Jumat, 23 Mei 2014

(Fanfic: Oneshoot) - - When You Leaving Without Word - -



(Maincast : Kris, and The Girl is Hye Ri)

***
Tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Tubuh Hye Ri kembali bereaksi membaca pesan singkat untuk kesekian kali yang diterimanya 2 hari lalu. Mulutnya terbuka ingin berteriak namun tak ada suara yang mampu dikeluarkannya. Dadanya naik turun menahan sesak. Airmatanya tak kunjung mengering menangisi pria yang telah meninggalkannya.

Seharusnya ia tahu kemungkinan ini akan terjadi. Seharusnya ia tahu! Hanya dengan menerima pesan singkat, dirinya harus menelan pil pahit bahwa pernikahannya yang tinggal satu minggu lagi harus dibatalkan secara sepihak.

Ia tak ada hentinya menyalahkan diri sendiri. Ia tak ada hentinya menyalahkan pria itu.

Teganya kau, Yi Fan. Batin Hye Ri menjerit, hatinya terluka. Rasanya seperti di cambuk.

Hye Ri sudah mencarinya dengan bertanya pada teman-teman Yi Fan sebisa mungkin, senormal mungkin, agar tidak menimbulkan kecurigaan diantara mereka atau mereka justru akan menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Namun, nihil. Ibu yi Fan pun tidak bisa dihubungi sama sekali, menimbulkan pertanyaan cukup besar dibenaknya.

Ada sesuatu dalam firasatnya yang sudah sejak lama merasakan bahwa hari ini akan segera tiba. Bahwa Yi Fan akan meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Tanpa ratapan darinya agar pria itu tidak meninggalkannya. 
 
Apa yang harus kujelaskan pada orangtuaku?

Hanya itu kekhawatiran tebesarnya. Hye Ri tidak hanya dibuat patah hati. Namun juga harus berpikir keras bagaimana caranya bisa menguatkan diri saat menerima cercaan dari berbagai pihak keluarganya.

Ia merasa marah, putus asa, sekaligus bingung. Apa sebenarnya yang membuat Yi Fan tega melakukan hal ini kepadanya? Di saat pesta pernikahan akan berlangsung seminggu lagi. Di saat undangan telah tersebar luas. Di saat semua tetek bengek pernikahan hampir 95% siap. Mereka hanya perlu datang ke gedung, saling mengucap janji dan ikrar itu akan menjadi catatan sehidup semati.

Lalu apa? Apa yang membuatnya setega itu?

Tidakkah Yi Fan mencintainya? Dimana dia? Kenapa dia menghilang?

Apa arti kebersamaan mereka selama 2 tahun ini? Apa arti lamarannya saat ia mengajak Hye Ri menikah? Apa arti semua kalimat-kalimat manis bahwa Yi Fan akan selalu membahagiakannya? Berada disampingnya?

Semua itu hanya janji palsu. Semua itu hanya bualan. Semua itu hanya manis bibir saja. Semua laki-laki memang begitu.

Hye Ri mencoba mengontrol emosinya. Tangannya gemetar menekan speed dial menghubungi satu nomor untuk keseribu kali.

The number u are calling....’

PRAAAKK!!!

PENGECUT!!!” Kemarahannya kembali berkobar. Ponselnya berhamburan setelah menabrak dinding. Ia benar-benar putus asa. Nomor itu sudah tidak bisa dihubungi beberapa hari ini. “BRENGSEK!!!” Ia berteriak frustasi. Menjambak rambutnya untuk meredakan kepalanya yang terasa berdenyut. Badannya meringkuk diatas ranjang dengan perasaan hancur. Ia menatap ponselnya dengan pandangan merana.

Ini tidak boleh terjadi. Ia harus menemukan Yi Fan sebelum keluarganya mengetahui hal ini. Ia tidak ingin orangtuanya membunuhnya karena telah membuat malu keluarga. Namun logikanya segera menginterupsi. Harga dirinya lebih tinggi dibandingkan rasa sakit dihatinya. Ia wanita. Ia tidak akan pernah mengemis padanya untuk kembali.

Kenapa harus ia yang mencari? Kenapa bukan Yi Fan sendiri yang datang dan menjelaskan padanya? Kenapa harus ia yang berkorban atas ketidakkonsistenannya? Pria itu begitu pengecut mengirimkan pesan dengan mengatakan bahwa ia tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.

Apa maksudnya?

Hye Ri menghela napas. Rasanya udara terputus-putus masuk ke dalam paru-parunya. Ia lelah. Ia ingin tidur. Ia ingin saat terbangun nanti, semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk, karena semua yang ia rasakan saat ini terasa tidak nyata baginya.

Dan mata itupun perlahan-lahan terpejam, memasuki alam mimpi terliarnya.

.

Beberapa jam kemudian, Hye Ri terbangun di sore hari oleh suara bel apartemennya yang mengusik. Ia terlonjak. Segera ia hapus sisa airmatanya yang mengering dan buru-buru menuju pintu. Ia begitu berharap seseorang yang diinginkannya saat ini muncul didepan pintunya. Dan begitu pintu itu menjeblak terbuka, ia dihadapkan oleh kedatangan kedua orangtuanya yang berdiri memandangnya.

Tubuh Hye Ri menegang. Ibunya tampak kalut dan wajah ayahnya tampak mengeras. Ia terus berpikir bagaimana cara menjelaskannya pada mereka, namun gagal, ia bahkan lupa dengan namanya sendiri. Sebelum ayahnya meledak marah, Ibunya sudah menjatuhkan diri ke pelukan Hye Ri.

Tangis itu pecah, tangis haru akan perasaan saling memahami diantara wanita, tangis yang terdengar beriringan hingga ke sudut ruang. Ayahnya dengan sigap segera menutup pintu agar tak didengar oleh penghuni kamar lain.

Hye Ri tak henti-hentinya minta maaf. Ia tahu, cepat atau lambat orangtuanya pasti akan segera mengetahui hal ini. Ia sangat menyesali apa yang telah terjadi. Pernikahan anak pertama yang didambakan orangtuanya luluh lantak hanya karena keegoisan satu pria.

Ketika emosi mereka mereda dan saling melepas pelukan, sang Ibu membimbingnya duduk di sofa. Beliau memberitahukan bahwa mereka menerima kabar itu dari Ibu Yi Fan yang meminta maaf dengan amat sangat melalui telepon langsung dari Kanada. Hye Ri bertanya apa yang terjadi, namun Ibunya tak langsung memberitahu. Meski begitu, raut marah sekaligus kecewa di wajah sang Ibu tak bisa disembunyikan.

Hye Ri terdiam dan airmata kembali jatuh mengalir di pipinya. Ia mencoba tersenyum lebih kepada dirinya sendiri, lantas ia berbicara pelan, “Maafkan aku, Ibu, Ayah.” Ia menarik napas dan menghembuskannya. “Aku baik-baik saja. Tapi sepertinya, kalian harus menunda untuk memiliki seorang menantu.” Dan pecahlah tangis kedua orangtua itu mendengar pernyataan dari anak sulungnya.

.

Orangtuanya memaksa Hye Ri agar mengosongkan apartemennya dan kembali kerumah saat itu juga. Meski Hye Ri membantah dan sedang ingin sendiri, disertai harapan yang tak terucap bahwa kemungkinan Yi Fan akan kembali, namun orangtuanya tetap bersikeras.

Apartemen yang ia tempati saat ini adalah apartemen yang akan mereka huni setelah menikah nanti. Apadaya pernikahan itu harus kandas tanpa adanya pernyataan dari calon pasangan hidupnya.

Saat mereka sampai dirumah. Orangtua Hye Ri membiarkannya langsung menuju kamarnya tanpa bicara. Sungguh, bukan ini yang ingin Hye Ri tunjukkan pada mereka. Ia ingin terlihat kuat, namun percuma karena tetap saja mereka dapat membaca kerapuhan hatinya.

Hye Ri terhuyung-huyung masuk ke dalam kamar, ia tidak langsung meringkuk di ranjang tapi justru berjalan menuju sofa dan menempatkan kedua sikunya pada jendela. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkannya kembali, layarnya retak namun beruntung masih bisa hidup.

Kau dimana? Ia mencoba kembali peruntungan untuk mengirimkan pesan singkat itu. Kali ini hanya pertanyaan biasa, bukan cercaan yang mengancam seperti saat pertama kali ia menerima pesan dari Yi Fan karena panik. Ia berjanji, jika Yi Fan membalas dan mau menjelaskan masalah sebenarnya, ia tidak akan marah. Namun yang didapat hanya laporan tunda yang tertera disana.

Hye Ri menggenggam ponselnya, menekuk lutut dan kembali menangis memandang ke luar jendela. Ia menatap gelapnya langit malam tanpa bulan. Seharusnya ia tengah merasakan debaran akan datangnya hari pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi, bukannya justru meratapi nasibnya yang malang karena di tinggal pergi calon suami. Ingin rasanya ia bertanya pada Ibu Yi Fan, namun lagi-lagi ia merasa tak perlu melakukan itu.

Ia terus berpikir, mencoba mencari letak kesalahannya hingga terjadi hal seperti ini. Ia mengakui bahwa dirinya memang terlalu posesif dan mengekang Yi Fan. Ia sadar bahkan dirinya sangat egois selama ini. Ia tahu Yi Fan tidak suka banyak bicara. Ia mengerti Yi Fan yang tidak suka di atur. Ia faham betul sifat Yi Fan yang sangat sulit ditebak. Yi Fan hanya akan bicara jika ingin bicara. Dan tidak akan membicarakan masalahnya jika ia tidak mau.

Tapi haruskah seperti ini ia menghukumku? Haruskah ia membuat kecewa kedua orangtuaku? Hye Ri kembali membatin.

Kenangan-kenangan manis penuh cinta mereka mendesak keluar begitu saja. Saat Yi Fan menyatakan cintanya yang begitu romantis di upacara wisuda. Saat kencan pertama mereka di Namsan Tower. Saat Yi Fan mentraktir dengan gaji pertamanya setelah mendapat pekerjaan di Firma Hukum. Saat mereka bertengkar karena Yi Fan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Saat Yi Fan memberinya sebuket bunga mawar agar mereka berbaikan. Saat Hye Ri merasa putus asa karena belum mendapatkan pekerjaan. Saat Yi Fan memberinya nasehat-nasehatnya yang begitu membangun. Saat ia memeluknya setelah kembali dari Kanada. Ciuman mesranya saat mengatakan ia rindu. Lamarannya yang begitu kaku di tahun baru. Genggaman tangannya saat Yi Fan mengajaknya ke pantai musim panas di second annyversary mereka. Janji-janji kecil mereka di atas pasir pantai...

Terlalu banyak.” Hye Ri berucap lirih menghentikan seluruh kenangannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mengikhlaskannya saja ia belum rela. Ia yakin Yi Fan masih mencintainya. Ia yakin hatinya masih menjadi miliknya. Yi Fan pasti memiliki alasan yang kuat kenapa dirinya harus meninggalkannya. Hanya saja ia tidak tahu cara menyampaikannya, hingga ia memilih waktu yang sangat tidak tepat seperti ini.

Hye Ri terisak, napasnya tersengal memandang layar ponsel yang menampilkan selca mereka sebagai wallpapernya yang di ambil saat liburan ke Kanada Desember tahun lalu. Ia membuka kotak masuk, membaca ulang pesan itu dan kembali menangis.

Maaf. Aku tidak bisa hadir ke pernikahan kita. Hubungan ini tidak bisa diteruskan.

Begitu tulisnya. Hanya itu. Hanya itu pesan yang ia kirimkan pada calon istrinya setelah 2 minggu berada di China untuk mengunjungi makam Ayahnya.

Apa sebenarnya yang membuat Yi Fan mendadak berubah pikiran? Apa ia bertemu dengan seseorang yang berhasil merubah dirinya? Apa ia bertemu dengan wanita yang menarik perhatiannya? Apa ia mendapat semacam penglihatan setelah mengunjungi makam Ayahnya bahwa jika mereka menikah, pernikahan itu tidak akan pernah berhasil?

Hye ri memejamkan matanya. Kepalanya terasa sakit memikirkan segala hal yang sama sekali tidak diketahuinya, yang semakin berada diluar nalarnya. Ia memutar tubuhnya perlahan, membaringkan diri di sofa dan meringkuk di sana. Kembali berharap, semoga esok pagi ia akan mendapatkan berita yang dapat membuat hatinya merasa lebih baik.

Saat pagi tiba, ia terbangun oleh kicauan burung yang terdengar seperti nyanyian di telinganya. Namun tubuhnya terasa kebas. Ia tidak pernah merasa seaneh ini sebelumnya. Saat ia menyentuhkan tangan ke kening, suhu panas langsung menjalari kulitnya. Lidahnya pahit dan perutnya terasa mual. Kepalanya pusing dan persendiannya terasa seperti di ikat.

Ia demam. Tentu saja.

Bagaimana tidak? Wajar jika ia sampai demam. Ia tidur dengan posisi seperti itu semalam suntuk dan tanpa selimut, di sertai peliknya masalah yang ia hadapi saat ini.

Hye Ri merintih ketika mencoba bangun dari ranjangnya. Ia menurunkan kakinya dan terduduk. Ia tidak ingin kemana-mana. Ia hanya ingin beringsut menyelimuti dirinya dan meringkuk di ranjangnya yang empuk. Ia merasa haus, namun rasa hauspun tidak bisa mengalahkan dahaga hatinya.

Ia membawa ponselnya dan setelah sampai di ranjang, matanya menelusuri banyaknya pesan dan panggilan masuk disana, namun ada satu nama yang membuat matanya membulat sempurna. Satu nama yang ia nantikan selama berhari-hari. Satu nama yang akhirnya muncul di deretan nama pengirim pesan. Satu nama yang membuatnya tenggelam dalam kabut kepedihan.

Hye Ri tidak langsung membuka pesan itu, ia mengecek laporan pesan terlebih dahulu dan hatinya langsung melompat girang mendapati seluruh pesannya terkirim tanpa ada yang gagal. Ia gemetar ketika menekan folder kotak masuk dan mencari sebuah nama untuk membaca pesan dari pria itu. Begitu pesan itu terbuka, ia menarik napas dan membacanya dengan seksama.

Aku baik-baik saja. Tak perlu mencariku.
Terimakasih telah mengisi hari-hariku selama ini.
Jaga dirimu baik-baik.  

.............

Hening.

Pantaskah jika Hye Ri kembali menangis? Pantaskah ia diperlakukan seperti iti? Pantaskah ia tetap mengaharap pria itu kembali?

Hye Ri membeku ditempat. Airmatanya terasa panas dipipinya yang merah karena suhu tubuhnya yang membara. Dengan brutal ia menekan speed dial dan langsung menghubungi nomor tersebut.

Tersambung.

Hati Hye Ri berseru lega. Ia menanti hingga dering kelima sampai suara berat itu mengudara. Namun, tak ada suara lagi setelahnya. Baik dari sang penelpon maupun yang tengah di telepon. Hye Ri ingin bicara. Ia ingin bertanya, namun lidahnya kelu. Hye Ri ingin memarahinya tapi suaranya tak mau keluar. Demam telah merenggut suaranya hingga nyaris hilang.

Yi Fan.” Panggilnya serak, berusaha keras agar suaranya muncul. “Kau dimana?” Airmata kembali jatuh di pipinya. “Ada apa?” Hanya gumaman kasar yang terdengar.

Di seberang sana, Yi Fan hanya bisa menutup mulutnya agar tidak terdengar bahwa ia juga sedang menangis. Ada apa dengan gadisnya? Apa ia terus menangis sampai kehilangan suaranya? Ia bersumpah, bahkan jika Tuhan mengusirnya dari surga ia akan dengan senang hati berlari ke neraka karena sudah menyakiti gadis itu.
Setelah lama terdiam, Yi Fan menarik napas mengatur suaranya, “Setelah ini jangan mencariku.”

Kali ini Hye Ri merasa hatinya seperti di cengkeram menggunakan kuku tajam, tak pernah terbayangkan akan sebegini menyakitkan mendengarnya langsung keluar dari bibirnya. “Kenapa?” Hanya itu yang bisa ia katakan.

Yi Fan mengabaikan pertanyaannya. Ia memejamkan matanya perih, “Carilah pria yang baik.” Ucapnya pelan. Pedih rasanya ia harus mengatakan hal yang tak seharusnya ia katakan, namun ia harus melakukannya. “Aku tidak akan kembali.”

Nafas Hye Ri tersengal setelah mendengar penuturannya. Ia terus bertanya kenapa dan kenapa, namun Yi Fan tak kunjung menjawab. Hye Ri merasa kesal karena di saat seperti ini, ia justru kehilangan suaranya. Ia ingin bicara, apapun kondisinya, ia harus bicara. Dan dengan susah payah ia mencoba mengumpulkan suaranya agar bisa terdengar, “Katakan padaku.” Ia terisak. “Apa kau.... mencintaiku?”

Yi Fan kembali memejamkan matanya. Mendadak kepalanya terasa berat. Ia memegang dadanya yang terasa nyeri. Pertanyaannya membuatnya benar-benar nyaris berhenti bernafas. Dan ia berharap gadis itu tidak pernah menanyakannya.

Di saat ia ingin melepaskan gadis itu. Di saat ia ingin mengakhiri semuanya. Di saat ia benar-benar merasa ingin mati karena telah melukai hati gadis yang amat di cintainya dan juga keluarganya. Yi Fan benar-benar menjadi orang yang lebih pengecut daripada sebelumnya. "Selamat tinggal." Setelah mengucapkannya, sekali lagi secara sepihak, Yi Fan dengan tega memutus sambungan telepon itu, membiarkan gadisnya kembali menerima jawaban yang menggantung.

Hye Ri membeku di tempat dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Setelah beberapa menit, ia akhirnya berkedip, berusaha menghapus airmata yang tak henti mengalir di pipi. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang kembali menampakkan wallpaper foto mereka, mengamati wajah pria yang tega meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.

Hatinya sakit dan tenggorokkannya terasa lebih kering daripada sebelumnya. Ia tak pernah menyangka, setelah semua hal yang mereka lalui, setelah banyaknya waktu yang mereka lewati, hingga pernikahan itu sudah berada di depan mata. Pria itu mencampakkannya begitu saja.

Ia kembali menata pikirannya ketika didengarnya pesan masuk di ponselnya. Dan ketika ia membaca pesan itu, ia menutup mulutnya beserta airmata yang kembali meluncur membasahi pipinya.

Dengan membabi buta, sekali lagi ia menekan speed dial di ponselnya, dan hatinya mencelos ketika mesin penjawab yang menjawab panggilannya. Hye Ri menurunkan tangannya lemas. Ponsel itu masih menyala hingga suara mesin penjawab berhenti dengan sendirinya.

Ia tahu ada sesuatu yang salah. Ia tahu ada yang tidak ingin Yi Fan beritahukan padanya. Maka ia hanya bisa menghargai keputusan pria itu meski harus menghancurkan dirinya.

Tangisan Hye Ri layaknya mendung yang menyapa mentari di pagi musim panas. Ia pasrah dengan semua ini. Jika Tuhan berbaik hati mempertemukan mereka kembali, Hye Ri hanya berharap, ia sudah mengetahui alasannya dan sudah menemukan tambatan hati lain yang berhasil membuatnya melupakan semua kepedihan masa lalunya yang sedang dirasakannya saat ini. Meski hatinya sakit luar biasa, hancur lebur hingga menembus celah tulang belulangnya, ia tak ingin penderitaannya menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.

Kepala Hye Ri tertunduk, ia melihat ponselnya dan sekali lagi membaca pesan terakhir itu dengan senyum getir.

Aku mencintaimu.

The End



Huwaaaa huwaaaaaa huwaaaaaaaaaa
Yi Fannnnnnn, apa yang sudah kau lakukan pada kami????????
Patah hati ternyata semenyakitkan ini. :’(
Judulnya maksa ya? :D
Iya benar, fic ini terinspirasi dari hengkangnya sang Leader EXO-M dari EXO dg alasan yang masih simpang siur dan hasilnya fic ini juga berakhir dengan alasan yang menggantung.
Jujur saja, banyak sekali rumor yang bermunculan, hingga saya bingung mau berkomentar apa.
Saya tidak ingin memihak karena baik Kris maupun SM juga member EXO pasti punya alasan tersendiri terkait masalah ini.
Mereka semua sama-sama tersakiti #tsahhhh Kita doain yang terbaik aja.
Yang jelas, buat EXOstan, yang sabar ya, buat yang ngebiasin Kris, yang tabah, juga yang kuat.
Bias saya bukan Kris sih di EXO, tapi karena saya ngikutin mereka dari jaman mereka baru lahir, jadi agak sedih-sedih gimanaaa gitu. :D
EXO FIGTHING!!!
Berikutnya pengen bikin fic Baekhyun yang player nan jahil :*