku harus bertemu dengannya, Tuhan!!! Apa dia akan menerimaku, atau menolakku seperti dia menolak gadis2 lain. Memikirkan hal ini semakin membuatku tak dapat tidur.

Seperti biasa, imajinasi yang sedang bergejolak ditengah masa remaja memberontak keras didalam otakku. Aku mengambil sebuah buku, menulis berbagai hal disana, bahkan aku membuat sebuah cerita dengan lawan mainnya aku dan dia. Jika kubaca ulang, hal itu sangat lucu, dengan bahasa ala penyair amatiran, aku justru meralat kata2 yang kutulis dulu. Ahhhh, sudahlah jangan bahas tulisanku, aku harus tidur.


* * *
Akhirnya, dikeesokan hari, sepulang sekolah, aku menunggunya diruang kesenian, seperti yang kutuliskan didalam surat. Aku menunggunya dengan dada yang berebar, membayangkan hal2 buruk terjadi. Bukankah jika kita berharap hal baik, kita harus memikirkan hal buruk terlebih dahulu. Yeach, jangan dipikirkan, itu hanya sugestiku.

Entah sudah berapa lama. Mengingat jadwal2nya, harusnya dia sudah selesai dengan pembubaran anggota klub matematika, digantikan anggota2 baru. Sudah 2 jam dari waktu yang dijanjikan, tapi dia belum muncul juga, ini bahkan sudah jam 5 sore.

Menunggu seperti ini membuatku penasaran dan tidak sabar, apa mungkin rapatnya masih belum selesai. Tidak ada salahnya jika aku melihat sebentar keruangannya bukan, tapi bagaimana jika dia datang, sedangkan aku malah berkeliaran mencarinya. Ini seperti dalam drama saja, kami saling mencari, dan kemudian bertemu secara tak sengaja. Ya Tuhan!!! Begitu indah dalam anganku.

Yak!!! Dia mengerjaiku, dia tidak ada diruang klubnya, lalu kemana dia??. Akhirnya timbul prasangka, jangan2 dia memang sengaja mengabaikan suratku. Para anggota dari klub2 lain tampak sudah selesai dengan rapatnya, sekolah mulai sedikit ramai, dengan keluhan capek, pusing, lapar disana-sini.

Aku kembali lagi keruang kesenian, berharap dia menungguku disana, dan tidak ada orang. Hatiku mencelos, baiklah, ini terlalu dramatis. Namun, kuputuskan bahwa aku ditolak, setidaknya ini jauh lebih baik daripada dia menolakku secara langsung, aku pasti akan menangis didepannya, dan dia akan membentakku. Tidak, tidak, dia bukan orang seperti itu, dia mungkin memang terlihat mengerikan, tapi dia tidak pernah kasar terhadap perempuan.

Belum selesai sampai disini. Dihalaman sekolah, ketika aku berbalik untuk pulang, tepat didepan ruang klubnya. Seperti didrama2 yang kutonton, saat itu pertama kali aku melihatnya bersama orang lain, perempuan yang mendorongku dikantin waktu itu, mereka berbicara begitu akrab. Tanganku merambat keatas, memegang dadaku, perih rasanya.

Kucoba palingkan wajahku, tapi mata ini tak mampu ikut berpaling. Ingin rasanya kuseret dia dari hadapannya, tatapan mesra itu membuatku tak mampu menahan amarah yang semakin bergejolak dihatiku.

Tega sekali dia. Biarkan aku meralat kembali ucapanku, lebih baik dia menolakku secara langsung daripada harus melihatnya bersama orang lain, dia bahkan mengingkari janjinya. Aku tak rela.

Tunggu!!! Akulah yang membuat janji, bukan dia. Jadi semua ini bukan salahnya.

Dia melihatku, hanya sebentar, lalu berpaling lagi berbicara dengan lawan bicaranya. Benar, dia sangat jahat, bahkan menatapku saja dia tak mau. Dia tak menghargai diriku sebagai perempuan, ahhh bagaimana dia bisa menghargaiku sebagai perempuan, bahkan aku saja sampai melupakan kodratku dan malah menyatakan cinta terlebih dulu.

            Aku tak ingin ada airmata dikisahku, untuk apa menangisi seseorang yang tak pernah menganggapku ada. Dengan langkah cepat aku meninggalkan tempat itu, tak ingin menoleh kembali kearahnya. Mungkin aku termasuk 1000 dari perempuan yang menyatakan cinta padanya, dan 1000 dari perempuan yang ditolaknya mentah2.

Aku tidak menyesal pernah menyukainya, karena dia adalah semangatku ketika aku bangun pagi, semangatku ketika aku berangkat kesekolah, semangatku agar belajar dengan giat. Dia yang terindah dibenakku, dia yang selalu menghiasi imaji ini, dia yang aku tak rela jika tersakiti, tapi....dia menyakitiku. 

Terimakasih karena telah bersedia menjadi imajiner pribadiku.


* * *
Hey, kumohon jangan menatapku seperti itu, itu sudah berlalu 10 tahun silam. Aku sudah bahagia sekarang, dengan orang yang sangat kucintai tentu saja. Jangan khawatir, aku akan mengenalkannya pada kalian. Kami sedang janjian untuk bertemu, mungkin dia sedang menungguku sekarang.

Benar saja, dari kejauhan aku bahkan melihatnya menunggu dengan tidak sabar.

”Maaf terlambat”
Kataku ketika sudah sampai dihadapannya.

            ”Tidak apa2”
Balasnya singkat, dia ngambek dan aku suka. Aku meraup pipinya yang sudah terasa dingin.

            ”Kau pasti sudah lama menunggu”

            ”Tidak, belum koq”
Dan dia tersenyum, meyakinkankanku, meski aku tahu dia berbohong. Oh Tuhan!! Bagaimana aku tidak begitu mencintai pria ini.

            Dia meraih pinggangku, menggiringnya berjalan disisinya. Sebelum akhirnya kami memutuskan akan jalan kemana, dia mengucapkan satu kata penting yang selalu kutunggu keluar dari bibirnya, meski bukan yang pertama kali dan bukan disaat kami berada disuasana romantis.

            ”Saranghae”
Ucapnya ditelingaku. Seperti biasa, dia memang pintar mencairkan suasana, meski aku sudah membuatnya kesal tadi.

Dia masih menunggu ekspresiku, tapi aku tak mampu untuk tidak tersenyum, aku hanya membenamkan wajahku didada kirinya, menghirup aroma maskulinnya dalam2.

            ”Kau suka sekali menggodaku”

            ”Aku suka saat kau terlihat malu2”
Katanya tertawa pelan.

Baiklah, mungkin dialog barusan terdengar sangat menjijikkan, tapi tidak jika yang mengatakannya adalah orang yang sangat kau cintai. Dan pria disampingku ini adalah Dia, makanya diawal cerita sudah kukatakan 'ingin mengenang'.

Dia memang sama sekali tidak membaca suratku waktu itu, dia membuangnya, makanya dia heran melihatku diruang kesenian, tega sekali bukan?!. Ada alasannya koq, karena dia tidak ingin aku mengiriminya surat dan menyatakannya terlebih dulu seperti gadis2 lain. Dia bilang aku tidak sabaran, itu benar.

Tuh kan?? Feelingku tidak meleset, dia memang memiliki perasaan yang sama terhadapku. Kupikir waktu itu aku memang menyukainya, secara sepihak, tapi aku bersyukur sekarang dia membalas perasaanku, meski butuh waktu bertahun2 baru bisa bertemu lagi dengannya. Aku tidak mau berbelit2 untuk bercerita, yang jelas kali ini bukan aku yang jatuh bangun untuk mendapatkannya.

            Untuk Cho Kyuhyun, pria yang padamu kuberikan cintaku, terimakasih sudah menjadi bagian indah dalam diriku, dalam hidupku. Terimakasih telah membuat imajiner ini menjadi kisah nyata yang menyenangkan. Saranghae.


The End

Fufufufufu romance geLLLLLaaaakkkk!!!!!
Tapi aku syuka.....aku sedang dalam situasi jatuh cinta kembali pada Cho Kyuhyun.
Ahhh, sudahlah.

Minggu, 20 November 2011

(Note: Sharing Gaje) -- SS4 vs Breaking Dawn --


                                 * * *

Jika ibu mengatakan siapkan buku pelajaran dari malam usai belajar, saya pasti menurutinya.

Jika ibu mengatakan untuk tidak lupa mengerjakan tugas sekolah, sayapun tak pernah lupa.

Tapi jika ibu mengatakan untuk tidak terburu2, dan berangkat tidak mepet waktu, saya selalu mengabaikannya.

                                * * *


Sebenarnya judul yang saya pakai tidak ada hubungannya dengan apa yang saya alami, hanya saja semua itu berawal dari rasa galau semata. Jadi begini ceritanya, kejadian ini sungguh tak pernah terbayang akan menimpa saya.

Pada sabtu siang, ditengah hujan yang tak terlalu deras mengguyur kota, sembari menahan gejolak rasa galau karena SS4 tidak akan diadakan di Indonesia. Saya pun hanya bisa menghela nafas berat ketika tahu bahwa SS4 akan mulai diadakan sore ini di Seoul pukul 19.00 KST atau 17.00 WIB, berita lama sebenarnya, tapi sumprit saya baru tahu kalo ternyata jadwalnya hari ini.

Nah karena saya tak sudi malam minggu hanya menggalau membayangkan para ELF menonton konsernya Oppadeul, saya pun tak mau ketinggalan dan memutuskan untuk menonton 'Breaking Dawn', yang baru hari kedua tayang perdana.

Ceritanya lagi pengen gaya neh. Duit jajan seminggu saya pakai demi terobatinya penggalauan ini, jabanin juga tu weekend nonton di Empire dengan HTM Rp. 25.000,  padahal hari2 biasa juga Rp. 20.000, beda goceng doank. Heran aja ama orang2 yang pada rela ngantri ampe depan berjam2 di hari2 biasa, sungguh ini dinamakan 'Psikologi Pemasaran'.

Oke kembali ke topik. Saya sudah sengaja menyiapkan baju biru untuk kostum hari ini, demi memperingati konser perdana SS4 shapire blue ocean, dan tinggal menunggu teman saya jemput. Alamak udah dandan cantik2, kuyup juga ampe Empire. Aichhh bodo amat, yang penting dapet tiket.

Beberapa menit kemudian setelah mengantri, saya dan teman saya pun dipersilahkan untuk memilih film yang mau ditonton, dan tempat duduknya g enak banged, depan booookkkk, apanya yang mau dilihat???? Akhirnya kami batal nonton di Empire.

Bukan saya namanya kalo ampe habis akal, jabanin juga tu malem minggu padet jalanan dengan hujan yang cukup deras. Sampailah kami di Amplas.

'Lagi males naik eskalator nehhh, naik lift aja yuk.' Usul saya yang langsung disetujui.

Lift penuhhhh, sebodo yang penting nyampe lantai 3. Masuklah kami kedalam, dan lift pun mulai naik turun sesuai angka yang ditekan. Lantai 1, turun lagi ke lantai dasar, naik lagi ke lantai 2, turun lagi ke basement, naik lagi ke lantai 3. Fiuuuccchhhh,,

Daaaannnn, di Twenty one rupanya semua tiket udah ludeeessss. Arrrggghhhhh!!!!

Kami pun pulang, teman saya menginap, dan saya menangis tersedu meratapi nasib, memandangi Trending Topic yang semakin menanjak membahas SS4.

Keesokan pagi dihari minggu, ada tetangga kamar yang ngasih tahu kalau SS4 session 2 masih diadakan di Korea. Entahlah ini kekanak2an, tapi saya masih merasa sedih.

Saya pun membangunkan teman saya untuk bersiap, karena saya sangat ingin pergi, tujuan utama adalah 'Sunmor-UGM' yayyyyy, dapatlah 3 CD dan 1 BH saya bawa pulang. Tentu saja saya membelinya. Plus snack biting2an sebagai buah tangan. Nyammm.

Siang harinya waktu lagi santai2 dikontrakan, ternyata ada Music Bank di Indosiar, dalam rangka apa nih?? Tapi kagak ada Oppadeul, pehehehekk sedih lagi. Saya g mau tau pokoknya hari ini harus nonton Breaking Dawn. Cetus otak saya mulai kumat lagi.

Singkat cerita, akhinya dapat juga kami tiket di Empire dengan tempat duduk terbaik, baris ke 3 dari belakang pula, yippiiii. Tapi sayang yang pukul 14.15 habis, dan terpaksa ambil yang pukul 16.30, padahal masih jam 14.00. Heummmm orang2 kaya mulai pada bringasan boking tempat duduk, Seballl!!!

Dan disinilah cerita itu dimulai.

Baiklah, diluar hujan, dan kami sangat kelaparan, tak mungkin menunggu selama 2 jam sampai pelm tayang. Karena ceritanya teman saya tu lagi diet, dia kagak mau makan nasi, maunya makan sayur. Aisyyyhhh bikin repot, mana lumayan deras pula.

Dengan berbekal jas hujan melekat di tubuh kami (apalah??). Kami pun nekat menerobos hujan dan mampir ke warung sembako, beli kangkung, jamur, dan tempe untuk dimasak sendiri dikontrakan.

Wuihhhh, ngebut masaknya, yang biasa saya selalu masak memakan waktu 2 jam, kali ini cuma setengah jam, rekor demi Breaking Dawn, dan kegalauan.

Matang, Enak, Sikattttt.

Udah jam 16.00 aja tuwh, setengah jam lagi, cepet juga, sembari sholat Ashar, teman saya mencuci para perkakas, tak usah dibantu, tadi juga saya yang masak hihihihi

Dengan terburu2 kami pun berdandan, hujan masih mengguyur semenjak siang, dan waktu masih tersisa 15 menit lagi. Begitu keluar kamar, saya merasa sebal karena teman saya meletakkan sandal begitu berantakan didepan pintu, tanpa bermaksud merapikan, saya pun langsung angkat kaki dari sana, memakai kembali jas ujan dan meluncur ke Empire dengan kecepatan Medium (Bener g ya??).

Breaking Dawn, We are coming!!! (Limbizkit - Eat you Alive, sound).
Uwaaaa tinggal 10 menit, setelah parkir di area samping gedung, buru2 kami melepas jas ujan dan merapikan diri. Kacamata saya masih mengembun terkena air hujan. Tanpa memedulikan orang yang berlalu lalang keluar dari gedung, kami pun mulai berjalan menuju pintu masuk gedung Empire yang tak terlalu ramai. Sementara teman saya sibuk mencari tiket, saya sibuk mengelap kacamata saya dengan ujung jilbab karena kagak bawa tisu.

Tapi sungguh ada yang aneh. Dibalik keburaman panca indera saya yang berminus 3.00,  saya yakin, saya tidak buta warna. Saat melihat kearah bawah, dengan mata menyipit, saya mulai curiga ada perbedaan warna diantara kedua kaki saya.

Saya langsung buru2 memakai kacamata dan...........................

"SANDAL GUE BEDA!!!!!!!!!!" Pekik saya panik kala itu.

"HAH KOQ BISA??" Teman saya ikutan panik.

"MAMPUS GUE!!!!" Saya melaknat kebodohan saya yang tak terkira. Mikir cara dan g nemu, sementara pelm akan dimulai 7 menit lagi.

"Udah kagak papa, kagak ada yang ngeh juga." Kata teman saya menenangkan, namun penuh ketidakyakinan.

"Gebleg, mana ada orang kagak ngeh sementara kaki kiri pake sendal jepit abu2, kanan pake sendal kulit warna krem." Saya marah2, teman saya malah ngakak.

Tanpa sepengetahuan saya, ternyata ada mas2 dan mbak2 yang berdiri didekat kami mulai melirik ingin tahu, dan tertawa ketika tahu sandal saya berbeda.

"Oke, Lu tunggu sini, jangan kemana2."

"Lu mau kemana?? Pelm udah mau dimulai." Kata teman saya egois.

"Mendingan gue telat nonton, daripada gue yang ditonton." Sembur saya sebal, teman saya makin ngakak sadis.

Akhirnya saya buru2 balik kekontrakan, meninggalkan sepasang sandal laknat itu dengan penjagaan ketat teman saya, supaya kagak dicolong cleaning service yang saya yakin mereka lebih memilih membuangnya ketempat sampah.

Saya pun pulang tanpa alas kaki, dan mengambil sandal yang lainnya. Setelah balik lagi ke Empire, rupanya teman saya masih setia menunggu, beserta sandal yang telah mengkhianati saya, masih utuh didepannya. Saya menyodorkan kantong kresek, membungkus sandal, dan buru2 memasukkannya kedalam jok.

Alhasil, kami telat 10 menit. Tapi tak apa, daripada saya buang sandal saya dan nyeker masuk kedalam. Apalagi pura2 g tahu bahwa sandal saya tertukar, sungguh muka badak.

Yeach begitulah. Kegalauan yang g berarti ini, justru membuat saya hampir malu setengah mati. Kalaupun saya tak bisa melihat Oppadeul, toh saya bukan satu2nya. Dan 'Beaking Dawn' pun sukses menghipnotis saya dengan keromantisan 'Abang Cullen', hingga sejenak melupakan kejadian tak mengenakkan di parkiran tadi.

Pelajaran yang saya petik dari cerita ini adalah jangan terburu2, dan selalulah melihat kebawah, takut2 ternyata anda malah salah pakai sandal dikiri, sepatu dikanan, itu jauh lebih parah hehe. Dan patuhilah kata2 ibu untuk tidak selalu terburu2 dan berangkat mepet waktu.


Cawwwwwww



Kamis, 17 November 2011

(Fanfic: DrabbLe) -- I think I fell in love with your brother --

(Maincast: Jinki, Key, Minho, Taemin, and the girL)
                               

                                * * *

Aku mengamati tiap jarak langkah orang yang berlalu lalang didepanku, memasuki area yang cukup padat pengunjung. Mereka mengobrol riang sembari menikmati sajian diatas meja, foodcourt menjadi tempat ideal paling favorit bagi mahasiswa untuk menghabiskan jam kosongnya.

Alih2 memesan makanan, aku justru mengambil coke dingin dan langsung membayarnya kekasir, menyesapnya hanya tiga teguk, tak kuat menahan gelembung soda melewati tenggorokanku.

Aku duduk dibangku pojok yang tersisa, mengeluarkan ponselku dan mulai mengetik pesan singkat. Kembali kuamati wajah2 baru disana, tampak masih muda dan segar belia, mengingat aku adalah mahasiswa semester akhir yang baru saja mengajukan judul skripsi, aku tampak begitu tua dibanding mereka.

Ini yang paling kusukai jika sedang nongkrong dikantin, banyak mahasiswa tampan disana. Seperti yang sedang kuamati saat ini, dia pria yang luar biasa tampan, mungkin lebih tepat kusebut bocah dengan ketampanan luar biasa.

Dia tampak asyik bercengkrama dengan kedua temannya, aku tau salah satunya, namja yang sangat populer karena dikenal sebagai icon fashion dikampus, Key.

"Hey jangan meLamun." Seseorang menepuk pundakku, membuyarkan lamunan singkat yang baru saja kubangun. Dia pria yang baru saja kukirimi pesan, Jinki, sahabatku. Merasa ada yang aneh, pria berparas bak orang baik2 ini mengikuti arah pandangku.

"Kau sedang melihat apa??" Tanyanya, mengambil tempat kosong disebelahku dan duduk disana.

"Jinki-ya, kau lihat 3 namja  itu??" Tunjukku seraya mengedikkan dagu.

"Umh, wei??"

"Kau tahu pria yang sedang duduk itu??"

"Choi Minho maksudmu??" Jinki memandang sekilas lalu berkutat dengan ponsel ditangannya.

"Namanya Choi Minho??" Ulangku yang dijawab anggukan Jinki.

"Iya, yang sedang duduk dimeja itu bukan??"

"Kalo yang satunya, yang duduk dibangku??" Tanyaku lagi, sedikit antusias karena aku tidak salah bertanya kepada seseorang. Jinki mengikuti arah pandangku.

"Taemin??"

"Kau menyebutkan namanya seakan kau akrab dengannya"

"Memang, dia kan adikku"

"Jinjaaaa??" Sontakku terkejut mendengar fakta yang tak pernah kuketahui.

"Wei??"

"Anyio, kupikir kau tak punya adik, kenapa aku tak pernah melihatnya dirumahmu??" Tanyaku heran, sedikit merapikan poniku yang tertiup angin.

"Dia sejak sekolah menengah sudah tidak tinggal dirumah." Jawabnya sembari membuka lembaran kertas yang baru direvisi. Aku menatapnya, meminta penjelasan. "Taemin ingin hidup mandiri."

"Dengan memisahkan diri dari keluarga?? Ayolah itu alasan konyol"

"Dia sendiri yang meminta." Jinki mendengus sebal, direbutnya coke yang masih penuh itu dari tanganku.

"Sepertinya kalian kurang akur, padahal aku baru saja ingin memintamu mengenalkan pada adikmu."

"Ya!!! Kau terlalu tua untuk jadi temannya"

"Siapa yang mau jadi temannya, aku mau mendekatinya."

"Kau pikir umurmu berapa?? Kau itu lebih cocok dengan para ahjussi." Sekali kupukul lengannya keras tanpa ampun, ia mengaduh, meringis menahan sakit dilengannya.

"It's Love at first sight Lee Jinki, bantulah aku, kau takkan menyesal memiliki adik ipar sepertiku."

"Kau mulai melantur, sudahlah aku mau pulang." Jinki bangkit berdiri, menyampirkan tas ransel dipunggungnya dan berjalan pergi.

"Ya!!! Lee Jinki."

"Apa??"

"Aku ikut pulang bersamamu." Seruku menyejajarkan langkahnya yang lebar, menoleh kembali kearah 3 namja yang kini berbalik menatap kami.

Lee Jinki, I think I fell in love with your brother.

The End


Aneh?? Emang!!!! Kabuuuuurrrrrrrr.

Sabtu, 12 November 2011

(Note: Sharing) - - Back To My First BLog - -

                                 * * *

Uwooooo.....

Lama banget g ngunjungi bLog saya satu ini, keasyikan ma bLog yang atunya.

Tapi saya kesal banged, entah karena apa, tiba2 bLog saya di blokir gitu aja oleh pihak yang berwenang (Polisi kaleee), dan saya diharus mengirimkan berbagai macam jenis alasan untuk mengaktifkannya kembali, dengan menggunakan bahasa inggris pula (JLebbbb!!!).

Baiklah, sepertinya saya harus membuat blog tersebut dari awal lagi, mungkin ini sebuah karma karena saya sudah mengabaikan My First BLogspot ini pehehehekkk.

sampai bertemu di postingan perdana setelah sekian lama berhiatus riaaaa.

Anyeonnngggg......