Rabu, 23 November 2011

(Fanfic: Oneshoot) - - The Arrogant - -

(Maincast: Cho Kyuhyun, Lee Donghae, and The girL)                                    


      

* * *


Hatiku........
tak lebih hanyalah sebuah organ yang berfungsi sebagai penyerap zat racun yang masuk kedalam tubuh.


Hatiku........
terasa kini makin menghitam karena rasa angkuh, iri, dengki, serta tak pernah merasa puas diri.


Hatiku.........
bisakah tak menyimpan lebih dari satu hati??


Hatiku........
rakus........




* * *


Seoul, Sunday, 09.33 Am (13 Rooms)


Aku membuka mata, memaksa diri merefresh ulang otakku yang membeku. Bahkan hingga pergantian hari rasanya masih tetap sama. Saat mengerjap, seakan ada bola kelereng menyangkut di kedua pelupuk mataku, berat, akibat menangis semalam.


Aku masih bertahan diposisiku, nyaris tak bergerak, hanya nafasku yang berhembus teratur, terlentang memandang langit-langit kamar, sibuk dengan pikiranku yang masih sama, tanpa jawaban.


Tubuhku terasa kaku. Lemas rasanya.


Aku tidak bergadang, tapi aku juga tidak tidur. Aku hanya memejamkan mata, meredam tangis, menahannya agar tidak merebak dan mengalir dalam tempo cepat hingga menyisakan sesak didada.


Malas rasanya beraktivitas, ah tidak, aku memang tidak memiliki aktivitas selama 6 bulan ini. Hampa, itulah yang kurasakan.


Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Hanya 1 yang kusadari, aku orang yang tak memiliki tujuan hidup. Aku orang yang telah ditinggalkan.


Hal yang menyebabkan aku seperti ini tak lebih karena aku terlalu memanjakan rasa angkuh, iri, dengki, serta ambisi yang terlalu lama bersarang didalam tubuhku, hingga aku nyaris gila, frustasi.


Aku merubah posisi tidurku, menyamping menghadap kearah jendela yang masih tertutup gorden. Diluar sana tampak begitu terang, sudah tinggikah matahari??


Aku kembali menyadari 1 hal, yang kini bertambah menjadi 2. Diriku tak lebih sebuah kamar yang sedang kutempati saat ini, gelap, namun tampak begitu terang diluar. Aku terlalu lama berpikir sendiri, bergelut dengan duniaku yang tak pernah nyata, nyaris fana dan tak terjamah.


Aku mengerjap, ketika kurasakan siluet bayangan menghalangi pandanganku pada jendela, dengan sekali sibak, cahaya itu mulai merasuk memenuhi retinaku, tanpa ampun. Lenganku refleks menjadi penyelamat, menutupi mataku hingga mampu menyesuaikan diri dengan cahaya.


Kudengar suara langkah berjalan mendekat kearahku.


"Bangun!!!!" Suara berat itu memerintah, menyibakkan selimut dengan kasar.


Kini bisa kulihat wajahnya. Otakku memaksa kembali menyusun memori pada lekuk wajah rupawan pria didepanku, mencari sebuah nama yang selalu memenuhi pikiranku selama 6 bulan ini. Hingga pada akhirnya membuatku nyaris lupa saking terkejutnya.


Dia disini, Cho Kyuhyun.


"Kau benar-benar kacau. Seperti ini kau bilang bisa hidup tanpaku?!"


Aku bahkan belum menyesuaikan diri dengan suaranya, merasa bahwa ini masih ilusi, tapi dia sudah merecokiku seperti biasa.


"Kau....bagaimana bisa masuk??" Ucapku serak. Bukan, bukan ini yang ingin kutanyakan. Tapi aku hanya ingin menyatakan padanya bahwa, 'Kau....kembali'. Ia menjawab pertanyaanku dengan menunjukkan kunci duplikat dijarinya.


"Ayo bangun!!!"


Tangan besarnya menarik tanganku yang dengan sigap langsung menahan bahuku ketika ia memaksaku duduk hingga nyaris terkulai kembali keranjang. Aku memandangnya nanar, pada akhirnya dia pun melihatku seperti ini, kacau, sama seperti yang dikatakannya.


"Kau benar2 bodoh."


Dia masih saja senang memakiku, tapi dari situlah aku tahu bahwa dia memperhatikanku. Matanya menelusuri wajahku, mempelajarinya secara menyeluruh, seakan membaca apa yang terjadi padaku selama ia tak ada.


"Kau mengundurkan diri eh??" Tebaknya tepat sasaran. Aku menggeleng, yang justru ditangkapnya sebagai arti mengiyakan. Aku menundukkan kepala, semakin muram.


Bekerja sebagai pialang saham tidaklah mudah, sangat menekanku untuk mendapatkan Client, ditambah lagi jika dana yang ditransaksikan terseret hingga jutaan won, seorang pialang harus mampu memberikan penjelasan masuk akal sesuai dengan News pada Client di hari itu.


"Teman2mu juga satu per satu meninggalkanmu, dan kau sangat merindukan keluargamu, sedangkan kau masih belum berbuat apa2 untuk mereka, kau merasa gagal, begitukah??" Air mataku merebak, tanpa kompromi mengalir deras begitu saja, dan jatuh diatas punggung tanganku.


Ia membacanya. Ia membaca email yang kukirimkan beberapa bulan yang lalu. Syukurlah.


"Kau...juga sangat merindukanku, begitu yang kau tulis??" Aku semakin tersedu, dengan menekan segenap harga diri, aku berkeluh kesah disana, merasa benar-benar kalah, gagal dan sangat membutuhkan dirinya.


"Kenapa.....kau baru datang??" Isakku pelan, memainkan ujung kaosku yang entah sudah berapa lama belum kuganti. Ia menghela napas iba. Perlahan tangannya menggiring kepalaku menuju dadanya, membenamkan wajahku disana, membiarkanku menumpahkan kegelisahanku, mengijinkan airmataku membasahi kemeja putihnya.


"Karena kau yang memintaku." Ucapannya seketika membuatku mendesakkan kembali ingatan pada kalimat-kalimatku terdahulu, yang membuatnya begitu tersakiti.


"Benarkah?? Aku...lupa, bantu aku mengingatnya." Ia tersenyum, mengelus lembut kepalaku.


"Saat kau mendapatkan pekerjaan untuk pertama kalinya, kau benar2 merasa seperti berada diatas langit, kau lupa pada orang2 yang berada disekelilingmu, workaholic, dan cenderung merendahkan orang lain. Namun begitu kau melihat temanmu hampir menyamai kedudukanmu, kau merasa iri, bahkan dengki. Kau tidak menyukai pesaing."
Ia berhenti sejenak, menggantungkan kalimatnya, membiarkan isakku semakin menjadi, membiarkan rasa penyesalan merasuki tubuhku, merayap dan mencengkeram kuat tepat didadaku.


"Kau sama sekali tidak mendengarkanku, dan malah menyuruhku meninggalkanmu karena aku tidak pernah mendukungmu, kau melupakan masa 3 tahun kebersamaan kita, begitu mudahnya karena kau terlena pada suatu pekerjaan, kau mengagung-agungkan materi, dan merasa kau bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain."
Nada suaranya tercekat, aku semakin tersedu. Seburuk itukah aku??


"Aku sadar, itu bukan dirimu, kau tidak butuh kritikan kala itu, kau hanya butuh dukungan, kau hanya butuh pengakuan dari orang-orang agar menganggapmu hebat, bukankah begitu??"
Aku mengangguk pasrah, mengiyakan semua perkataannya, ia tahu lebih baik mengenai diriku, aku benar-benar buta.


"Kau bahkan menduakanku dengan teman sekantormu itu, Lee Donghae, benar bukan??"
Ia terkekeh saat menyebutkan nama orang ketiga yang sempat merusak hubungan kami. Tak pernah terbayangkan bahwa pria brengsek itu telah berkeluarga.


"Kau memintaku datang pada saat kau jatuh, dan aku menepatinya. Sengaja datang terlambat agar kau memikirkan setiap sikap burukmu, memberimu waktu agar bisa instrospeksi. Aku tahu, kau kini menyesal."


"Iya....aku sangat menyesal. Kumohon maafkan aku." Ia mengelus punggungku, memberi ketenangan disana.


"Tahukah kau hal ini membuatku lega?? Aku yakin kau belajar dari semua kejadian ini. Aku yakin kau bisa hidup jauh lebih baik setelah ini, dan aku yakin kau pasti bisa...... menemukan seseorang yang jauh lebih memahami dan mampu membimbingmu menjadi pribadi yang lebih baik."
Aku terkejut dengan kalimat terakhirnya, mendongak menatapnya, meminta penjelasan. Ia bahkan tak mau menatapku, ia membuang muka. Kami terdiam cukup lama, nyaris penuh emosi dalam drama. Ia kemudian merngangkat tangan kirinya, melonggarkan kelima jari, membuatku mengarahkan pandangan pada benda logam yang membalut kecil di jari manisnya.


Kesadaranku menurun drastis, hatiku makin tercabik, bahkan terkoyak bagai kain usang.


"Kau......"


"Ya, aku sudah bertunangan." Ucapnya tegas. Aku mendengus tak percaya. Pendengaranku masih normal tapi seakan merasa tuli mendadak.


Tolong katakan bahwa ini benar-benar tidak nyata. Bulan apa ini? April mop kah? Dengan airmataku yang masih tampak bercucuran, dan luka yang masih menganga, ia malah menambahkan perasan air jeruk di atasnya, membuatku semakin histeris dalam tangis.


"Kau....brengsek." Umpatku memukul dadanya kuat2, ia diam.


"Aku dijodohkan." Akunya membuat sedikit pembelaan, namun tak mengurangi rasa kesalku yang meluap-luap.


"Dan kau pikir aku peduli?? Brengsek kau."


Aku sama sekali tak ingin tahu dengan siapa ia dijodohkan, aku juga tak peduli bahkan ia bertunangan karena menaruh benih dirahim wanita lain. Dia sama halnya dengan pria yang berselingkuh.


"Untuk apa kau kembali kemari hah?? Kau datang seakan memberikanku kesempatan kedua, tapi kau memberikan kenyataan lain, pria macam apa kau?!" Tangisku semakin menjadi, nafasku tercekat, namun pukulanku melemah.


Aku membenamkan wajah dikedua tanganku, menolak keras saat tangannya kembali mendorong kepalaku kedadanya. Dadaku naik turun dengan deru nafas menahan emosi yang tak terkendali. Kembali kami terdiam dengan pikiran masing-masing, ia memperhatikanku begitu intens, seakan takut tiba-tiba aku berdiri dan gantung diri.


"Pergilah." Pintaku beberapa saat setelah kami terdiam cukup lama, emosiku sudah cukup stabil setidaknya.


"Tidak, sampai aku melihatmu membenahi diri, aku tak mau melihatmu berantakan."


Aku tertawa mengejek, membuatnya mengernyit heran. "Apa yang harus dibenahi?! Aku sudah hancur."


Ia memandangku tak suka. "Kau tidak boleh begini, kau masih muda, kehidupanmu masih panjang. Kumohon bangkitlah."


Melihatnya memohon seperti ini membuat mataku kembali memanas.


"Lalu aku harus bagaimana? Aku benar-benar sudah tak punya siapa-siapa lagi disini." Keluhku pada akhirnya memberitahu kegelisahanku selama ini.


Dia meraup wajahku, menyejajarkan posisi kami yang saling berhadapan. "Pulanglah, kembalilah ke orangtuamu, kau akan lebih baik jika berada ditengah keluargamu."


Aku terpaku, memikirkan beribu alasan bagaimana aku bisa begitu berani pulang dengan tangan kosong jika hanya membawa gelar Sarjana Akuntansi dibelakang namaku. Apa yang akan dipikirkan keluargaku?? Orang-orang di sekitar tempat tinggalku??


Seakan mengerti kegelisahan yang tengah melanda pikiranku, ia kembali berucap. "Tidak ada orangtua yang tidak menginginkan anaknya kembali, meskipun kau belum menjadi orang sukses, keluarga akan tetap menerimamu, kau hanya perlu meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau pasti akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik disana."


Setelah mendengar kalimatnya, seakan ada udara yang memenuhi rongga dadaku, perasaan lega yang tak terkira menyusup begitu saja, membuatku memiliki secercah harapan untuk bangkit.


Kenapa selama ini aku tak pernah berpikir demikian? Orangtuaku selalu menawarkanku untuk pulang kapanpun aku mau, tak pernah ada paksaan dari mereka untuk mengatur hidupku. Aku diberi kebebasan. Aku dimudahkan dalam menjalani hidupku tanpa kekangan.


Saat memikirkan hal itu, rasa rindu kembali melandaku, tangisku pecah, tangis rindu yang selama ini tertahan, tak tersampaikan secara langsung dari bibirku, pada orangtuaku, terutama ibuku.


"Kau menangis lagi."


"Aku rindu Ibu." Isakku dibahunya. "Aku ingin pulang." Dia mengangguk mengerti.


"Berbenahlah, bersihkan dirimu, lalu penuhi perutmu, setelah itu aku akan membantumu berkemas."


Kali ini aku tidak menolak, aku mengangguk patuh. Dengan langkah gontai berjalan menuju kamar mandi, berhenti sejenak saat aku melihat kaca dan mematut diri disana.


Benar yang dikatakannya, aku sangat kacau, dengan airmata yang mengering disudut mataku, serta rambut panjang yang awut-awuttan, aku sama sekali tidak mencerminkan seperti gadis normal kebanyakan. Memalukan.


Usai membersihkan diri kurang lebih 20 menit, aku keluar dengan baju mandiku. Melihatnya yang tengah terbaring tenang diranjangku, aku menghampirinya. Dia tertidur, aku duduk ditepi ranjang, menelusuri tiap lekuk wajahnya tanpa menyentuh, garis rahangnya terbentuk sempurna, mata, hidung, dan akhir pandanganku terpaku pada bibirnya.


"Dia sudah bertunangan." Gumamku menarik diri dari gejolak hormon yang sempat melandaku beberapa detik yang lalu.


Aku bangkit menuju kelemari pakaian, mengambil salah satu pakaian sehari-hariku disana, jeans dan kaos berwarna biru muda, kemudian kembali kekamar mandi untuk mengganti pakaian.


"Dijodohkan ya??" Gumamku lagi, sesaat kemudian menggelengkan kepalaku, menekan dadaku yang terasa sesak, mencoba menerima kenyataan.


Saat keluar dari kamar mandi, ia sudah tidak lagi berbaring. Aku mendekatinya yang kini tengah berdiri didekat jendela, tersenyum manis kearahku yang kubalas dengan kaku. Aku memperhatikan cincin dijarinya, pada akhirnya penasaran setengah mati dengan siapa dia bertunangan.


"Ayo kita pergi makan." Ajaknya menarik tanganku, tapi aku masih mematung ditempat.


"Boleh kutanya sesuatu??" Ucapku. Ia berbalik, siap dengan pertanyaan yang akan kuajukan, air mukanya tampak tenang, seakan tak terjadi apa2, seakan aku dan dia masih....memiliki hubungan.


"Siapa....wanita itu??" Tanyaku sedikit tak jelas, namun jari telunjukku yang mengarah pada jemari kirinya memperjelas semuanya. Ia tersenyum.


"Ikutlah, aku akan mengenalkannya padamu." Ia berkata lembut. Namun seketika aku mengibaskan tanganku. Wajahku berubah tegang saat ia dengan beraninya berbaik hati akan mengenalkan tunangannya padaku.


Seulas senyum tampak menghiasi tiap sudut bibirnya saat melihat reaksiku, bahkan belum ada 1 jam aku dikejutnya dengan pengakuannya, kini ia malah dengan santai mengajakku untuk dikenalkan pada calon istrinya. Konyol


"Kalau kau sampai melakukannya, berarti kau sama sekali tidak menghargai perasaanku." Tandasku membuatnya semakin tersenyum penuh arti. Ia lalu mendekatiku, meraih tanganku yang satunya hingga ia berhasil menggenggam keduanya.


"Bagaimana jika kukatakan bahwa kaulah wanita itu??" Ia mengatakannya dengan tatapan mengarah tepat kemanik mataku, seakan menyekap bola mataku disana agar tidak bergerak kemana-mana.


Aku terdiam, mencerna ucapannya


"Oh, jadi kau mempermainkanku eh??" Ucapku datar, tak sudi untuk terkejut maupun ikut andil dalam lelucon garapannya.


"Iya, aku mempermainkanmu, sedikit memberi pelajaran lebih tepatnya" Sahutnya santai, namun ada nada tegas dalam suaranya.


Ia melepas cincinnya dan memperlihatkan ukiran nama didalamnya, mataku membulat ketika membaca sebuah nama disana, namaku. Aku mundur selangkah, kembali emosiku meluap, merasa tak rela telah dikerjai.


Bingung harus melakukan apa, juga takut jika tak dapat mengendalikan emosiku yang membabi-buta, aku lebih memilih untuk duduk, memijit pelipisku.


"Mianhae." Ucapnya berlutut didepanku, wajahnya menyiratkan rasa tak enak hati setelah melihat ekspresiku yang cukup terkejut hingga tak mampu berkata-kata. Ia merasa sudah sangat kelewatan.


"Puas kau??"


"Mianhae."


"Brengsek kau."


"Saranghae."


Sejurus kemudian ia mengecup bibirku membuat otakku meronta meminta bekerja, namun gagal, kecupan singkatnya bahkan membuat sistem syarafku macet total, aku membeku. Ia terkekeh pelan, khas seorang Cho Kyuhyun.


"Sejujurnya, aku kecewa saat kau mengusirku tadi, kupikir kau sudah tidak mencintaiku, bahkan kau tidak menanyakan siapa wanita itu, hampir saja rencana untuk mengerjaimu gagal." Akunya tanpa dosa, semakin membuatku jengkel melihat ekspresi wajah jahilnya.


Perlahan kesadaranku pulih, lalu tanpa ampun, aku mencubit pipinya keras-keras, menarik tiap inci kulitnya memenuhi jemariku, wajah mengaduhnya tampak jelek sekali, membuatku mau tak mau akhirnya tertawa.


Bukan, ini bukan tawa karena melihat wajah jeleknya, ini hanya manipulasi saja. Aku tertawa karena luapan rasa lega mengetahui bahwa dia hanya mengerjaiku, mendapat kenyataan lain lagi bahwa hatinya masih milikku. Aku berhenti menghukumnya dan meringis pelan. Menundukkan wajahku, menyentuhkan keningku di bibirnya.


"Jangan pernah berubah lagi demi apapun, Arasseo??" Pintanya, yang langsung kusetujui dengan anggukan mantap.


Ia memelukku erat, memaksakan semua beban terangkat dari pundak kami masing-masing. Kurasakan kemejanya masih terasa lembab oleh airmataku tadi.


"Tapi kau tetap harus pulang." Ucapnya tiba2.


Kembali resah melandaku, baru saja kurasakan kelegaan luar biasa, kini dia membuatku limbung lagi. Kali ini dengan alasan yang berbeda, jika aku pulang, maka kemungkinan aku bisa bertemu dengannya sangat minim, pasalnya dia masih terikat kontrak dengan perusahaannya selama beberapa tahun kedepan.


"Hei, tak akan lama, mungkin 2 hingga 3 tahun. Jika kontrakku sudah selesai, aku akan mengajukan pindah tugas dan menetap di Jeju, dengan begitu akupun sudah siap untuk menikahimu." Ia mencoba menenangkanku. Tapi, apa yang baru saja dia bilang?? Menikah?? Apa ia baru saja melamarku??


Ya Tuhan!!


Tanpa diketahuinya, aku tersenyum, sedikit getir, namun sangat bahagia. Aku semakin mengeratkan pelukanku dibahunya, merasa lega karena pada akhirnya aku memiliki tujuan hidup bersamanya, meski sedih karena aku tidak dapat bertemu dengannya dalam jangka waktu lama.


Lalu ia kembali berucap. "Kau juga harus berusaha disana, kau selalu bilang ingin menjadi bagian dari staff Accounting Banking Industry kan?? Wujudkanlah. Meski aku tidak peduli kau bekerja atau tidak, tapi aku tidak berhak memaksa impianmu." Aku mengangguk patuh, setetes airmata kembali membasahi pipiku, namun kali ini airmata haru.


"Sudah jangan menangis, apa kau tidak lelah menangis terus??" Aku menggeleng, membenamkan wajahku di relung lehernya.


"Kyuhyun-aa." Panggilku pelan.


"Mmh??"


"Mianhae." Desahku disela tangis haruku.


"Untuk??"


"Segalanya." Ia tersenyum, mengusap pelan punggungku, menenangkanku dengan pancaran aura kehangatan melalui tangannya.


"Kyuhyun-aa." Panggilku sekali lagi.


"Ne??"


"Gomawo."


"Untuk??" Tanyanya kembali, meresponku dengan sabar.


"Segalanya."


Ia terkekeh. "Sudah puas memelukku??" Tanyanya menggoda, aku menggeleng kuat, wajahku tengah merona, aku tak ingin ia sampai melihatnya, karena berakibat ia akan menggodaku habis-habisan.


"Lututku pegal, asal kau tahu." Keluhnya, sukses membuatku tertawa lalu mengalah dan melepaskannya. Ia terduduk dilantai, meringis pelan saat meluruskan kakinya.


"Ayo makan, aku tidak ingin cacing-cacing diperutmu itu berbunyi terus-menerus, kau ini sudah berapa lama tidak makan?? Lihat, tubuhmu yang mulai seperti tengkorak, bagaimana kalau kau terkena maag, kau benar2 tidak sayang pada tubuhmu ya?!" Ia kembali merecokiku, aku seakan kembali ke masa-masa terdahulu, saat kami pertama kali bertemu.


Dia hanya seorang senior yang dikenalkan oleh teman kampusku. Dia sangat pendiam dan hanya berbicara seperlunya. Namun itulah yang menarik dari dirinya, dia diam bukan berarti tidak memperhatikan, dia sangat pintar dan peka meski caranya menunjukkan ekspresi terlihat seperti orang yang tidak peduli dengan sekelilingnya.


"Kenapa kau senyum-senyum sendiri??" Tanyanya heran melihatku tersenyum seperti orang gila.


"Tidak ada.."


Ia menaikkan alisnya, lalu menghela napas pelan, "Bagaimana hal kecil bisa menjadi seberat ini?? Ayo kita makan, setelah itu kita jalan-jalan, sudah lama kita tidak berkencan. Nanti malam aku akan membantumu berkemas. Bagaimana??" Aku mengangguk setuju.


Ia bangkit berdiri, mengulurkan tangannya untuk kuraih. Senyum tak lepas dari bibirku, wajah ceria pertamaku setelah beberapa bulan menarik diri dari lingkungan.


Ia meraih pinggangku, menuntunku berjalan disisinya, membuatku tak kuasa menahan hasratku untuk tidak melakukan sesuatu. Aku berjinjit, menopang lenganku dibahunya, mengecup pipinya dengan penuh rasa sayang. Ia tertawa lebar saat aku berbisik pelan ditelinganya.


"Saranghae."



                                                                                The End



Horeeeee oneshoootttt,,
Haigohhhh, saya ketar-ketir ngetiknya, tapi puas ohohoohoohoh
Capek ah, mau makan duyu,,
Cawwwwww




10 komentar:

  1. ya ampun ff nya udah lama /.\ maaf baru baca thor ;)
    ahhhh kerren nih ^^b penggunaan bahasa nya keren, alurnya juga. adegan mreka berdua itu so sweet :D feel nya dapet bget ^^
    Daebak author d^^b

    BalasHapus
  2. Gomawo chingu,,

    Trmksh sudah mampir,

    SaLam kenaL yaaa ^^

    BalasHapus
  3. Ada yang ngerekomendasiin nih ff :D pas dibaca emang keren abis!^^
    cincin pertunangan itu awalnya enggak keduga, tapi pas tengah- tengah kepikir juga ah.. itu pasti bohong, ternyata bener.. hehe.. happy ending deh :3
    nice ff ^_^)/..!!

    BalasHapus
  4. HaLo Rene, maaf baru baLas yach,,
    Eniwei ada yg ngerekomendasiin?? Syapa?? Haha
    Kupikir ff segeje ini g ada yg minat baca :D
    Tankyu komennya yachhh :*

    BalasHapus
  5. halo, nice ff ^^
    sebenarnya aku udah baca ff ini sejak lama tapi baru ninggalin jejaknya sekarang, maaf ya author-nim :D
    aku benar2 nggak duga kalau ternyata tunangan kyuhyun itu si cewe dan aku mengumpat kyuhyun dalam hati 'kenapa kyu masih tetap datang ke cewe itu padahal dia punya tunangan???'
    oya author-nim, aku baca ff ini karena rekomendasi dari sini http://jupiterplanet.wordpress.com/2012/04/18/sharing-my-favorite-fanfiction/ :D dan ternyata bener ff nya bagus banget dan idenya unik hehe
    kalau sempat kunjungi blog aku ya www.deliciouslollipop.wordpress.com tapi maaf FF yg aku buat nggak sebagus author-nim hehe

    BalasHapus
  6. Halo Farras, wah nggak ngeh ada komen yg belum di balas dari kapan tahun ini?! Mian hukz..
    Aku semalem mampir blog km lhoh, tulisan km bagus koq, malah tulisanku yang amburadul nieh hihi
    Pertahanin ya, mumpung masih banyak waktu buat berkreasi, kalo udah kuliah, udah kerja jadi susah bagi waktunya, salam kenal ^,^

    BalasHapus
  7. halooo, permisi numpang lewat ya thor.

    uwooooo, bahagia nemeuin ini. Aaaaaa manis banget, aaaaaa #scream. gk tau mau bilang apa, terlalu terbawa suasana. hehee, sorry teriak" gk jelas disini dan thanks untuk tulisannya. Semangat thor ^ ^

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Dara...tenang Dara...kendalikan dirimu." (guncang-guncang bahu) :D
      Koq g tau mau bilang apa, ayo bilang donk, jgn kelamaan kebawa suasananya, ntr Kyuhyunnya keburu makin tembem lho hihi
      Thanks jg Dara untuk semangatnya, jackpot buat km udah komen di ketiga tulisanku :* :*

      Hapus
    2. Ok, suka aja dgn tulisan kamu yang penuh makna, ceilee.. kapan" Dara baca yang lain deh. Thanks buat jackpotnya, apalagi untuk siswi yang 12 hari lagi bakalan ngelepasin seragam SMA, ckck~

      Salam kenal ya, Dara.

      Hapus
    3. Wah udah mau jd mahasiswi nieh, semangatttt, siap-siap kangen ama seragam sekolah hihi

      Salam kenal jg Dara, Lieza.

      Hapus