Jumat, 21 November 2014

(Fanfic: Oneshoot) - - You Are The One - -



(Maincast: Wu Yifan and You)

 ***

Aku membawa kakiku melangkah ringan menyusuri jalan setapak menuju kampus. Tanganku penuh dengan buku-buku tebal yang kudekap erat di dadaku, mengabaikan peluh di dahi dan leher tanpa perlu repot mengikat rambutku yang tergerai. Hari ini baru pukul setengah sembilan pagi, namun cuaca sudah seterik ini. Baru ku sadari akhir Maret sudah memasuki awal musim panas di Seoul.
Perhatianku teralih oleh suara kicau nyaring sepasang burung gereja yang hinggap di rerumputan. Kukira mereka sedang bercumbu, rupanya mereka berkelahi. Aku sempat berpikir apa yang tengah mereka perebutkan? Dan pertanyaanku segera terjawab ketika seekor burung gereja yang kupastikan betina hinggap tak jauh dari mereka. Lucu, bahkan hewanpun memiliki kisah cinta segitiga. Sambil tersenyum sendiri, tanpa sadar aku melangkah mendekati burung-burung itu yang langsung terbang ketiganya. Aku mendongak memandangi arah mereka terbang dengan ekspresi kecewa.
Dilarang menginjak rumput.” Aku tertegun menoleh ke belakang. “Kau menganggu burung-burung itu.” Ucapnya lagi lalu tangannya mengisyaratkanku untuk kembali ke jalan setapak.
Aku nyengir lalu berdiri di sampingnya yang tinggi menjulang. “Pagi.” Sapaku ringan dan dibalas dengan senyum hangatnya. Dia memperhatikan buku-buku yang kubawa lalu menawarkan diri untuk membawanya sebagian.
Untuk apa buku-buku ini?” Tanyanya ketika kami mulai berjalan beriringan menuju gedung.
Aku mau memperpanjang masa pinjam buku. Tugasku mulai menumpuk. Bulan depan kan sudah ujian akhir. Aku lelah sekali sampai kurang tidur.” Keluhku sambil memijat-mijat leherku. Dia tersenyum maklum disampingku. “Kau juga ada kuliah pagi ini?”
Tidak.” Jawabnya singkat dan aku mengernyit.
Jawabanmu seperti orang yang belum makan 3 hari.” Candaku. “Kau sudah sarapan?”
Aku tidak lapar. Aku hanya mau mengumpulkan tugas.” Jawabnya sembari menyerahkan buku ke tanganku. Melihatku yang tampak bingung dengan sikapnya, ia lantas tersenyum lalu mengacak rambutku. “Mau makan siang bersamaku? Aku libur part-time sore ini. Chanyeol menggantikan shiftku.”
Aku mengangguk gembira. “Aku hanya ada 2 mata kuliah.”
Bagus. Hubungi aku setelah kelas usai.” Ucapnya sembari membenarkan letak ranselnya kemudian melangkah pergi. Aku memperhatikan punggungnya yang mulai menjauh. Tiba-tiba hati dan pikiranku mulai berkecamuk. Semalam aku melihat kalender dan menemukan bulatan tanda merah di salah satu tanggal di awal bulan April yang tinggal seminggu lagi. Dan sekarang, aku menahan napas antara ingin mengajaknya terlebih dahulu atau menunggunya sampai ia sendiri yang mengajakku.
Yi Fan!” Panggilku sedikit keras. Pemuda yang kupanggil akrab dengan nama Yi Fan itu berbalik. Beberapa mahasiswa yang berjalan melewati kami melirik kearahnya. Yi Fan menaikkan alis menungguku berucap. Ketika sepersekian detik aku tak kunjung bersuara akhirnya ia kembali mendekat.
Ada apa?” Tanyanya. Sial! Wajahku panas. Wajah dinginnya memperlihatkan senyumnya yang sedikit geli, ia pasti melihat semburat merah di pipiku.
Aku membuka mulutku tapi kemudian menutupnya lagi. Dadaku berdebar. “Tidak apa-apa. Sampai bertemu nanti.”
Ia terkekeh menampakkan deretan giginya yang rapi lalu mengangguk. “Ikat rambutmu. Cuaca sangat panas. Sampai nanti.”
Ketika aku menjawabnya dengan anggukan, ia kemudian melangkah pergi dan di koridor menuju kelasnya, aku memejamkan mata dan menghembuskan napas. Apa dia lupa? Tahun lalu bahkan ia mengajakku sebulan sebelumnya, tapi kenapa kali ini dia diam saja? Malah dia hanya mengajakku makan siang.
Aku terus berpikir tanpa kusadari aku sudah hampir sampai di kelas. Mungkin aku terlalu cepat berharap. Bukankah di usia ke 2 masa pacaran biasanya pasangan akan sedikit lebih cuek? Bagaimana kalau ternyata dia punya gadis lain yang sedang ditaksir? Bagaimana jika gadis itu ternyata lebih cantik dariku? Atau jangan-jangan ia kembali dihubungi oleh mantan pacarnya yang dari Kanada itu lalu mengajaknya balikan? Tidak, tidak, tidak. Dia bilang, dia sudah melupakannya dan aku tahu dia tidak pernah berbohong. Yah, aku hanya harus mempercayainya, itu saja.
Aku mengangkat bahu. Memutuskan untuk membuang segala pikiran burukku dan memasuki ruang kelas yang mulai padat.

***
Aku dan Yi Fan memulai hubungan kami tanpa sengaja. Dia orang yang sangat kaku dan pendiam. Wajah dinginnya terlihat mengerikan sekaligus menawan di saat yang bersamaan. Aku tidak tahu dia hanya pura-pura memasang wajah dingin atau pada dasarnya dia memang seperti itu, yang jelas aku tidak pernah tertarik dengan pria berwajah muram, apalagi yang tidak pernah bisa menciptakan suasana.
Saat itu, aku justru tengah naksir dengan temannya yang berkepribadian hangat dan ceria bernama Park Chanyeol. Aku dan Chanyeol dulu satu SMA dan dipertemukan di Universitas yang sama meskipun berbeda jurusan. Di awal semester kehidupan sebagai mahasiswa, masa-masa pendekatanku dengan Chanyeol terusik karena kedatangan Yi Fan yang selalu muncul ditengah-tengah kami. Selain sebagai teman sekelas mereka juga teman satu kerja di kafe 24 jam, jadi tidak heran mereka menjadi sangat akrab. Hingga pada akhirnya aku sadar bahwa Chanyeol menganggapku tak lebih dari seorang teman karena ia sedang menjalin hubungan dengan teman sekelasnya.
Aku patah hati, tentu saja, dan Yi Fan datang dengan membawa pundak sebagai sandaran atas airmataku untuk Chanyeol. Kurang beruntung apa aku ini? Aku pikir Yi Fan mengajakku berkencan karena ia kasihan padaku, tapi ternyata ia memang sudah jatuh cinta padaku sejak aku berteman dengan Chanyeol. Menaklukkan hati seorang gadis yang sedang patah hati itu mudah, katanya waktu itu. Karena jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik dengan orang pendiam, tapi siapa sangka selama bersamaku ia jauh lebih banyak menebarkan tawa dibanding sebelumnya. Semua teman-teman yang mengenal Yi Fan juga berkata demikian. Yi Fan seperti orang gila ketika sendirian, dan tampak kasmaran ketika bersamaku. Aku tersenyum mengingat semua hal tentang dirinya yang begitu manis.
Hei.” Yi Fan mencolek ujung hidungku mendapati aku melamun. Ia mengernyit heran melihatku salah tingkah. “Memikirkan apa?”
Memikirkanmu. Andai urat maluku sudah putus untuk mengatakan hal itu.
Kami tengah berada di kafetaria siang ini. Menikmati hembusan pendingin ruangan tak jauh dari kami. Tadinya kami ingin makan di luar, tapi melihat betapa teriknya matahari, kamipun memutuskan untuk makan siang di kampus. Sembari menunggu pesanan kami diantar, aku mengeluarkan buku-buku dari dalam ransel bermaksud menyicil tugas essay yang baru saja diberikan oleh dosen.
Sibuk sekali.” Yi Fan menggumam di depanku, tanpa sadar makanan kami sudah tersedia di meja.
Aku harus menyicil agar minggu depan kita bisa....” Aku menghentikan kalimatku. Yi Fan menungguku menyelesaikan ucapanku dengan sumpit yang tertahan di udara.
Ya?”
B-bisa belajar untuk ujian.” Ucapku akhirnya. “Kita kan sudah semester 4. Ujian tinggal seminggu lagi.” Aku tertawa garing menarik jus semangka di depanku. Yi Fan hanya geleng-geleng kepala memakan kimbabnya.
Aku memperhatikan dirinya selama ia menikmati makanannya yang tampak tidak begitu berselera. Ini hanya perasaanku atau memang Yi Fan tampak berbeda hari ini? Aku tahu betul pribadinya yang pendiam, tapi ia tampak lebih pendiam dari biasanya. Kalaupun dia sakit, wajahnya tidak tampak pucat. Mungkin aku akan mengetahui suhu tubuhnya setelah aku menyentuhnya. Maka kuputuskan untuk menyentuh ringan punggung tangannya. “Apa ada yang ingin kau ceritakan padaku hari ini?”
Yi Fan tampak terkejut dengan sentuhanku. Tangannya tidak panas, itu berarti suhu tubuhnya normal. Ia hanya tersenyum menanggapiku. Aku berdiri dan duduk di sampingnya. “Duizhang, kau tampak seram kalau tidak tertawa. Aku tidak suka kau berakting cool seperti itu. Jangan membuatku berpikiran yang tidak-tidak. Katakan ada apa?” Paksaku sembari merebut sumpit dari tangannya. “Kau tidak sedang berselingkuh, kan?”
Yi Fan hanya terkekeh dan memandangku seolah-olah ‘yang benar saja’ dengan tatapannya yang tajam. Aku menghela napas lega. Syukurlah, berarti dia masih mencintaiku.
Jadi?” Aku menopang pipi dengan tangan kiriku agar bisa menatapnya. Yi Fan malah sibuk mengunyah dan menyuapkan sepotong gimbab ke mulutku.
Saat makan tidak boleh bicara.” Ucapnya lalu menyesap soft drink kemudian kembali menikmati gimbabnya. Aku memutar bola mataku, menarik buku serta kertas essay ke hadapanku dan kembali menulis. Percuma memaksanya bicara, dia tidak akan pernah mengutarakan isi pikirannya jika ia tidak mau.
Apa kau tidak ada tugas sama sekali?” Tanyaku setelah beberapa menit kami terdiam. Yi Fan tidak menghabiskan makanannya dan malah sibuk meneguk colanya sedikit demi sedikit.
Ada.” Ia meletakkan kalengnya di meja. “Tapi aku sudah menyelesaikannya.” Aku hanya mengangguk sebagai respon. Lalu kami kembali terdiam. Aku sibuk menulis dan Yi Fan sibuk memutar-mutar tepi kaleng dengan ujung jarinya entah memikirkan apa, sampai akhirnya Yi Fan memanggil namaku pelan. “Hye Ri-ya.”
Ya?”
Yifan memandangku aneh. Sepertinya aku terlalu semangat menjawab panggilannya. “Kenapa kau menatapku terkesima seperti itu saat kupanggil?” Godanya padaku.
Lalu aku harus bagaimana?” Aku hanya bisa protes menahan malu. “Seharian ini kau tampak aneh. Kukira kau sakit. Wajar kalau aku khawatir.” Sewotku berusaha menutupi sikapku yang mulai salah tingkah.
Yi Fan terkekeh menggaruk ringan keningnya. “Boleh aku melanjutkan?”
Aku menunggu.”
Hye Ri, tentang minggu depan....” Ia menggantungkan kalimatnya sementara aku menanti kelanjutannya dengan perasaan was-was. Ajak aku, ayo ajak aku berkencan. Awas kalau sampai kau melupakannya. “Ayo kita jalan-jalan.” Dan hatiku bersorak setelah mendengar ajakannya. Aku yakin Yi Fan tidak akan mengecewakanku.
Eum... bagaimana ya?” Aku pura-pura berpikir. “Ini sulit. Tugasku banyak sekali.” Ucapku memandang benda-benda di depanku dengan tatapan merana.
Yi Fan ikut menatap meja dengan pandangan iba. “Ya sudah, tidak usah saja. Aku tidak akan mengganggumu.”
Aku buru-buru mencengkeram lengannya. “Apa-apan itu? Harusnya kau paksa aku. Cepat sekali menyerah.” Yi Fan tergelak dengan tingkahku. Tanpa sadar aku pun tersenyum melihatnya tertawa. “Kau mau ajak aku kemana? Setidaknya aku jadi bisa menyelesaikan tugas-tugasku lebih cepat.”
Yi Fan berpikir sejenak. “Kau mau ke pantai?” Tawarnya dan aku mengangguk dengan antusias. Aku tahu, dia sangat menyukai pantai musim panas. Jika tahun lalu dia sudah mengabulkan keinginanku untuk ke Namsan Tower kenapa aku harus menolaknya saat mengajakku ke pantai musim panas?
Kedengarannya menyenangkan.”
***
Sesuai dengan targetku. Aku menyelesaikan tugas-tugasku selama seminggu penuh. Memaksakan diri begadang bukan hanya supaya aku bisa konsentrasi saat ujian nanti, tapi agar aku bisa merayakan 2 tahun hubungan kami tanpa terbebani tugas dan esoknya aku bisa belajar seharian penuh. Aku sampai menahan diri tidak bertemu dengannya agar aku bisa lebih konsentrasi.
Kami hanya sesekali berkirim pesan meski hanya sekedar untuk saling menyemangati ataupun mengingatkan untuk makan, lalu kami akan saling membalas dengan emoticon senyum dan tanda cinta, terkadang ditambahi dengan emot kiss. Kami seperti anak sekolahan yang sedang kasmaran, padahal hubungan kami sudah hampir 2 tahun.
Kemarin malam tanggal 4 April, Yi Fan sudah mengucapkan happy anniversary di telepon sama seperti tahun lalu. Dan Sabtu pagi ini, aku disibukkan dengan berbagai persiapan bekal yang akan aku bawa. Ayahku yang mendengar suara gaduh dari arah dapur terbangun dan segera mendapatiku tengah sibuk mencuci buah. Beliau sempat menanyaiku akan pergi kemana dan aku hanya menjawabnya dengan gumaman kecil bahwa aku akan pergi ke pantai.
Dengan si Kanadian itu?” Tanya Ayahku mengigit roti bakar yang sudah aku olesi selai coklat. Beliau duduk di meja makan tepat di hadapanku dan menuangkan jus jeruk kedalam gelas.
Namanya Yi Fan, Ayah!” Tegurku pura-pura sebal.
Ayah mengangkat bahu, “Bagaimana Ayah tahu. Kau tidak pernah membawanya kerumah dan memperkenalkannya pada kami.”
Aku terkekeh mendengar jawabannya, “Aku akan segera memperkenalkannya. Jangan khawatir.”
Yah. Ayah harap dia bisa menjaga putri Ayah agar tidak terseret ombak, ah dan juga bisa menjaga tangannya saat dia mencoba menyelamatkanmu.” Ayah memasang wajah seriusnya dan aku hanya bisa berseru protes karena beliau tak ada habisnya menggodaku setiap aku sedang dekat dengan teman laki-laki.
Setelah menyusun bekalku yang terdiri dari sandwich, buah dan jus kesukaannya, aku berjalan menaiki tangga menuju kamarku untuk bersiap diri. Seperti layaknya pakaian saat liburan ke pantai, aku memilih dress biru laut sebagai pakaian musim panasku. Sedikit berdandan kemudian menyampirkan tas selempang kecil yang terbuat dari rajutan benang wol pemberian Yi Fan sepulangnya dari Kanada beberapa bulan lalu.
Aku turun ke bawah berpamitan dengan orangtuaku dan tentu saja disertai ledekkan-ledekkan kecil dari Ayahku. Kubawa keranjang mini di tangan kananku dan berjalan menuju Stasiun. Aku harus naik kereta terlebih dahulu, kami janjian bertemu di Halte dekat Stasiun sebelum akhirnya menaiki bus menuju arah pantai.
Waktu menunjukkan pukul 9 dan dadaku berdebar mengingat akan bertemu dengan Yi Fan setengah jam lagi setelah perjalanan kereta. Ini aneh, kami sudah sering berkencan tapi aku selalu saja merasa berdebar-debar saat akan bertemu dengannya. Aku menikmati perjalanan sambil duduk di dalam kereta yang sedikit ramai di akhir minggu ini. Mungkin orang-orang ini juga akan berlibur ke pantai sama sepertiku. Aku melihat seorang Ibu muda yang sedikit kerepotan menggendong anak bayinya, laki-laki yang duduk disebelahnya membantunya menggendong bayi tersebut dan menampakkan wajah lucu saat menggoda anak bayinya hingga tertawa, pastilah dia Ayah dari bayi itu. Melihat pemandangan tersebut, aku jadi berpikir bagaimana aku dan Yi Fan jika sampai menikah kelak? Apa wajah dinginnya itu akan membuat bayi kami tertawa saat ia berusaha menampakkan wajah konyolnya?! Aku menutup mulut dengan jemariku menahan tawa. Apa yang baru saja kupikirkan? Bayi kami? Bahkan aku sudah berpikiran terlalu jauh sampai aku dan Yi Fan akan memiliki seorang bayi. Aku menarik napas, mengontrol diri sebelum orang lain menyadari ada gadis gila di dalam kereta yang mereka tumpangi.
Perjalanan terasa sangat singkat. Aku berjalan keluar dari Stasiun menuju Halte. Yi Fan sudah mengimiku pesan sebelumnya bahwa ia sudah sampai dan mataku dengan mudah menangkap sosok tinggi putih itu tengah duduk bersandar dengan earphone putih menggantung di telinganya. Aku pasti sudah gila, bagaimana bisa aku dulu tidak suka dengannya dan lebih memilih mengejar Chanyeol?
Yi Fan menyadari kehadiranku dan menoleh tersenyum kearahku. Mata kami membulat bersamaan ketika melihat sesuatu di antara kami. Baju kami berwarna senada. Yi Fan melepas jaket biru tuanya dan mengikatnya dipinggang sedangkan aku tetap mempertahankan kardigan putih di tubuhku. Aku akan melepasnya saat berada di pantai nanti.
Ia menurunkan tatapannya ke tanganku, “Kau membawa apa?”
Sandwich, buah, dan jus. Kau belum sarapan, kan?.” Yi Fan tersenyum dan menarikku duduk tapi seorang pria sudah terlebih dahulu mengambil kursi di sampingnya tanpa rasa bersalah. Tubuhnya tambun dan berbau keringat. “Tidak apa, aku berdiri saja. Aku sudah puas duduk di kereta.”
Untungnya, bus pun datang ketika Yi Fan akan berdiri agar aku bisa duduk di tempatnya. Kami hanya saling memandang dengan senyum sebelum akhirnya kami masuk ke dalam bus dan memilih kursi yang sayangnya semuanya penuh. Kami pun terpaksa berdiri. Bus sedikit sesak, Yi fan menggantungkan tangannya mencari pegangan sedangkan tangan kirinya merangkul bahuku agar tidak berdesakkan.
Setelah puas duduk di kereta sepertinya kau akan puas berdiri di bus.” Sindirnya sedikit bergumam di belakangku. Aku terkekeh dan menjulurkan lidah ke arahnya.
Setelah 15 menit perjalanan, rem bus berdecit kencang di pemberhentian berikutnya, menyebabkan seluruh penumpang terlonjak kedepan tak terkecuali aku yang hampir jatuh karena hilang keseimbangan, beruntung Yi Fan menangkap pinggangku dengan cepat. Belum sempat aku mengucapkan terimakasih Yi Fan sudang menarik tanganku. “Ayo kita duduk, di belakang sana kosong.” Ajaknya setelah melihat beberapa penumpang turun di Halte.
Bus sedikit lenggang sekarang, setidaknya sudah tidak ada lagi penumpang yang berdiri. Yi Fan membiarkanku duduk di samping jendela dan membantuku membukanya. “Segar.” Seruku riang saat angin menerpa wajahku.
Asalkan kau tidak mengeluarkan tanganmu kecuali kau ingin disambar oleh kendaraan lain.” Ucapnya mengingatkan kebiasaan burukku ketika naik transportasi umum. “Aku haus.”
Oh iya,” Aku mengeluarkan jus mangga kemasan kecil dan memberikan padanya. “apa kau juga lapar?”
Tidak, nanti saja.” Tolaknya halus. “Ngomong-ngomong, kau bangun jam berapa sampai sempat menyiapkan bekal ini?”
Aku menerawang mencoba mengingat-ingat, “Entahlah, mungkin sekitar 6 pagi.” Kataku pelan. Yi Fan hanya membulatkan matanya meresponku. Aku mengambil kemasan jus yang sudah kosong dari tangannya kemudian memasukkannya ke keranjang untuk kubuang nanti.
Ia kemudian menyandarkan kepalanya kebelakang. Aku tahu kebiasaannya jika sudah berpose seperti itu saat tangannya terlipat di dada, ia akan mulai tidur. Aku tahu ia baru selesai dengan shiftnya sekitar pukul 12 tadi malam dan akan sangat keterlaluan jika aku terus mengajaknya bicara sedangkan perjalanan menuju pantai memakan waktu kurang lebih 1,5 jam lamanya.
Maka aku memilih memandang keluar jendela dan membiarkannya tertidur selama perjalanan. Tak lama kurasakan tautan di antara jemariku dan memandang tangan besar telah membelenggu disana. “Bangunkan aku kalau sudah sampai.” Ucapnya dengan mata terpejam. Aku tersenyum dan kembali memandang keluar jendela. Dia memang tidak bisa ditebak.


***
Kami sudah sampai dan Yi Fan menguap lebar meregangkan otot-ototnya ketika turun dari bus. Ia tampak segar, sedangkan aku malah lemas dan mengantuk. Angin pantai membuatku rileks, rasanya aku bisa tidur sambil berdiri saat ini juga.
Ayo kita turun.” Aku membuka mataku dan menyadari bahwa kami harus melewati puluhan anak tangga agar bisa turun ke pasir.
Yang benar saja.” Protesku lesu. Yi Fan yang riang gembira karena akhirnya bisa bertemu pantai, mulai menyusun strategi menyadari diriku tak bersemangat.
Bagaimana kalau kita bermain?” Serunya membuatku menautkan alis bingung. Ia mulai menjelaskan permainan, mengajakku bermain kertas gunting batu, yang menang turun lima langkah dan yang kalah tetap berdiri ditempat. Siapa yang mencapai pasir terlebih dahulu, dialah pemenangnya dan sebagai hukuman, bagi yang kalah harus menggendong yang menang sampai ke tepi pantai. Awalnya aku protes, dia tahu betul aku lemah dalam permainan ini, tapi Yi Fan berlaku curang dengan menuruni 5 anak tangga terlebih dahulu. Alhasil aku panik dan mulai mengikuti permainannya.
Kau tertinggal jauh. Ayo semangat. Jika sekali lagi kau kalah, kau harus menggendongku.” Ia berseru padaku yang tertinggal 15 anak tangga jauhnya. Sial! Aku tidak rela harus menggendong tubuhnya dipunggungku.
Beberapa orang turun yang melewati kami terkekeh geli melihat tingkah kami. “Kertas, gunting, ba......tu. Aaarrrrgghhh!”
Sialan. Sialan. Sialaaannn!!! Aku kalah!!!
Yi Fan tertawa terbahak-bahak dibawah. Ia mengangkat tangannya dan menyuruhku untuk turun kebawah. “Ayo kemari, Baginda Ratu. Gendong Rajamu ini sampai ke pantai.”
Mana ada seorang Ratu menggendong Raja?!” Aku mengerang kesal sambil menuruni sisa anak tangga. Ide jahil segera terlintas di benakku, ketika aku sudah sampai di hadapannya, aku segera mengambil langkah seribu dan berlari meninggalkannya yang berteriak curang padaku. Namun secepat kilat ia dengan mudahnya menangkap bahuku dan mengangkat satu kakinya seolah-olah hendak naik ke punggungku. Kami tertawa seperti orang gila, mengabaikan tatapan geli orang-orang yang melihat kami ingin tahu.
Dasar curang!!” Kami tertawa sampai kehabisan napas dan memutuskan untuk berjalan hingga ke pantai. Cuaca sangat mendukung hari ini, meskipun hari sudah menunjukkan pukul 12 siang dan matahari tepat berada di atas kepala namun langit tidak seterik biasanya. Kami mencari tempat berteduh di bawah pohon dan mengeluarkan isi keranjang.
Yi Fan meneguk air yang kuberikan padanya dan menyeka dengan punggung tangan. Kami makan sambil memandangi pantai di depan dan nyaris menghabiskan seluruh isi keranjang. Ternyata kami lapar. Aku menoleh kearah Yi Fan dan menyadari sesuatu, ia sudah kembali seperti biasanya. Seminggu lalu di kafetaria ia tampak sangat pendiam. Aku senang karena sekarang ia justru jauh lebih banyak tertawa hari ini. Semoga aku bisa terus membuatnya tertawa.
Kau mau berenang?” Tanyaku yang di balas dengan gelengan kecil. “Kenapa?”
Berenang bukan gayaku.” Ujarnya sok cool yang membuatku tertawa keras sekaligus mencibir.
Kupikir kau takut air.” Ledekku padanya. Harusnya dia bisa membalasku dengan menjawab bahwa akulah yang takut pada air, mengingat aku pernah tenggelam saat olahraga renang di sekolah dulu, tapi Yi Fan lebih memilih diam. “Aku akan menjaga pakaianmu. Sana berenang. Oh iya, jangan lupa pakai ini.” Aku membuka kardigan dan mengeluarkan sunblock dari dalam tasku. Yi Fan memperhatikan tas tersebut tanpa berkata apa-apa. “Sini aku bantu oleskan.”
Ia membuka kemeja biru yang dikenakannya dan menanggalkan celana jinsnya, menyisakan boxer kuning dengan gambar-gambar kecil spongebob yang melekat di tubuhnya. Aku tertawa melihat pemandangan unik itu.
Darimana kau mendapatkan boxer itu?” Tanyaku tanpa menghentikan tawaku. “Seorang Raja tidak mengenakan benda kekanakkan seperti itu.”
Dari pacar yang gagal memberikannya pada cowok lain 2 tahun lalu.” Aku makin tergelak mendengar pengakuannya yang membawa masa lalu kami. Benar, dulu aku ingin memberikannya pada Chanyeol karena dia sangat menyukai Spongebob.
Aku pikir boxer itu tidak akan awet jika berada di tangan cowok lain.” Dalihku mencoba menyenangkan hatinya, namun justru terdengar seperti ledekan.
Yeah, terimakasih sudah memberiku barang bekas yang belum sempat dipakai.” Katanya sambil mengulurkan tangan untuk kuolesi lotion.
Hei, aku akan memberimu 100 boxer spongebob kalau kau mau.” Ia tidak menjawab dan sibuk mengolesi lotion ke kaki dan tubuh depannya, sedangkan aku sibuk mengolesi punggungnya kemudian menepuknya. “Selesai. Bersenang-senanglah.”
Yi Fan langsung berlari kearah pantai dengan riang. Aku tertawa melihatnya berkecipuk didalam hangatnya air. Ia berenang kesana kemari dan sesekali melambai kearahku. Aku hanya bisa menyaksikannya bersenang-senang sendirian sambil menikmati apel di tanganku. Setelah hampir 30 menit, ia kembali dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyup. “Lengket.” Keluhnya sembari menyibakkan rambutnya yang basah.
Ayo kita cari toilet agar kau bisa mandi.”
.
Sembari menunggu Yi Fan membersihkan tubuhnya, aku melihat stan pakaian tak jauh dari toilet umum. Tentu saja hal ini terpikirkan olehku begitu saja. Setelah membelinya aku langsung kembali dan mengetuk pintu kamar mandi yang dipakainya.
Yi Fan, ini kuberikan untukmu.” Teriakku dan menyodorkan bungkusan plastik ketika ia melongokkan kepalanya di belakang pintu. Ia mengernyit bingung tanpa berkata apa-apa dan segera menutup pintu. Tak lama ia sudah keluar dengan pakaian lengkap.
Apa tidak ada celana dalam lain selain gambar spongebob?” Katanya kaku dan aku hanya bisa menyemburkan tawaku mendengarnya.
Apa kau lebih suka patrick yang pink?” Godaku yang dibalas dengan gelengan keras.
Yi Fan menghela napas pasrah. “Kuning lebih baik. Ayo kita main pasir.” Ia meraih tanganku, mengajakku kembali ke pantai sebelum ia mengambil keranjangku dan membawanya di tangan kanannya.
Di tengah perjalanan aku melihat ayunan kosong dan langsung tertarik ingin menaikinya. Aku menarik lengan kemeja Yi Fan yang langsung mengikuti arah telunjukku. “Kita naik itu dulu.” Ia berpikir sejenak kemudian mengangguk dan hanya bisa melihatku berlari menuju ayunan itu. “Aku sudah lama ingin main ayunan.” Seruku riang menjejakkan kaki di pasir dan membiarkan tubuhku mengayun pelan. Yi Fan berjalan menghampiriku dan meraih gantungan besi ayunan tersebut. Ia membantuku mendorong hingga aku kembali terayun. “Pukul berapa sekarang?”
Ia mengecek arlojinya, “Setengah dua siang.”
Apa kita akan berada di pantai sepanjang hari?” Tanyaku tanpa menoleh padanya. Sebenarnya yang kurasakan justru ingin lebih lama bersamanya.
Apa kau ingin ke suatu tempat?”
Tidak. Aku ingin melihat sunset.” Yi Fan mengangguk dan kembali mendorongku. Tiba-tiba kurasakan ayunanku ditarik terlalu jauh dan aku berteriak ketika ia melepaskannya begitu saja. “Duizhang, jangan terlalu kencanggg.”
Aku sungguh takut ketinggian dan ketika ayunan sudah mulai melambat aku nekat melompat hingga lututku jatuh ke pasir. “Kau tidak apa-apa?” Yi Fan bertanya setengah tertawa di depanku. Aku menatapnya sebal. “Ayo kita main pasir saja.” Ia menarik tanganku hingga berdiri.
Aku melepas sandalku dan menikmati hangatnya pasir pantai di kakiku, sementara Yi Fan menggulung celananya hingga batas lutut. “Kapan terakhir kali kau ke pantai?” Tanyaku saat kami sudah berada di tepi pantai.
Kelas 5 SD.” Jawabnya datar. Aku membelalakkan mataku dan mulai menghitung. Yi Fan yang melihatku berpikir hanya terkekeh dan mulai mengeruk pasir. “Kau mau kubuatkan istana?”
Aku menghentikan kegiatan berpikirku dan bergabung dengannya. “Aku tidak yakin kau bisa membuatkan yang bagus untukku.”
Hei, jangan meledek reinkarnasi Phycasso.” Katanya dan lagi-lagi ia sangat percaya diri dengan reinkarnasi konyol itu.
Aku menahan senyumku dan duduk dipasir tak jauh darinya. “Sebelumnya kau bilang, kau reinkarnasi dari Leonardo Davinci. Mana yang benar?”
Mereka berbagi raga didiriku.” Ujarnya dan masih sibuk mengeruk pasir. Aku tergelak mendengar penuturannya.
Baiklah, Tuan Phycanardo,” Aku mulai meledeknya dengan panggilan karanganku. “mungkin setelah mereka berenkarnasi menjadi dirimu, para seniman kanvas itu sudah beralih menjadi seniman pasir. Sekarang buatkan istanaku. Apa yang bisa kubantu?”
Aku butuh air, mana botol mineral tadi?” Yi Fan membuka keranjang dan mengambil botol mineral kosong kemudian mengisinya dengan air laut. Ia menuangkannya diatas tumpukan pasir yang ia keruk tadi dan mulai membuat istananya.
Aku tidak ikut membuatnya dan hanya memperhatikan wajah seriusnya yang terkadang mengulas senyum diantara kegiatannya. Harus kukakatan bahwa pria yang dikenal dingin ini justru manis dan sangat kekanakkan jika sudah bertemu pantai dan pasir. Efek sinar mentari yang kini menyinari tubuhnya membuat wajah tampannya terlihat sangat mempesona. Terlebih kemeja biru cerah yang ia kenakan, ia tampak lebih bercahaya.
Aku kembali teringat kencan kami setahun lalu saat merayakan hubungan setahun kami. Namsan Tower menjadi tempat yang paling kuinginkan untuk kudatangi saat itu. Pemandangannya luar biasa sampai aku mengabaikan dirinya yang hanya bisa mengekor di belakangku. Kini hal itu justru berbalik kepadaku. Yi Fan terlihat amat sangat menyukai pantai, ia tidak hanya berenang tapi juga bermain pasir. Hanya saja ia lebih menyukai pantai saat musim panas, udaranya hangat katanya.
Tuan Phycarnado, kau sebenarnya sedang membuat istana atau rumah suku eskimo?” Aku tidak tahan untuk tidak meledek memandangi hasil karyanya yang baru setengah jadi. Lihat saja saat tangannya menekan-nekan pasir. Ia justru membuat karya seninya tampak cembung ke atas.
Tidak ada ember dan sekop, aku kesulitan membuatnya.” Balasnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari pasir.
Kau hanya beralasan, sini kubantu.” Aku mendekatkan diri dan membantunya menuangkan air sedikit demi sedikit.
Setelah hampir satu jam akhirnya istana pasir yang kami bangunpun jadi. Aku membuat semacam menara dengan mengucurkan pasir basah menggunakan tanganku dan menancapkan batang kayu sebagai sentuhan terakhir. Kami menatap hasil karya kami dengan pandangan datar.
Istana yang bagus.” Kataku hambar. Yi Fan hanya memandangku menyadari aku hanya meledek karya seninya. “Ayo kita menggambar saja.” Usulku memungut kayu panjang tak jauh dari kami dan mendekati pasir basah di tepi pantai kemudian menuliskan namaku disana. Hye Ri. Dan juga menuliskan namanya. Yi Fan. lalu mengambar tanda cinta mengelilingi 2 nama tersebut. “Bagus, bukan?”
Yi Fan tersenyum memandangi tulisan itu, namun ombak segera menghapus tulisan tersebut sebelum aku sempat mengabadikannya di ponsel. Yi Fan mengambil kayu di tanganku dan menggambar dengan asal. Pada akhirnya kami hanya menghabiskan waktu dengan mengomentari gambar-gambar kami.
Akan kugambarkan sesuatu untukmu.” Ucap Yi Fan padaku.
O ow. Firasatku tidak enak. Dia boleh mengaku reinkarnasi dari para seniman terkenal itu tapi mengingat gambarnya yang lebih buruk dari gambar seorang anak TK, membuatku ragu dengan pernyataannya. Dan benar saja, yang tengah di gambarnya saat ini kutebak adalah bebek.
Kau tahu ini apa?” Tanyanya padaku. Aku menggeleng. “Ini Unicorn.”
Aku menyembur tertawa mengamati gambar itu. “Ini terlihat seperti bebek. Lihat, dia punya moncong panjang.”
Itu bukan moncong, tapi cula, semacam tanduk.” Yi Fan menjelaskannya dengan bersemangat sedangkan aku memegangi perutku menahan tawa. Setelah berdebat antara moncong dan cula yang tak kunjung selesai akhirnya aku memilih duduk di pasir kering dan mengatur napasku. Lelah. Yi Fan mendekatiku dan duduk di sampingku. Aku melirik arlojinya yang menunjukkan waktu lebih dari pukul 4 sore.
Waktu berjalan begitu singkat. Kami menikmati semilir angin pantai dalam diam. Merasa nyaman tanpa ada yang bersuara. Yi Fan mendongak ke langit menatap layang-layang di sana. “Lihat, bukankah layang-layang itu tidak konsisten?” Aku menoleh padanya dan menautkan alisku. “Ia meliuk kesana kemari dan dikontrol oleh angin, tak punya arah.”
Aku tersenyum menanggapinya. Menyadari bahwa bukan ini yang sebenarnya ingin ia katakan. “Apa yang ingin kau bicarakan, Yi Fan?”
Yi Fan sedikit terkejut. Ia menunduk memandangi tangannya. Setengah menimang-nimang untuk berbicara tapi ragu, namun akhirnya ia bersuara. “Hye Ri-ya, apa kau pernah berpikir akan kemana arah hubungan kita?”
Aku tertegun mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba. Tidak, kenapa ia bertanya seperti itu? Kenapa ia mengatakan bahwa layang-layang tak memiliki arah? Kenapa nadanya terdengar sendu di telingaku? Jangan bilang ia ingin putus denganku? Aku tidak akan membiarkannya. Tidak di saat perayaan 2 tahun hubungan kami. Aku tidak bisa membayangkan dirinya bersama gadis lain selain diriku.
Sebelum aku menyadari keposesifanku, aku membuang jauh pikiran burukku itu dan mengatur napas, lantas tersenyum padanya. “Kau tahu? Tadi pagi saat aku naik kereta, aku melihat sepasang suami istri dengan anak bayinya. Saat sang suami menggendong si bayi, ia menunjukkan ekspresi konyol agar bayinya tertawa.” Aku memandang lututku kembali teringat kejadian itu dan tersenyum saat teringat apa yang kubayangkan diantara kami. “Aku membayangkan kita akan seperti mereka kelak.” Ungkapku malu-malu membenarkan poniku yang tertiup angin.
Yi Fan tersenyum di sampingku tanpa mengalihkan tatapannya dari laut. “Bagaimana kalau ternyata salah satu dari kita pergi jauh? Dan aku mengingkari semua janji kita?”
Aku menautkan alisku tak suka. “Jangan bicara yang bukan-bukan Yi Fan. Kau terdengar seperti orang yang akan meninggal esok hari. Kau akan tetap bersamaku apapun yang terjadi.” Aku mendengus membuang muka. “Kecuali ada gadis lain yang tengah menarik perhatianmu.” Seruku dengan nada cemburu. Aku meraih tangannya kemudian menggenggamnya erat dan menautkan jemari kami. “Lihat? Aku tidak bisa senyaman ini ketika memegang tangan seorang laki-laki. Jadi jangan pergi dariku.”
Yi Fan tidak berkata apa-apa. Aku sadar, ungkapanku terdengar begitu egois, namun aku tidak peduli. Aku mencintainya jadi wajar jika aku ingin terus mempertahankan hubungan kami. Ia menghela napas pelan dan justru menyandarkan kepalanya di bahuku kemudian memejamkan mata. Haruskah aku juga mengatakan bahwa hari ini ia terlihat sangat manja? Kami tidak melanjutkan obrolan kami karena aku tidak suka dengan topiknya. Meskipun aku tahu ada sesuatu yang tengah disembunyikannya dariku, aku tidak akan memaksanya untuk berbicara. Jika ia merasa nyaman untuk mengatakannya, aku akan mendengarkan dengan baik. Jika ia membutuhkan pendapat dariku, aku akan berusaha mencarikan solusi untuknya. Jadi, aku akan membiarkannya sampai ia mau bicara sendiri.
Tanpa terasa kami sudah lebih dari satu jam berdiam diri hingga waktu menunjukkan hampir pukul setengah 6 sore. Sampai akhirnya ketenangan kami terusik dengan datangnya ombak yang cukup besar mencapai kaki kami. Aku berteriak histeris dan Yi Fan seketika bangun dari posisi nyamannya di bahuku.
Aku menatap dressku yang basah hingga ke paha dan Yi Fan hanya menatapku terkejut. lalu tawa kami terlepas begitu saja. Ia mendekatiku dengan seringaian di wajahnya dan aku tahu apa isi pikirannya. Aku mundur beberapa langkah dengan tanganku yang tertahan di dada, hingga ia akhirnya meraih dan memeluk pinggangku dari belakang kemudian mengangkatnya lalu memutar tubuhku ke udara.
Aku berteriak sambil tertawa sebelum akhirnya bisa melepaskan diri dan berlari menjauh darinya. Ia mengejarku hingga kaki kami menyentuh air laut kemudian aku sengaja menyipratkan air kearahnya. Ia kembali menangkap tanganku dan menarikku mendekat, menghentikan kegiatanku dengan paksa. Kami tertawa lepas merasakan sinar matahari menyinari kami dengan cahaya jingganya.
Yi Fan berdiri di depanku dan menyelipkan rambut ke belakang telingaku, sementara aku berdiri dengan dada berdebar menanti apa yang akan dilakukannya padaku selanjutnya. Ia tersenyum dan menangkup pipiku dengan kedua tangannya, lalu mengucapkan 3 kata yang jarang sekali aku dengar keluar dari bibirnya, “Aku mencintaimu.” Akupun meleleh seketika. Kedua bola mata kami saling memandang lurus. Seolah mencari makna dalam arti tatapan kami.
Kau tahu? Kau hanya setahun sekali mengungkapkan cinta padaku.” Kataku yang dibalas dengan senyuman ringan. “Happy second annyversary.” Dan ciuman lembut itu mengiringi doa kami yang terucap dari dalam hati bersama dengan mentari yang tenggelam sempurna di ufuk barat.



Senin, 03 November 2014

(Fanfic: Oneshoot) - - A Number - -



(Maincast : Sehun and The Girl is Helen)

***

Iya, tunggu sebentar, aku sudah hampir sampai.” Helen berbicara pada ponselnya dengan sedikit tergesa. Langkahnya terhenti membetulkan 3 jilid skripsi yang didekap diantara tangan kiri dan dadanya, tampak sangat kerepotan, sedangkan tangan kanannya masih sibuk memegang ponsel ditelinganya.

Kau bilang kau masih dimana?... Tidak perlu berdandan… Masih lama tidak?... Baiklah, jangan lama-lama atau kau kutinggal.” Helen mengakhiri pembicaraannya sambil berdecak kemudian memasukkan ponselnya kedalam tas, tangannya kini lebih mudah untuk memegangi bawaannya yang terlihat berat.

Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu dosen, sebelum masuk kedalam, ia menyempatkan diri melihat arlojinya, masih sekitar setengah jam lagi sampai dosen yang akan dimintai tandatangan selesai mengajar. Helen memutuskan untuk menunggu dikoridor dekat pintu masuk sampai temannya datang. Ia duduk diundakan anak tangga dan meletakkan skripsinya dipangkuan, tangannya merogoh kedalam tas mencari ponselnya dan mulai melakukan kegiatan favoritnya, browsing.

Kepala Helen mendongak setiap kali ada mahasiswa yang lalu lalang didepannya. Melihat mereka semua membuat pikirannya melayang mengenang awal masuk kuliah. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, ia sudah hampir menyelesaikan program pasca sarjananya dan tinggal menunggu waktu untuk wisuda. Hal yang ditunggu-tunggu selama ini akhirnya datang juga. Meski skripsinya sempat tertunda 2 semester, ia merasa bersyukur akhirnya usahanya membuahkan hasil.

Helen meregangkan otot lengannya kedepan, memperhatikan sekumpulan mahasiswa yang tengah duduk di lobi sembari mengomentari celotehan teman mereka. Ada yang hanya duduk sendirian menikmati alunan musik menggunakan headsetnya. Ada pula yang tampak sibuk dengan laptopnya. Juga yang serius membaca buku yang tampak seperti novel detektif. Helen mengetahuinya karena ada gambar tak asing 2 orang pria di cover buku tersebut. Para mahasiswa itu tampak sangat muda dan seperti hanya tahu bermain-main saja. Beberapa semester lagi mereka akan merasakan hal yang sama denganku, pusing dengan skripsi, batin Helen sambil tersenyum kecil.

Satu getaran di tangan Helen membuyarkan lamunan singkatnya, temannya baru saja mengirim pesan memberitahu bahwa dirinya akan sampai sekitar 15 menit lagi. Helen hanya membalas ‘Ok’ karena pada dasarnya ia memang sedang menunggu, mereka sudah jauh hari janjian untuk meminta tandatangan bersama-sama dan akan pergi ke salon setelahnya. Melakukan kegiatan perempuan setelah pemerasan otak 6 bulan terakhir.

Tangan Helen mengelus skripsinya sayang lalu membuka halaman demi halaman, ketika sampai pada bagian persembahan, ia membacanya kembali. Sudah tak terhitung berapa banyak ia membaca bagian itu. Ia menyukai ketika membaca persembahan yang merujuk pada kedua orangtua dan kedua adiknya. Rasanya masih seperti mimpi. Ia sangat menyayangi mereka.

Saat Helen selesai membaca dan menutup skripsinya, ia menyadari ada seseorang datang dan duduk disampingnya. Tangga selebar satu setengah meter itu hanya menyisakan 2 jengkal jika ada yang duduk disetiap sudutnya. Selain dirinya mulai merasa terganggu, ia juga sangat heran, kenapa orang tersebut tidak duduk di undakan yang lain saja? Dan rasa heran itu luntur ketika orang tersebut tiba-tiba menyapanya. “Permisi.”

Ya?” Helen menoleh menjawab sapaan itu, ternyata hanya seorang mahasiswa yang ingin bertanya, pikir Helen. Dan bukannya lekas bertanya, mahasiswa tersebut justru sibuk mengutak-atik ponselnya. Helen hanya mengerutkan kening melihat tingkah mahasiswa aneh itu, ia memutuskan untuk mengabaikannya, dan mencari lokasi baru untuk menunggu. Namun tiba-tiba mahasiswa tersebut menyodorkan sesuatu tepat didepan wajahnya.

Boleh minta nomor teleponmu?” Kata mahasiswa itu tanpa basa-basi. Helen menatapnya kaget karena tiba-tiba dimintai nomor telepon oleh seseorang yang tidak dikenal. “Kenapa kaget begitu?” Tanyanya kemudian.

Helen tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah mahasiswa itu sambil mengingat apakah dulu ia pernah bertemu dengannya atau justru pernah sekelas. Namun Helen tidak mengingatnya sama sekali, ia tidak merasa pernah bertemu dengan mahasiswa itu. “Maaf, apa kita pernah sekelas?” Tanya Helen sesopan mungkin, lebih memilih kata ‘pernah sekelas’ daripada ‘pernah kenal’. Ia tidak ingin menyinggung perasaan orang yang baru pertama kali ditemui.

Tidak, kita belum pernah bertemu.” Jawabnya menyunggingkan senyum yang Helen yakini pernah digunakannya untuk merayu beberapa gadis dikampus ini. Merasa tidak mempan dengan pesona klasik semacam itu, Helen menahan senyum dan bertanya balik.

Lalu kenapa tiba-tiba minta nomor teleponku?”

Mahasiswa itu mengangkat bahu, melirik ponselnya sembari menggoyang-goyangkan ditangannya. “Tidak apa-apa, kan? Hanya untuk berteman.”

Helen tersenyum simpul, membuang pandangannya kearah lain sambil menggaruk hidungnya yang tidak gatal, kemudian menoleh kembali menatap mahasiswa tersebut sembari mengamati wajah muda pria yang mulai beranjak dewasa itu disampingnya. “Kau semester berapa?”

3.” Jawabnya singkat, menurunkan ponsel dan menggenggamnya.

Sudah 20?”

Masih 19.”

Helen terkejut. “Wah, pantas kau terlihat seusia adikku yang masih SMA, jarak kalian hanya 2 tahun.” Kata Helen tanpa pikir panjang, kemudian ia melanjutkan kalimatnya, “Aku sudah hampir selesai dan jarak usia kita jauh sekali.” Kata Helen tanpa menyebutkan angka usianya, ia baru 22 tahun.

Mahasiswa tersebut terkekeh penuh arti menanggapi pernyataan Helen yang hanya bisa mengerutkan kening melihat respon yang cukup menyinggung itu. Dan beberapa saat kemudian, mahasiswa tersebut memberi jawaban pada Helen hingga gadis itu kehilangan kata-katanya. “Bukankah tidak ada jarak usia untuk berteman? Aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya meminta nomor teleponmu karena ingin berteman denganmu.”

Sesaat Helen terdiam merasakan sensasi panas yang menjalari pipinya. Ia merutuk dalam hati, benar juga, bagaimana mungkin ia bisa semudah itu menganggap seseorang menyukai dirinya pada pandangan pertama hanya karena seseorang itu tiba-tiba meminta nomor teleponnya? Namun, sensasi tersebut tak berlangsung lama karena Helen tiba-tiba memiliki jawaban cukup jitu. Dengan hati-hati dan dada sedikit berdebar, ia pun memberanikan diri menatap mahasiswa tersebut. “Siapapun dan dimanapun, seorang laki-laki pasti memiliki tujuan jika meminta nomor telepon seorang gadis yang bukan temannya.” Ucapnya bijak entah mengutip kalimat dari mana.

Mahasiswa tersebut tertegun, seperti baru tertangkap basah melakukan sesuatu. Helen bersorak dalam hati melihat ekspresi itu. Ia tidak sudi dipecundangi, nomor telepon adalah sebuah privasi, suatu hal yang bersifat pribadi, hanya keluarga, saudara, teman dan orang-orang tertentu yang boleh memilikinya. Ia tidak mau dianggap gampangan hanya karena seseorang yang sadar pesona meminta nomor teleponnya, bisa jadi dibalik semua itu teman-temannya sedang menunggu siapa pemenang dari taruhan mereka yang berhasil mendapatkan nomor telepon sembarang gadis yang ditemui. Atau itu hanya peruntungan untuk mendapatkan pacar, siapa tahu mereka cocok. Atau yang lebih ektrim lagi, mereka hanya ingin mencari perawan kampus yang bisa mereka tiduri hanya dalam satu malam. Membayangkan hal itu Helen bergidik ngeri. Helen patut curiga, tidak ada salahnya berprasangka, karena kemungkinan buruk itu pasti ada.

Jadi, aku tidak boleh meminta nomor teleponmu?” Tanyanya lagi tanpa mendebat ucapan Helen tadi, ia kembali menyodorkan ponselnya. Helen menggeleng cepat, masih terbawa khayalan singkatnya. Spontanitasnya langsung bekerja ketika ia berpikir sedang dalam bahaya. Ah, dalam bahaya? Ini berlebihan, pikir Helen.

Melihat wajah mahasiswa tersebut yang tampak kecewa, Helen menjadi tidak tega. Tidak mungkin mahasiswa tersebut tidak merasa malu dan harga dirinya serasa terlempar jauh. Dan ngomong-ngomong tentang harga diri, harusnya mahasiswa tersebut sudah siap dengan resiko yang akan diterima jika mendapat penolakkan. Tapi bukan berarti setelah melihat wajah muram itu, Helen akan memberikan nomor teleponnya dengan mudah. Bisa jadi wajah kecewa itu hanya taktik belaka. Maka untuk mengurangi rasa tidak enak dihatinya, Helen mencoba berbaik hati untuk mengajak mahasiswa itu berbincang sebentar.

Mahasiswa tersebut hendak beranjak dari duduknya, namun mengurungkan niatnya ketika Helen mulai membuka percakapan. “Kau berasal dari kota ini?”

Aku berasal dari Jeju.”

Kau mengambil jurusan apa?”

Engineering.” Ia memperhatikan Helen sekaligus melempar balik pertanyaan, “Kau?”

Business Accounting.” Alis Helen bertaut tak suka ketika melihat mahasiswa tersebut hanya mengangguk-angguk sambil menunduk tersenyum. Helen merasa bahwa lelaki disampingnya ini tengah mengejek jurusannya. “Apa?”

Kau tahu apa yang kupikirkan saat pertama kali melihatmu?” Helen menggeleng, mengikuti arah yang ditunjuk mahasiswa tersebut dengan telunjuknya. Ia melihat sebuah laptop yang tertancap kabel charger sedang ditinggal pemiliknya. Helen memang melihat seseorang dengan laptop itu tadi, tapi tidak memperhatikan wajah pemiliknya.

Apa?”

Tebakanku tidak meleset karena jurusan yang kau ambil mencerminkan dirimu. Pintar dan berpendirian.” Ia mengamati wajah Helen seakan tak ingin melewatkan ekspresi yang akan segera didapatnya. “Aku sudah memperhatikanmu dari sana sejak kau datang.” Tubuh Helen nyaris membeku mendengar ucapan mahasiswa yang benar-benar tampak seperti perayu ulung itu.

Helen mencoba mengatur debaran didadanya. Jika memang harus dengan cara seperti ini untuk mendapatkan nomor teleponnya, Helen justru akan semakin waspada. Ia tidak boleh lengah. Karena pada dasarnya, pernyataan itu justru membuatnya ingin tertawa. “Oh, aku tersanjung.” Helen menekan bibirnya keras-keras, rasanya ada yang menggelitik perutnya.

Mahasiswa tersebut melanjutkan ucapannya. “Aku melihatmu dan kau melihatku, itu menandakan kau dan aku saling tertarik satu sama lain, bukan?” Dan menyemburlah tawa Helen tanpa bisa ditahan lagi. Mahasiswa tersebut sampai terlonjak melihat respon yang didapatnya jauh dari perkiraannya. Beberapa mahasiswa yang melewati mereka berdua sampai harus menoleh ingin tahu.

Helen memegangi perutnya, ia menyeka airmatanya yang sedikit keluar karena tawa yang berlebihan. Ia sadar betul sudah keterlaluan, cara tertawanya terlalu liar. Dan sebelum mahasiswa tersebut berdiri dan memaki-maki dirinya, Helen berusaha sekuat tenaga menghentikan tawanya dan langsung meminta maaf. “Ya ampun, maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Mahasiswa tersebut hanya tersenyum kecut, seolah sudah pasrah bahwa rayuannya kali ini tidak akan mempan pada gadis yang lebih dewasa dari usianya. Meski begitu, ia tetap penasaran. “Yeah, tertawalah sepuasmu. Bersyukurlah karena caramu tertawa semakin membuatku tertarik.”

Helen diam seketika, ia teringat dengan kalimat mahasiswa tersebut beberapa saat lalu. Helen berdeham, siap memuntahkan isi pikirannya. “Tadi kau bilang tidak ada maksud apa-apa meminta nomor teleponku, tapi malah sekarang kau bilang kau semakin tertarik padaku. Kau tidak konsisten.”

Mahasiswa tersebut mengangkat bahu. “Jika memang harus dengan cara seperti ini aku bisa mendapatkan nomor teleponmu, kenapa tidak?”

Gigih sekali, batin Helen.

Helen menarik napas dan menghembuskannya pelan. “Asal kau tahu, bukan usiaku lagi bisa terhanyut rayuanmu itu, harusnya kau gunakan kalimatmu yang begitu mematikan itu untuk merayu gadis seusiamu atau gadis dibawah usiamu. Bukan aku.” Helen tersenyum ramah. “Dan juga, jangan hanya melihat gadis dari luarnya saja, bisa jadi yang kau nilai pintar dan berpendirian itu justru buruk sifatnya dan memakai narkoba.”

Kau memakai narkoba?” Potongnya cepat.

Helen memejamkan mata. “Kau tahu, bukan itu maksudku.”

Mahasiswa itu tertawa sinis. “Lalu kenapa kau justru menceramahiku? Aku hanya ingin meminta nomor teleponmu, tidak lebih. Usiamu memang berada diatasku, paling hanya beberapa tahun, tapi bukan berarti kau bisa menceramahiku semudah itu, kita baru bertemu.” Ia marah dan itu wajar, karena inilah saatnya untuk Helen beraksi.

Helen tersenyum sabar. “Siapa namamu?”

Sehun.” Jawabnya ketus.

Sehun, kau tahu apa yang ada dipikiranku saat kau meminta nomor teleponku padahal kita baru bertemu?” Mahasiswa yang bernama Sehun itu tidak menjawab. “Harusnya aku bereaksi sama sepertimu.”

Sehun tetap tidak menyahut, seharusnya ia bisa saja pergi dari sana membiarkan Helen berceloteh, tapi melihat dirinya yang hanya bergeming, sepertinya ia masih penasaran.

Helen menyibakkan rambutnya yang baru saja tertiup angin, lalu kembali berbicara. “Kau tahu kunci dasar berteman itu apa?” Sehun menoleh tanpa menjawab, hanya memandang lurus kewajah Helen. “Kau seharusnya mengajaknya berkenalan dulu, kau tanyakan namanya, ajak ia berbasa-basi, setelah akrab barulah kau minta nomor teleponnya.”

Helen menatap Sehun seakan mereka adalah teman sebelumnya. Ia menunggu reaksi Sehun yang tak kunjung muncul. “Aku tahu kau sudah banyak melakukan trik ini kepada gadis yang menarik perhatianmu. Bermodalkan wajah tampan dan rayuan maut, kau pasti hampir tidak pernah meleset untuk mendapatkan gadis yang kau inginkan.” Helen memberikan jeda memperhatikan wajah Sehun yang kini tampak berpikir. “Tapi jika kau terus menerus melakukannya tanpa basa-basi, kau hanya akan membuat mereka lari. Dekatilah mereka perlahan-lahan.”

Helen menyelesaikan kalimatnya tepat saat ia melihat temannya berjalan mendekat dari kejauhan. Helen tahu, sudah saatnya ia pergi. Tidak ada gunanya berlama-lama kalau pada akhirnya ia tetap tidak memberikan nomor teleponnya pada laki-laki yang masih melamun itu.

Ok, Sehun. Aku harus pergi. Bye.” Ucap Helen sembari menepuk bahu Sehun layaknya teman lama. Seakan sadar dari lamunannya, Sehun ikut berdiri melihat Helen yang baru selangkah menuruni undakan.

Jadi, aku boleh meminta nomor teleponmu?” Tanyanya kembali tetap gigih.

Kunci dasar, Sehun.”

Oh benar, siapa namamu?”

Helen.”

Nona Helen, boleh aku meminta nomor teleponmu?”

Helen menyeringai lebar. “Tidak sekarang.” Jawab Helen kembali membuat Sehun kecewa. Helen menuruni anak tangga dengan langkah ringan, tapi saat menginjak anak tangga terakhir, ia menghentikan langkahnya dan berbalik. Mendapati wajah Sehun yang penuh harap, Helen tak kuasa menahan senyumnya. “tapi kau bisa mendapatkannya jika kita bertemu lagi.”

Tawa Sehun mengudara saat Helen berbalik dan melangkah pergi tepat ketika temannya sampai dihadapannya. “Aku pegang janjimu.” Teriak Sehun yang tidak begitu ia pedulikan.

Siapa dia?” Tanya teman Helen menyejajarkan langkahnya disamping Helen memasuki ruang tunggu dosen.

Helen mengangkat bahu. “Hanya mahasiswa iseng.” Dan mereka tidak melanjutkan obrolan itu karena dosen yang mereka tunggu datang lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. Meski begitu, Helen tidak memungkiri bahwa kapanpun itu, ia mengharapkan ada pertemuan berikutnya.

The End

Namaku Hilal, asal Lombok, semester 3, jurusan mesin, boleh minta nomor telponnya?”
Ternganga, berpikir, kemudian tersadar dan menepuk pelan bahu cowok itu, “Oke, Hilal. Dadahhh.” Lalu pergi.

Sebenarnya dialognya cuma seperti itu, tapi namanya juga fanfict. Dan aku terlalu kaget disamperin cowok yang tiba-tiba minta nomor telepon, lumayan cakep sih, cuma g tinggi-tinggi amat, tapi kan serem, takut digangguin. Nomor telepon itu kan barang privasi. Kalo ternyata disebarin ke germo gimana? #Eh?! Tapi iya kan? Kecuali kalo tu cowok temen kita sendiri.
Ckckck ada-ada aja anak muda jaman sekarang, tapi lucu :D

Jumat, 23 Mei 2014

(Fanfic: Oneshoot) - - When You Leaving Without Word - -



(Maincast : Kris, and The Girl is Hye Ri)

***
Tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Tubuh Hye Ri kembali bereaksi membaca pesan singkat untuk kesekian kali yang diterimanya 2 hari lalu. Mulutnya terbuka ingin berteriak namun tak ada suara yang mampu dikeluarkannya. Dadanya naik turun menahan sesak. Airmatanya tak kunjung mengering menangisi pria yang telah meninggalkannya.

Seharusnya ia tahu kemungkinan ini akan terjadi. Seharusnya ia tahu! Hanya dengan menerima pesan singkat, dirinya harus menelan pil pahit bahwa pernikahannya yang tinggal satu minggu lagi harus dibatalkan secara sepihak.

Ia tak ada hentinya menyalahkan diri sendiri. Ia tak ada hentinya menyalahkan pria itu.

Teganya kau, Yi Fan. Batin Hye Ri menjerit, hatinya terluka. Rasanya seperti di cambuk.

Hye Ri sudah mencarinya dengan bertanya pada teman-teman Yi Fan sebisa mungkin, senormal mungkin, agar tidak menimbulkan kecurigaan diantara mereka atau mereka justru akan menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Namun, nihil. Ibu yi Fan pun tidak bisa dihubungi sama sekali, menimbulkan pertanyaan cukup besar dibenaknya.

Ada sesuatu dalam firasatnya yang sudah sejak lama merasakan bahwa hari ini akan segera tiba. Bahwa Yi Fan akan meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Tanpa ratapan darinya agar pria itu tidak meninggalkannya. 
 
Apa yang harus kujelaskan pada orangtuaku?

Hanya itu kekhawatiran tebesarnya. Hye Ri tidak hanya dibuat patah hati. Namun juga harus berpikir keras bagaimana caranya bisa menguatkan diri saat menerima cercaan dari berbagai pihak keluarganya.

Ia merasa marah, putus asa, sekaligus bingung. Apa sebenarnya yang membuat Yi Fan tega melakukan hal ini kepadanya? Di saat pesta pernikahan akan berlangsung seminggu lagi. Di saat undangan telah tersebar luas. Di saat semua tetek bengek pernikahan hampir 95% siap. Mereka hanya perlu datang ke gedung, saling mengucap janji dan ikrar itu akan menjadi catatan sehidup semati.

Lalu apa? Apa yang membuatnya setega itu?

Tidakkah Yi Fan mencintainya? Dimana dia? Kenapa dia menghilang?

Apa arti kebersamaan mereka selama 2 tahun ini? Apa arti lamarannya saat ia mengajak Hye Ri menikah? Apa arti semua kalimat-kalimat manis bahwa Yi Fan akan selalu membahagiakannya? Berada disampingnya?

Semua itu hanya janji palsu. Semua itu hanya bualan. Semua itu hanya manis bibir saja. Semua laki-laki memang begitu.

Hye Ri mencoba mengontrol emosinya. Tangannya gemetar menekan speed dial menghubungi satu nomor untuk keseribu kali.

The number u are calling....’

PRAAAKK!!!

PENGECUT!!!” Kemarahannya kembali berkobar. Ponselnya berhamburan setelah menabrak dinding. Ia benar-benar putus asa. Nomor itu sudah tidak bisa dihubungi beberapa hari ini. “BRENGSEK!!!” Ia berteriak frustasi. Menjambak rambutnya untuk meredakan kepalanya yang terasa berdenyut. Badannya meringkuk diatas ranjang dengan perasaan hancur. Ia menatap ponselnya dengan pandangan merana.

Ini tidak boleh terjadi. Ia harus menemukan Yi Fan sebelum keluarganya mengetahui hal ini. Ia tidak ingin orangtuanya membunuhnya karena telah membuat malu keluarga. Namun logikanya segera menginterupsi. Harga dirinya lebih tinggi dibandingkan rasa sakit dihatinya. Ia wanita. Ia tidak akan pernah mengemis padanya untuk kembali.

Kenapa harus ia yang mencari? Kenapa bukan Yi Fan sendiri yang datang dan menjelaskan padanya? Kenapa harus ia yang berkorban atas ketidakkonsistenannya? Pria itu begitu pengecut mengirimkan pesan dengan mengatakan bahwa ia tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.

Apa maksudnya?

Hye Ri menghela napas. Rasanya udara terputus-putus masuk ke dalam paru-parunya. Ia lelah. Ia ingin tidur. Ia ingin saat terbangun nanti, semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk, karena semua yang ia rasakan saat ini terasa tidak nyata baginya.

Dan mata itupun perlahan-lahan terpejam, memasuki alam mimpi terliarnya.

.

Beberapa jam kemudian, Hye Ri terbangun di sore hari oleh suara bel apartemennya yang mengusik. Ia terlonjak. Segera ia hapus sisa airmatanya yang mengering dan buru-buru menuju pintu. Ia begitu berharap seseorang yang diinginkannya saat ini muncul didepan pintunya. Dan begitu pintu itu menjeblak terbuka, ia dihadapkan oleh kedatangan kedua orangtuanya yang berdiri memandangnya.

Tubuh Hye Ri menegang. Ibunya tampak kalut dan wajah ayahnya tampak mengeras. Ia terus berpikir bagaimana cara menjelaskannya pada mereka, namun gagal, ia bahkan lupa dengan namanya sendiri. Sebelum ayahnya meledak marah, Ibunya sudah menjatuhkan diri ke pelukan Hye Ri.

Tangis itu pecah, tangis haru akan perasaan saling memahami diantara wanita, tangis yang terdengar beriringan hingga ke sudut ruang. Ayahnya dengan sigap segera menutup pintu agar tak didengar oleh penghuni kamar lain.

Hye Ri tak henti-hentinya minta maaf. Ia tahu, cepat atau lambat orangtuanya pasti akan segera mengetahui hal ini. Ia sangat menyesali apa yang telah terjadi. Pernikahan anak pertama yang didambakan orangtuanya luluh lantak hanya karena keegoisan satu pria.

Ketika emosi mereka mereda dan saling melepas pelukan, sang Ibu membimbingnya duduk di sofa. Beliau memberitahukan bahwa mereka menerima kabar itu dari Ibu Yi Fan yang meminta maaf dengan amat sangat melalui telepon langsung dari Kanada. Hye Ri bertanya apa yang terjadi, namun Ibunya tak langsung memberitahu. Meski begitu, raut marah sekaligus kecewa di wajah sang Ibu tak bisa disembunyikan.

Hye Ri terdiam dan airmata kembali jatuh mengalir di pipinya. Ia mencoba tersenyum lebih kepada dirinya sendiri, lantas ia berbicara pelan, “Maafkan aku, Ibu, Ayah.” Ia menarik napas dan menghembuskannya. “Aku baik-baik saja. Tapi sepertinya, kalian harus menunda untuk memiliki seorang menantu.” Dan pecahlah tangis kedua orangtua itu mendengar pernyataan dari anak sulungnya.

.

Orangtuanya memaksa Hye Ri agar mengosongkan apartemennya dan kembali kerumah saat itu juga. Meski Hye Ri membantah dan sedang ingin sendiri, disertai harapan yang tak terucap bahwa kemungkinan Yi Fan akan kembali, namun orangtuanya tetap bersikeras.

Apartemen yang ia tempati saat ini adalah apartemen yang akan mereka huni setelah menikah nanti. Apadaya pernikahan itu harus kandas tanpa adanya pernyataan dari calon pasangan hidupnya.

Saat mereka sampai dirumah. Orangtua Hye Ri membiarkannya langsung menuju kamarnya tanpa bicara. Sungguh, bukan ini yang ingin Hye Ri tunjukkan pada mereka. Ia ingin terlihat kuat, namun percuma karena tetap saja mereka dapat membaca kerapuhan hatinya.

Hye Ri terhuyung-huyung masuk ke dalam kamar, ia tidak langsung meringkuk di ranjang tapi justru berjalan menuju sofa dan menempatkan kedua sikunya pada jendela. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkannya kembali, layarnya retak namun beruntung masih bisa hidup.

Kau dimana? Ia mencoba kembali peruntungan untuk mengirimkan pesan singkat itu. Kali ini hanya pertanyaan biasa, bukan cercaan yang mengancam seperti saat pertama kali ia menerima pesan dari Yi Fan karena panik. Ia berjanji, jika Yi Fan membalas dan mau menjelaskan masalah sebenarnya, ia tidak akan marah. Namun yang didapat hanya laporan tunda yang tertera disana.

Hye Ri menggenggam ponselnya, menekuk lutut dan kembali menangis memandang ke luar jendela. Ia menatap gelapnya langit malam tanpa bulan. Seharusnya ia tengah merasakan debaran akan datangnya hari pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi, bukannya justru meratapi nasibnya yang malang karena di tinggal pergi calon suami. Ingin rasanya ia bertanya pada Ibu Yi Fan, namun lagi-lagi ia merasa tak perlu melakukan itu.

Ia terus berpikir, mencoba mencari letak kesalahannya hingga terjadi hal seperti ini. Ia mengakui bahwa dirinya memang terlalu posesif dan mengekang Yi Fan. Ia sadar bahkan dirinya sangat egois selama ini. Ia tahu Yi Fan tidak suka banyak bicara. Ia mengerti Yi Fan yang tidak suka di atur. Ia faham betul sifat Yi Fan yang sangat sulit ditebak. Yi Fan hanya akan bicara jika ingin bicara. Dan tidak akan membicarakan masalahnya jika ia tidak mau.

Tapi haruskah seperti ini ia menghukumku? Haruskah ia membuat kecewa kedua orangtuaku? Hye Ri kembali membatin.

Kenangan-kenangan manis penuh cinta mereka mendesak keluar begitu saja. Saat Yi Fan menyatakan cintanya yang begitu romantis di upacara wisuda. Saat kencan pertama mereka di Namsan Tower. Saat Yi Fan mentraktir dengan gaji pertamanya setelah mendapat pekerjaan di Firma Hukum. Saat mereka bertengkar karena Yi Fan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Saat Yi Fan memberinya sebuket bunga mawar agar mereka berbaikan. Saat Hye Ri merasa putus asa karena belum mendapatkan pekerjaan. Saat Yi Fan memberinya nasehat-nasehatnya yang begitu membangun. Saat ia memeluknya setelah kembali dari Kanada. Ciuman mesranya saat mengatakan ia rindu. Lamarannya yang begitu kaku di tahun baru. Genggaman tangannya saat Yi Fan mengajaknya ke pantai musim panas di second annyversary mereka. Janji-janji kecil mereka di atas pasir pantai...

Terlalu banyak.” Hye Ri berucap lirih menghentikan seluruh kenangannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mengikhlaskannya saja ia belum rela. Ia yakin Yi Fan masih mencintainya. Ia yakin hatinya masih menjadi miliknya. Yi Fan pasti memiliki alasan yang kuat kenapa dirinya harus meninggalkannya. Hanya saja ia tidak tahu cara menyampaikannya, hingga ia memilih waktu yang sangat tidak tepat seperti ini.

Hye Ri terisak, napasnya tersengal memandang layar ponsel yang menampilkan selca mereka sebagai wallpapernya yang di ambil saat liburan ke Kanada Desember tahun lalu. Ia membuka kotak masuk, membaca ulang pesan itu dan kembali menangis.

Maaf. Aku tidak bisa hadir ke pernikahan kita. Hubungan ini tidak bisa diteruskan.

Begitu tulisnya. Hanya itu. Hanya itu pesan yang ia kirimkan pada calon istrinya setelah 2 minggu berada di China untuk mengunjungi makam Ayahnya.

Apa sebenarnya yang membuat Yi Fan mendadak berubah pikiran? Apa ia bertemu dengan seseorang yang berhasil merubah dirinya? Apa ia bertemu dengan wanita yang menarik perhatiannya? Apa ia mendapat semacam penglihatan setelah mengunjungi makam Ayahnya bahwa jika mereka menikah, pernikahan itu tidak akan pernah berhasil?

Hye ri memejamkan matanya. Kepalanya terasa sakit memikirkan segala hal yang sama sekali tidak diketahuinya, yang semakin berada diluar nalarnya. Ia memutar tubuhnya perlahan, membaringkan diri di sofa dan meringkuk di sana. Kembali berharap, semoga esok pagi ia akan mendapatkan berita yang dapat membuat hatinya merasa lebih baik.

Saat pagi tiba, ia terbangun oleh kicauan burung yang terdengar seperti nyanyian di telinganya. Namun tubuhnya terasa kebas. Ia tidak pernah merasa seaneh ini sebelumnya. Saat ia menyentuhkan tangan ke kening, suhu panas langsung menjalari kulitnya. Lidahnya pahit dan perutnya terasa mual. Kepalanya pusing dan persendiannya terasa seperti di ikat.

Ia demam. Tentu saja.

Bagaimana tidak? Wajar jika ia sampai demam. Ia tidur dengan posisi seperti itu semalam suntuk dan tanpa selimut, di sertai peliknya masalah yang ia hadapi saat ini.

Hye Ri merintih ketika mencoba bangun dari ranjangnya. Ia menurunkan kakinya dan terduduk. Ia tidak ingin kemana-mana. Ia hanya ingin beringsut menyelimuti dirinya dan meringkuk di ranjangnya yang empuk. Ia merasa haus, namun rasa hauspun tidak bisa mengalahkan dahaga hatinya.

Ia membawa ponselnya dan setelah sampai di ranjang, matanya menelusuri banyaknya pesan dan panggilan masuk disana, namun ada satu nama yang membuat matanya membulat sempurna. Satu nama yang ia nantikan selama berhari-hari. Satu nama yang akhirnya muncul di deretan nama pengirim pesan. Satu nama yang membuatnya tenggelam dalam kabut kepedihan.

Hye Ri tidak langsung membuka pesan itu, ia mengecek laporan pesan terlebih dahulu dan hatinya langsung melompat girang mendapati seluruh pesannya terkirim tanpa ada yang gagal. Ia gemetar ketika menekan folder kotak masuk dan mencari sebuah nama untuk membaca pesan dari pria itu. Begitu pesan itu terbuka, ia menarik napas dan membacanya dengan seksama.

Aku baik-baik saja. Tak perlu mencariku.
Terimakasih telah mengisi hari-hariku selama ini.
Jaga dirimu baik-baik.  

.............

Hening.

Pantaskah jika Hye Ri kembali menangis? Pantaskah ia diperlakukan seperti iti? Pantaskah ia tetap mengaharap pria itu kembali?

Hye Ri membeku ditempat. Airmatanya terasa panas dipipinya yang merah karena suhu tubuhnya yang membara. Dengan brutal ia menekan speed dial dan langsung menghubungi nomor tersebut.

Tersambung.

Hati Hye Ri berseru lega. Ia menanti hingga dering kelima sampai suara berat itu mengudara. Namun, tak ada suara lagi setelahnya. Baik dari sang penelpon maupun yang tengah di telepon. Hye Ri ingin bicara. Ia ingin bertanya, namun lidahnya kelu. Hye Ri ingin memarahinya tapi suaranya tak mau keluar. Demam telah merenggut suaranya hingga nyaris hilang.

Yi Fan.” Panggilnya serak, berusaha keras agar suaranya muncul. “Kau dimana?” Airmata kembali jatuh di pipinya. “Ada apa?” Hanya gumaman kasar yang terdengar.

Di seberang sana, Yi Fan hanya bisa menutup mulutnya agar tidak terdengar bahwa ia juga sedang menangis. Ada apa dengan gadisnya? Apa ia terus menangis sampai kehilangan suaranya? Ia bersumpah, bahkan jika Tuhan mengusirnya dari surga ia akan dengan senang hati berlari ke neraka karena sudah menyakiti gadis itu.
Setelah lama terdiam, Yi Fan menarik napas mengatur suaranya, “Setelah ini jangan mencariku.”

Kali ini Hye Ri merasa hatinya seperti di cengkeram menggunakan kuku tajam, tak pernah terbayangkan akan sebegini menyakitkan mendengarnya langsung keluar dari bibirnya. “Kenapa?” Hanya itu yang bisa ia katakan.

Yi Fan mengabaikan pertanyaannya. Ia memejamkan matanya perih, “Carilah pria yang baik.” Ucapnya pelan. Pedih rasanya ia harus mengatakan hal yang tak seharusnya ia katakan, namun ia harus melakukannya. “Aku tidak akan kembali.”

Nafas Hye Ri tersengal setelah mendengar penuturannya. Ia terus bertanya kenapa dan kenapa, namun Yi Fan tak kunjung menjawab. Hye Ri merasa kesal karena di saat seperti ini, ia justru kehilangan suaranya. Ia ingin bicara, apapun kondisinya, ia harus bicara. Dan dengan susah payah ia mencoba mengumpulkan suaranya agar bisa terdengar, “Katakan padaku.” Ia terisak. “Apa kau.... mencintaiku?”

Yi Fan kembali memejamkan matanya. Mendadak kepalanya terasa berat. Ia memegang dadanya yang terasa nyeri. Pertanyaannya membuatnya benar-benar nyaris berhenti bernafas. Dan ia berharap gadis itu tidak pernah menanyakannya.

Di saat ia ingin melepaskan gadis itu. Di saat ia ingin mengakhiri semuanya. Di saat ia benar-benar merasa ingin mati karena telah melukai hati gadis yang amat di cintainya dan juga keluarganya. Yi Fan benar-benar menjadi orang yang lebih pengecut daripada sebelumnya. "Selamat tinggal." Setelah mengucapkannya, sekali lagi secara sepihak, Yi Fan dengan tega memutus sambungan telepon itu, membiarkan gadisnya kembali menerima jawaban yang menggantung.

Hye Ri membeku di tempat dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Setelah beberapa menit, ia akhirnya berkedip, berusaha menghapus airmata yang tak henti mengalir di pipi. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang kembali menampakkan wallpaper foto mereka, mengamati wajah pria yang tega meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.

Hatinya sakit dan tenggorokkannya terasa lebih kering daripada sebelumnya. Ia tak pernah menyangka, setelah semua hal yang mereka lalui, setelah banyaknya waktu yang mereka lewati, hingga pernikahan itu sudah berada di depan mata. Pria itu mencampakkannya begitu saja.

Ia kembali menata pikirannya ketika didengarnya pesan masuk di ponselnya. Dan ketika ia membaca pesan itu, ia menutup mulutnya beserta airmata yang kembali meluncur membasahi pipinya.

Dengan membabi buta, sekali lagi ia menekan speed dial di ponselnya, dan hatinya mencelos ketika mesin penjawab yang menjawab panggilannya. Hye Ri menurunkan tangannya lemas. Ponsel itu masih menyala hingga suara mesin penjawab berhenti dengan sendirinya.

Ia tahu ada sesuatu yang salah. Ia tahu ada yang tidak ingin Yi Fan beritahukan padanya. Maka ia hanya bisa menghargai keputusan pria itu meski harus menghancurkan dirinya.

Tangisan Hye Ri layaknya mendung yang menyapa mentari di pagi musim panas. Ia pasrah dengan semua ini. Jika Tuhan berbaik hati mempertemukan mereka kembali, Hye Ri hanya berharap, ia sudah mengetahui alasannya dan sudah menemukan tambatan hati lain yang berhasil membuatnya melupakan semua kepedihan masa lalunya yang sedang dirasakannya saat ini. Meski hatinya sakit luar biasa, hancur lebur hingga menembus celah tulang belulangnya, ia tak ingin penderitaannya menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.

Kepala Hye Ri tertunduk, ia melihat ponselnya dan sekali lagi membaca pesan terakhir itu dengan senyum getir.

Aku mencintaimu.

The End



Huwaaaa huwaaaaaa huwaaaaaaaaaa
Yi Fannnnnnn, apa yang sudah kau lakukan pada kami????????
Patah hati ternyata semenyakitkan ini. :’(
Judulnya maksa ya? :D
Iya benar, fic ini terinspirasi dari hengkangnya sang Leader EXO-M dari EXO dg alasan yang masih simpang siur dan hasilnya fic ini juga berakhir dengan alasan yang menggantung.
Jujur saja, banyak sekali rumor yang bermunculan, hingga saya bingung mau berkomentar apa.
Saya tidak ingin memihak karena baik Kris maupun SM juga member EXO pasti punya alasan tersendiri terkait masalah ini.
Mereka semua sama-sama tersakiti #tsahhhh Kita doain yang terbaik aja.
Yang jelas, buat EXOstan, yang sabar ya, buat yang ngebiasin Kris, yang tabah, juga yang kuat.
Bias saya bukan Kris sih di EXO, tapi karena saya ngikutin mereka dari jaman mereka baru lahir, jadi agak sedih-sedih gimanaaa gitu. :D
EXO FIGTHING!!!
Berikutnya pengen bikin fic Baekhyun yang player nan jahil :*