Senin, 03 November 2014

(Fanfic: Oneshoot) - - A Number - -



(Maincast : Sehun and The Girl is Helen)

***

Iya, tunggu sebentar, aku sudah hampir sampai.” Helen berbicara pada ponselnya dengan sedikit tergesa. Langkahnya terhenti membetulkan 3 jilid skripsi yang didekap diantara tangan kiri dan dadanya, tampak sangat kerepotan, sedangkan tangan kanannya masih sibuk memegang ponsel ditelinganya.

Kau bilang kau masih dimana?... Tidak perlu berdandan… Masih lama tidak?... Baiklah, jangan lama-lama atau kau kutinggal.” Helen mengakhiri pembicaraannya sambil berdecak kemudian memasukkan ponselnya kedalam tas, tangannya kini lebih mudah untuk memegangi bawaannya yang terlihat berat.

Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu dosen, sebelum masuk kedalam, ia menyempatkan diri melihat arlojinya, masih sekitar setengah jam lagi sampai dosen yang akan dimintai tandatangan selesai mengajar. Helen memutuskan untuk menunggu dikoridor dekat pintu masuk sampai temannya datang. Ia duduk diundakan anak tangga dan meletakkan skripsinya dipangkuan, tangannya merogoh kedalam tas mencari ponselnya dan mulai melakukan kegiatan favoritnya, browsing.

Kepala Helen mendongak setiap kali ada mahasiswa yang lalu lalang didepannya. Melihat mereka semua membuat pikirannya melayang mengenang awal masuk kuliah. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, ia sudah hampir menyelesaikan program pasca sarjananya dan tinggal menunggu waktu untuk wisuda. Hal yang ditunggu-tunggu selama ini akhirnya datang juga. Meski skripsinya sempat tertunda 2 semester, ia merasa bersyukur akhirnya usahanya membuahkan hasil.

Helen meregangkan otot lengannya kedepan, memperhatikan sekumpulan mahasiswa yang tengah duduk di lobi sembari mengomentari celotehan teman mereka. Ada yang hanya duduk sendirian menikmati alunan musik menggunakan headsetnya. Ada pula yang tampak sibuk dengan laptopnya. Juga yang serius membaca buku yang tampak seperti novel detektif. Helen mengetahuinya karena ada gambar tak asing 2 orang pria di cover buku tersebut. Para mahasiswa itu tampak sangat muda dan seperti hanya tahu bermain-main saja. Beberapa semester lagi mereka akan merasakan hal yang sama denganku, pusing dengan skripsi, batin Helen sambil tersenyum kecil.

Satu getaran di tangan Helen membuyarkan lamunan singkatnya, temannya baru saja mengirim pesan memberitahu bahwa dirinya akan sampai sekitar 15 menit lagi. Helen hanya membalas ‘Ok’ karena pada dasarnya ia memang sedang menunggu, mereka sudah jauh hari janjian untuk meminta tandatangan bersama-sama dan akan pergi ke salon setelahnya. Melakukan kegiatan perempuan setelah pemerasan otak 6 bulan terakhir.

Tangan Helen mengelus skripsinya sayang lalu membuka halaman demi halaman, ketika sampai pada bagian persembahan, ia membacanya kembali. Sudah tak terhitung berapa banyak ia membaca bagian itu. Ia menyukai ketika membaca persembahan yang merujuk pada kedua orangtua dan kedua adiknya. Rasanya masih seperti mimpi. Ia sangat menyayangi mereka.

Saat Helen selesai membaca dan menutup skripsinya, ia menyadari ada seseorang datang dan duduk disampingnya. Tangga selebar satu setengah meter itu hanya menyisakan 2 jengkal jika ada yang duduk disetiap sudutnya. Selain dirinya mulai merasa terganggu, ia juga sangat heran, kenapa orang tersebut tidak duduk di undakan yang lain saja? Dan rasa heran itu luntur ketika orang tersebut tiba-tiba menyapanya. “Permisi.”

Ya?” Helen menoleh menjawab sapaan itu, ternyata hanya seorang mahasiswa yang ingin bertanya, pikir Helen. Dan bukannya lekas bertanya, mahasiswa tersebut justru sibuk mengutak-atik ponselnya. Helen hanya mengerutkan kening melihat tingkah mahasiswa aneh itu, ia memutuskan untuk mengabaikannya, dan mencari lokasi baru untuk menunggu. Namun tiba-tiba mahasiswa tersebut menyodorkan sesuatu tepat didepan wajahnya.

Boleh minta nomor teleponmu?” Kata mahasiswa itu tanpa basa-basi. Helen menatapnya kaget karena tiba-tiba dimintai nomor telepon oleh seseorang yang tidak dikenal. “Kenapa kaget begitu?” Tanyanya kemudian.

Helen tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah mahasiswa itu sambil mengingat apakah dulu ia pernah bertemu dengannya atau justru pernah sekelas. Namun Helen tidak mengingatnya sama sekali, ia tidak merasa pernah bertemu dengan mahasiswa itu. “Maaf, apa kita pernah sekelas?” Tanya Helen sesopan mungkin, lebih memilih kata ‘pernah sekelas’ daripada ‘pernah kenal’. Ia tidak ingin menyinggung perasaan orang yang baru pertama kali ditemui.

Tidak, kita belum pernah bertemu.” Jawabnya menyunggingkan senyum yang Helen yakini pernah digunakannya untuk merayu beberapa gadis dikampus ini. Merasa tidak mempan dengan pesona klasik semacam itu, Helen menahan senyum dan bertanya balik.

Lalu kenapa tiba-tiba minta nomor teleponku?”

Mahasiswa itu mengangkat bahu, melirik ponselnya sembari menggoyang-goyangkan ditangannya. “Tidak apa-apa, kan? Hanya untuk berteman.”

Helen tersenyum simpul, membuang pandangannya kearah lain sambil menggaruk hidungnya yang tidak gatal, kemudian menoleh kembali menatap mahasiswa tersebut sembari mengamati wajah muda pria yang mulai beranjak dewasa itu disampingnya. “Kau semester berapa?”

3.” Jawabnya singkat, menurunkan ponsel dan menggenggamnya.

Sudah 20?”

Masih 19.”

Helen terkejut. “Wah, pantas kau terlihat seusia adikku yang masih SMA, jarak kalian hanya 2 tahun.” Kata Helen tanpa pikir panjang, kemudian ia melanjutkan kalimatnya, “Aku sudah hampir selesai dan jarak usia kita jauh sekali.” Kata Helen tanpa menyebutkan angka usianya, ia baru 22 tahun.

Mahasiswa tersebut terkekeh penuh arti menanggapi pernyataan Helen yang hanya bisa mengerutkan kening melihat respon yang cukup menyinggung itu. Dan beberapa saat kemudian, mahasiswa tersebut memberi jawaban pada Helen hingga gadis itu kehilangan kata-katanya. “Bukankah tidak ada jarak usia untuk berteman? Aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya meminta nomor teleponmu karena ingin berteman denganmu.”

Sesaat Helen terdiam merasakan sensasi panas yang menjalari pipinya. Ia merutuk dalam hati, benar juga, bagaimana mungkin ia bisa semudah itu menganggap seseorang menyukai dirinya pada pandangan pertama hanya karena seseorang itu tiba-tiba meminta nomor teleponnya? Namun, sensasi tersebut tak berlangsung lama karena Helen tiba-tiba memiliki jawaban cukup jitu. Dengan hati-hati dan dada sedikit berdebar, ia pun memberanikan diri menatap mahasiswa tersebut. “Siapapun dan dimanapun, seorang laki-laki pasti memiliki tujuan jika meminta nomor telepon seorang gadis yang bukan temannya.” Ucapnya bijak entah mengutip kalimat dari mana.

Mahasiswa tersebut tertegun, seperti baru tertangkap basah melakukan sesuatu. Helen bersorak dalam hati melihat ekspresi itu. Ia tidak sudi dipecundangi, nomor telepon adalah sebuah privasi, suatu hal yang bersifat pribadi, hanya keluarga, saudara, teman dan orang-orang tertentu yang boleh memilikinya. Ia tidak mau dianggap gampangan hanya karena seseorang yang sadar pesona meminta nomor teleponnya, bisa jadi dibalik semua itu teman-temannya sedang menunggu siapa pemenang dari taruhan mereka yang berhasil mendapatkan nomor telepon sembarang gadis yang ditemui. Atau itu hanya peruntungan untuk mendapatkan pacar, siapa tahu mereka cocok. Atau yang lebih ektrim lagi, mereka hanya ingin mencari perawan kampus yang bisa mereka tiduri hanya dalam satu malam. Membayangkan hal itu Helen bergidik ngeri. Helen patut curiga, tidak ada salahnya berprasangka, karena kemungkinan buruk itu pasti ada.

Jadi, aku tidak boleh meminta nomor teleponmu?” Tanyanya lagi tanpa mendebat ucapan Helen tadi, ia kembali menyodorkan ponselnya. Helen menggeleng cepat, masih terbawa khayalan singkatnya. Spontanitasnya langsung bekerja ketika ia berpikir sedang dalam bahaya. Ah, dalam bahaya? Ini berlebihan, pikir Helen.

Melihat wajah mahasiswa tersebut yang tampak kecewa, Helen menjadi tidak tega. Tidak mungkin mahasiswa tersebut tidak merasa malu dan harga dirinya serasa terlempar jauh. Dan ngomong-ngomong tentang harga diri, harusnya mahasiswa tersebut sudah siap dengan resiko yang akan diterima jika mendapat penolakkan. Tapi bukan berarti setelah melihat wajah muram itu, Helen akan memberikan nomor teleponnya dengan mudah. Bisa jadi wajah kecewa itu hanya taktik belaka. Maka untuk mengurangi rasa tidak enak dihatinya, Helen mencoba berbaik hati untuk mengajak mahasiswa itu berbincang sebentar.

Mahasiswa tersebut hendak beranjak dari duduknya, namun mengurungkan niatnya ketika Helen mulai membuka percakapan. “Kau berasal dari kota ini?”

Aku berasal dari Jeju.”

Kau mengambil jurusan apa?”

Engineering.” Ia memperhatikan Helen sekaligus melempar balik pertanyaan, “Kau?”

Business Accounting.” Alis Helen bertaut tak suka ketika melihat mahasiswa tersebut hanya mengangguk-angguk sambil menunduk tersenyum. Helen merasa bahwa lelaki disampingnya ini tengah mengejek jurusannya. “Apa?”

Kau tahu apa yang kupikirkan saat pertama kali melihatmu?” Helen menggeleng, mengikuti arah yang ditunjuk mahasiswa tersebut dengan telunjuknya. Ia melihat sebuah laptop yang tertancap kabel charger sedang ditinggal pemiliknya. Helen memang melihat seseorang dengan laptop itu tadi, tapi tidak memperhatikan wajah pemiliknya.

Apa?”

Tebakanku tidak meleset karena jurusan yang kau ambil mencerminkan dirimu. Pintar dan berpendirian.” Ia mengamati wajah Helen seakan tak ingin melewatkan ekspresi yang akan segera didapatnya. “Aku sudah memperhatikanmu dari sana sejak kau datang.” Tubuh Helen nyaris membeku mendengar ucapan mahasiswa yang benar-benar tampak seperti perayu ulung itu.

Helen mencoba mengatur debaran didadanya. Jika memang harus dengan cara seperti ini untuk mendapatkan nomor teleponnya, Helen justru akan semakin waspada. Ia tidak boleh lengah. Karena pada dasarnya, pernyataan itu justru membuatnya ingin tertawa. “Oh, aku tersanjung.” Helen menekan bibirnya keras-keras, rasanya ada yang menggelitik perutnya.

Mahasiswa tersebut melanjutkan ucapannya. “Aku melihatmu dan kau melihatku, itu menandakan kau dan aku saling tertarik satu sama lain, bukan?” Dan menyemburlah tawa Helen tanpa bisa ditahan lagi. Mahasiswa tersebut sampai terlonjak melihat respon yang didapatnya jauh dari perkiraannya. Beberapa mahasiswa yang melewati mereka berdua sampai harus menoleh ingin tahu.

Helen memegangi perutnya, ia menyeka airmatanya yang sedikit keluar karena tawa yang berlebihan. Ia sadar betul sudah keterlaluan, cara tertawanya terlalu liar. Dan sebelum mahasiswa tersebut berdiri dan memaki-maki dirinya, Helen berusaha sekuat tenaga menghentikan tawanya dan langsung meminta maaf. “Ya ampun, maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Mahasiswa tersebut hanya tersenyum kecut, seolah sudah pasrah bahwa rayuannya kali ini tidak akan mempan pada gadis yang lebih dewasa dari usianya. Meski begitu, ia tetap penasaran. “Yeah, tertawalah sepuasmu. Bersyukurlah karena caramu tertawa semakin membuatku tertarik.”

Helen diam seketika, ia teringat dengan kalimat mahasiswa tersebut beberapa saat lalu. Helen berdeham, siap memuntahkan isi pikirannya. “Tadi kau bilang tidak ada maksud apa-apa meminta nomor teleponku, tapi malah sekarang kau bilang kau semakin tertarik padaku. Kau tidak konsisten.”

Mahasiswa tersebut mengangkat bahu. “Jika memang harus dengan cara seperti ini aku bisa mendapatkan nomor teleponmu, kenapa tidak?”

Gigih sekali, batin Helen.

Helen menarik napas dan menghembuskannya pelan. “Asal kau tahu, bukan usiaku lagi bisa terhanyut rayuanmu itu, harusnya kau gunakan kalimatmu yang begitu mematikan itu untuk merayu gadis seusiamu atau gadis dibawah usiamu. Bukan aku.” Helen tersenyum ramah. “Dan juga, jangan hanya melihat gadis dari luarnya saja, bisa jadi yang kau nilai pintar dan berpendirian itu justru buruk sifatnya dan memakai narkoba.”

Kau memakai narkoba?” Potongnya cepat.

Helen memejamkan mata. “Kau tahu, bukan itu maksudku.”

Mahasiswa itu tertawa sinis. “Lalu kenapa kau justru menceramahiku? Aku hanya ingin meminta nomor teleponmu, tidak lebih. Usiamu memang berada diatasku, paling hanya beberapa tahun, tapi bukan berarti kau bisa menceramahiku semudah itu, kita baru bertemu.” Ia marah dan itu wajar, karena inilah saatnya untuk Helen beraksi.

Helen tersenyum sabar. “Siapa namamu?”

Sehun.” Jawabnya ketus.

Sehun, kau tahu apa yang ada dipikiranku saat kau meminta nomor teleponku padahal kita baru bertemu?” Mahasiswa yang bernama Sehun itu tidak menjawab. “Harusnya aku bereaksi sama sepertimu.”

Sehun tetap tidak menyahut, seharusnya ia bisa saja pergi dari sana membiarkan Helen berceloteh, tapi melihat dirinya yang hanya bergeming, sepertinya ia masih penasaran.

Helen menyibakkan rambutnya yang baru saja tertiup angin, lalu kembali berbicara. “Kau tahu kunci dasar berteman itu apa?” Sehun menoleh tanpa menjawab, hanya memandang lurus kewajah Helen. “Kau seharusnya mengajaknya berkenalan dulu, kau tanyakan namanya, ajak ia berbasa-basi, setelah akrab barulah kau minta nomor teleponnya.”

Helen menatap Sehun seakan mereka adalah teman sebelumnya. Ia menunggu reaksi Sehun yang tak kunjung muncul. “Aku tahu kau sudah banyak melakukan trik ini kepada gadis yang menarik perhatianmu. Bermodalkan wajah tampan dan rayuan maut, kau pasti hampir tidak pernah meleset untuk mendapatkan gadis yang kau inginkan.” Helen memberikan jeda memperhatikan wajah Sehun yang kini tampak berpikir. “Tapi jika kau terus menerus melakukannya tanpa basa-basi, kau hanya akan membuat mereka lari. Dekatilah mereka perlahan-lahan.”

Helen menyelesaikan kalimatnya tepat saat ia melihat temannya berjalan mendekat dari kejauhan. Helen tahu, sudah saatnya ia pergi. Tidak ada gunanya berlama-lama kalau pada akhirnya ia tetap tidak memberikan nomor teleponnya pada laki-laki yang masih melamun itu.

Ok, Sehun. Aku harus pergi. Bye.” Ucap Helen sembari menepuk bahu Sehun layaknya teman lama. Seakan sadar dari lamunannya, Sehun ikut berdiri melihat Helen yang baru selangkah menuruni undakan.

Jadi, aku boleh meminta nomor teleponmu?” Tanyanya kembali tetap gigih.

Kunci dasar, Sehun.”

Oh benar, siapa namamu?”

Helen.”

Nona Helen, boleh aku meminta nomor teleponmu?”

Helen menyeringai lebar. “Tidak sekarang.” Jawab Helen kembali membuat Sehun kecewa. Helen menuruni anak tangga dengan langkah ringan, tapi saat menginjak anak tangga terakhir, ia menghentikan langkahnya dan berbalik. Mendapati wajah Sehun yang penuh harap, Helen tak kuasa menahan senyumnya. “tapi kau bisa mendapatkannya jika kita bertemu lagi.”

Tawa Sehun mengudara saat Helen berbalik dan melangkah pergi tepat ketika temannya sampai dihadapannya. “Aku pegang janjimu.” Teriak Sehun yang tidak begitu ia pedulikan.

Siapa dia?” Tanya teman Helen menyejajarkan langkahnya disamping Helen memasuki ruang tunggu dosen.

Helen mengangkat bahu. “Hanya mahasiswa iseng.” Dan mereka tidak melanjutkan obrolan itu karena dosen yang mereka tunggu datang lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. Meski begitu, Helen tidak memungkiri bahwa kapanpun itu, ia mengharapkan ada pertemuan berikutnya.

The End

Namaku Hilal, asal Lombok, semester 3, jurusan mesin, boleh minta nomor telponnya?”
Ternganga, berpikir, kemudian tersadar dan menepuk pelan bahu cowok itu, “Oke, Hilal. Dadahhh.” Lalu pergi.

Sebenarnya dialognya cuma seperti itu, tapi namanya juga fanfict. Dan aku terlalu kaget disamperin cowok yang tiba-tiba minta nomor telepon, lumayan cakep sih, cuma g tinggi-tinggi amat, tapi kan serem, takut digangguin. Nomor telepon itu kan barang privasi. Kalo ternyata disebarin ke germo gimana? #Eh?! Tapi iya kan? Kecuali kalo tu cowok temen kita sendiri.
Ckckck ada-ada aja anak muda jaman sekarang, tapi lucu :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar