(Maincast : Sehun and The Girl is Helen)
***
“Iya, tunggu sebentar,
aku sudah hampir sampai.” Helen berbicara pada ponselnya dengan
sedikit tergesa. Langkahnya terhenti membetulkan 3 jilid skripsi yang
didekap diantara tangan kiri dan dadanya, tampak sangat kerepotan,
sedangkan tangan kanannya masih sibuk memegang ponsel ditelinganya.
“Kau bilang kau masih
dimana?... Tidak perlu berdandan… Masih lama tidak?... Baiklah,
jangan lama-lama atau kau kutinggal.” Helen mengakhiri
pembicaraannya sambil berdecak kemudian memasukkan ponselnya kedalam
tas, tangannya kini lebih mudah untuk memegangi bawaannya yang
terlihat berat.
Ia melangkahkan kakinya
menuju ruang tunggu dosen, sebelum masuk kedalam, ia menyempatkan
diri melihat arlojinya, masih sekitar setengah jam lagi sampai dosen
yang akan dimintai tandatangan selesai mengajar. Helen memutuskan
untuk menunggu dikoridor dekat pintu masuk sampai temannya datang. Ia
duduk diundakan anak tangga dan meletakkan skripsinya dipangkuan,
tangannya merogoh kedalam tas mencari ponselnya dan mulai melakukan
kegiatan favoritnya, browsing.
Kepala Helen mendongak
setiap kali ada mahasiswa yang lalu lalang didepannya. Melihat mereka
semua membuat pikirannya melayang mengenang awal masuk kuliah. Tanpa
terasa waktu berlalu begitu cepat, ia sudah hampir menyelesaikan
program pasca sarjananya dan tinggal menunggu waktu untuk wisuda. Hal
yang ditunggu-tunggu selama ini akhirnya datang juga. Meski
skripsinya sempat tertunda 2 semester, ia merasa bersyukur akhirnya
usahanya membuahkan hasil.
Helen meregangkan otot
lengannya kedepan, memperhatikan sekumpulan mahasiswa yang tengah
duduk di lobi sembari mengomentari celotehan teman mereka. Ada yang
hanya duduk sendirian menikmati alunan musik menggunakan headsetnya.
Ada pula yang tampak sibuk dengan laptopnya. Juga yang serius membaca
buku yang tampak seperti novel detektif. Helen mengetahuinya karena
ada gambar tak asing 2 orang pria di cover buku tersebut. Para
mahasiswa itu tampak sangat muda dan seperti hanya tahu bermain-main
saja. Beberapa semester lagi mereka akan merasakan hal yang sama
denganku, pusing dengan skripsi, batin Helen sambil tersenyum kecil.
Satu getaran di tangan
Helen membuyarkan lamunan singkatnya, temannya baru saja mengirim
pesan memberitahu bahwa dirinya akan sampai sekitar 15 menit lagi.
Helen hanya membalas ‘Ok’ karena pada dasarnya ia memang sedang
menunggu, mereka sudah jauh hari janjian untuk meminta tandatangan
bersama-sama dan akan pergi ke salon setelahnya. Melakukan kegiatan
perempuan setelah pemerasan otak 6 bulan terakhir.
Tangan Helen mengelus
skripsinya sayang lalu membuka halaman demi halaman, ketika sampai
pada bagian persembahan, ia membacanya kembali. Sudah tak terhitung
berapa banyak ia membaca bagian itu. Ia menyukai ketika membaca
persembahan yang merujuk pada kedua orangtua dan kedua adiknya.
Rasanya masih seperti mimpi. Ia sangat menyayangi mereka.
Saat Helen selesai membaca
dan menutup skripsinya, ia menyadari ada seseorang datang dan duduk
disampingnya. Tangga selebar satu setengah meter itu hanya menyisakan
2 jengkal jika ada yang duduk disetiap sudutnya. Selain dirinya mulai
merasa terganggu, ia juga sangat heran, kenapa orang tersebut tidak
duduk di undakan yang lain saja? Dan rasa heran itu luntur ketika
orang tersebut tiba-tiba menyapanya. “Permisi.”
“Ya?” Helen menoleh
menjawab sapaan itu, ternyata hanya seorang mahasiswa yang ingin
bertanya, pikir Helen. Dan bukannya lekas bertanya, mahasiswa
tersebut justru sibuk mengutak-atik ponselnya. Helen hanya
mengerutkan kening melihat tingkah mahasiswa aneh itu, ia memutuskan
untuk mengabaikannya, dan mencari lokasi baru untuk menunggu. Namun
tiba-tiba mahasiswa tersebut menyodorkan sesuatu tepat didepan
wajahnya.
“Boleh minta nomor
teleponmu?” Kata mahasiswa itu tanpa basa-basi. Helen menatapnya
kaget karena tiba-tiba dimintai nomor telepon oleh seseorang yang
tidak dikenal. “Kenapa kaget begitu?” Tanyanya kemudian.
Helen tidak langsung
menjawab. Ia mengamati wajah mahasiswa itu sambil mengingat apakah
dulu ia pernah bertemu dengannya atau justru pernah sekelas. Namun
Helen tidak mengingatnya sama sekali, ia tidak merasa pernah bertemu
dengan mahasiswa itu. “Maaf, apa kita pernah sekelas?” Tanya
Helen sesopan mungkin, lebih memilih kata ‘pernah sekelas’
daripada ‘pernah kenal’. Ia tidak ingin menyinggung perasaan
orang yang baru pertama kali ditemui.
“Tidak, kita belum
pernah bertemu.” Jawabnya menyunggingkan senyum yang Helen yakini
pernah digunakannya untuk merayu beberapa gadis dikampus ini. Merasa
tidak mempan dengan pesona klasik semacam itu, Helen menahan senyum
dan bertanya balik.
“Lalu kenapa tiba-tiba
minta nomor teleponku?”
Mahasiswa itu mengangkat
bahu, melirik ponselnya sembari menggoyang-goyangkan ditangannya.
“Tidak apa-apa, kan? Hanya untuk berteman.”
Helen tersenyum simpul,
membuang pandangannya kearah lain sambil menggaruk hidungnya yang
tidak gatal, kemudian menoleh kembali menatap mahasiswa tersebut
sembari mengamati wajah muda pria yang mulai beranjak dewasa itu
disampingnya. “Kau semester berapa?”
“3.” Jawabnya singkat,
menurunkan ponsel dan menggenggamnya.
“Sudah 20?”
“Masih 19.”
Helen terkejut. “Wah,
pantas kau terlihat seusia adikku yang masih SMA, jarak kalian hanya
2 tahun.” Kata Helen tanpa pikir panjang, kemudian ia melanjutkan
kalimatnya, “Aku sudah hampir selesai dan jarak usia kita jauh
sekali.” Kata Helen tanpa menyebutkan angka usianya, ia baru 22
tahun.
Mahasiswa tersebut
terkekeh penuh arti menanggapi pernyataan Helen yang hanya bisa
mengerutkan kening melihat respon yang cukup menyinggung itu. Dan
beberapa saat kemudian, mahasiswa tersebut memberi jawaban pada Helen
hingga gadis itu kehilangan kata-katanya. “Bukankah tidak ada jarak
usia untuk berteman? Aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya meminta
nomor teleponmu karena ingin berteman denganmu.”
Sesaat Helen terdiam
merasakan sensasi panas yang menjalari pipinya. Ia merutuk dalam
hati, benar juga, bagaimana mungkin ia bisa semudah itu menganggap
seseorang menyukai dirinya pada pandangan pertama hanya karena
seseorang itu tiba-tiba meminta nomor teleponnya? Namun, sensasi
tersebut tak berlangsung lama karena Helen tiba-tiba memiliki jawaban
cukup jitu. Dengan hati-hati dan dada sedikit berdebar, ia pun
memberanikan diri menatap mahasiswa tersebut. “Siapapun dan
dimanapun, seorang laki-laki pasti memiliki tujuan jika meminta nomor
telepon seorang gadis yang bukan temannya.” Ucapnya bijak entah
mengutip kalimat dari mana.
Mahasiswa tersebut
tertegun, seperti baru tertangkap basah melakukan sesuatu. Helen
bersorak dalam hati melihat ekspresi itu. Ia tidak sudi dipecundangi,
nomor telepon adalah sebuah privasi, suatu hal yang bersifat pribadi,
hanya keluarga, saudara, teman dan orang-orang tertentu yang boleh
memilikinya. Ia tidak mau dianggap gampangan hanya karena seseorang
yang sadar pesona meminta nomor teleponnya, bisa jadi dibalik semua
itu teman-temannya sedang menunggu siapa pemenang dari taruhan mereka
yang berhasil mendapatkan nomor telepon sembarang gadis yang ditemui.
Atau itu hanya peruntungan untuk mendapatkan pacar, siapa tahu mereka
cocok. Atau yang lebih ektrim lagi, mereka hanya ingin mencari
perawan kampus yang bisa mereka tiduri hanya dalam satu malam.
Membayangkan hal itu Helen bergidik ngeri. Helen patut curiga, tidak
ada salahnya berprasangka, karena kemungkinan buruk itu pasti ada.
“Jadi, aku tidak boleh
meminta nomor teleponmu?” Tanyanya lagi tanpa mendebat ucapan Helen
tadi, ia kembali menyodorkan ponselnya. Helen menggeleng cepat, masih
terbawa khayalan singkatnya. Spontanitasnya langsung bekerja ketika
ia berpikir sedang dalam bahaya. Ah, dalam bahaya? Ini berlebihan,
pikir Helen.
Melihat wajah mahasiswa
tersebut yang tampak kecewa, Helen menjadi tidak tega. Tidak mungkin
mahasiswa tersebut tidak merasa malu dan harga dirinya serasa
terlempar jauh. Dan ngomong-ngomong tentang harga diri, harusnya
mahasiswa tersebut sudah siap dengan resiko yang akan diterima jika
mendapat penolakkan. Tapi bukan berarti setelah melihat wajah muram
itu, Helen akan memberikan nomor teleponnya dengan mudah. Bisa jadi
wajah kecewa itu hanya taktik belaka. Maka untuk mengurangi rasa
tidak enak dihatinya, Helen mencoba berbaik hati untuk mengajak
mahasiswa itu berbincang sebentar.
Mahasiswa tersebut hendak
beranjak dari duduknya, namun mengurungkan niatnya ketika Helen mulai
membuka percakapan. “Kau berasal dari kota ini?”
“Aku berasal dari Jeju.”
“Kau mengambil jurusan
apa?”
“Engineering.”
Ia memperhatikan Helen sekaligus melempar balik pertanyaan, “Kau?”
“Business
Accounting.” Alis Helen bertaut tak suka
ketika melihat mahasiswa tersebut hanya mengangguk-angguk sambil
menunduk tersenyum. Helen merasa bahwa lelaki disampingnya ini tengah
mengejek jurusannya. “Apa?”
“Kau tahu apa yang
kupikirkan saat pertama kali melihatmu?” Helen menggeleng,
mengikuti arah yang ditunjuk mahasiswa tersebut dengan telunjuknya.
Ia melihat sebuah laptop yang tertancap kabel charger
sedang ditinggal pemiliknya. Helen memang melihat seseorang dengan
laptop itu tadi, tapi tidak memperhatikan wajah pemiliknya.
“Apa?”
“Tebakanku tidak meleset
karena jurusan yang kau ambil mencerminkan dirimu. Pintar dan
berpendirian.” Ia mengamati wajah Helen seakan tak ingin melewatkan
ekspresi yang akan segera didapatnya. “Aku sudah memperhatikanmu
dari sana sejak kau datang.” Tubuh Helen nyaris membeku mendengar
ucapan mahasiswa yang benar-benar tampak seperti perayu ulung itu.
Helen mencoba mengatur
debaran didadanya. Jika memang harus dengan cara seperti ini untuk
mendapatkan nomor teleponnya, Helen justru akan semakin waspada. Ia
tidak boleh lengah. Karena pada dasarnya, pernyataan itu justru
membuatnya ingin tertawa. “Oh, aku tersanjung.” Helen menekan
bibirnya keras-keras, rasanya ada yang menggelitik perutnya.
Mahasiswa tersebut
melanjutkan ucapannya. “Aku melihatmu dan kau melihatku, itu
menandakan kau dan aku saling tertarik satu sama lain, bukan?” Dan
menyemburlah tawa Helen tanpa bisa ditahan lagi. Mahasiswa tersebut
sampai terlonjak melihat respon yang didapatnya jauh dari
perkiraannya. Beberapa mahasiswa yang melewati mereka berdua sampai
harus menoleh ingin tahu.
Helen memegangi perutnya,
ia menyeka airmatanya yang sedikit keluar karena tawa yang
berlebihan. Ia sadar betul sudah keterlaluan, cara tertawanya terlalu
liar. Dan sebelum mahasiswa tersebut berdiri dan memaki-maki dirinya,
Helen berusaha sekuat tenaga menghentikan tawanya dan langsung
meminta maaf. “Ya ampun, maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”
Mahasiswa tersebut hanya
tersenyum kecut, seolah sudah pasrah bahwa rayuannya kali ini tidak
akan mempan pada gadis yang lebih dewasa dari usianya. Meski begitu,
ia tetap penasaran. “Yeah, tertawalah sepuasmu. Bersyukurlah karena
caramu tertawa semakin membuatku tertarik.”
Helen diam seketika, ia
teringat dengan kalimat mahasiswa tersebut beberapa saat lalu. Helen
berdeham, siap memuntahkan isi pikirannya. “Tadi kau bilang tidak
ada maksud apa-apa meminta nomor teleponku, tapi malah sekarang kau
bilang kau semakin tertarik padaku. Kau tidak konsisten.”
Mahasiswa tersebut
mengangkat bahu. “Jika memang harus dengan cara seperti ini aku
bisa mendapatkan nomor teleponmu, kenapa tidak?”
Gigih sekali, batin Helen.
Helen menarik napas dan
menghembuskannya pelan. “Asal kau tahu, bukan usiaku lagi bisa
terhanyut rayuanmu itu, harusnya kau gunakan kalimatmu yang begitu
mematikan itu untuk merayu gadis seusiamu atau gadis dibawah usiamu.
Bukan aku.” Helen tersenyum ramah. “Dan juga, jangan hanya
melihat gadis dari luarnya saja, bisa jadi yang kau nilai pintar dan
berpendirian itu justru buruk sifatnya dan memakai narkoba.”
“Kau memakai narkoba?”
Potongnya cepat.
Helen memejamkan mata.
“Kau tahu, bukan itu maksudku.”
Mahasiswa itu tertawa
sinis. “Lalu kenapa kau justru menceramahiku? Aku hanya ingin
meminta nomor teleponmu, tidak lebih. Usiamu memang berada diatasku,
paling hanya beberapa tahun, tapi bukan berarti kau bisa
menceramahiku semudah itu, kita baru bertemu.” Ia marah dan itu
wajar, karena inilah saatnya untuk Helen beraksi.
Helen tersenyum sabar.
“Siapa namamu?”
“Sehun.” Jawabnya
ketus.
“Sehun, kau tahu apa
yang ada dipikiranku saat kau meminta nomor teleponku padahal kita
baru bertemu?” Mahasiswa yang bernama Sehun itu tidak menjawab.
“Harusnya aku bereaksi sama sepertimu.”
Sehun tetap tidak
menyahut, seharusnya ia bisa saja pergi dari sana membiarkan Helen
berceloteh, tapi melihat dirinya yang hanya bergeming, sepertinya ia
masih penasaran.
Helen menyibakkan
rambutnya yang baru saja tertiup angin, lalu kembali berbicara. “Kau
tahu kunci dasar berteman itu apa?” Sehun menoleh tanpa menjawab,
hanya memandang lurus kewajah Helen. “Kau seharusnya mengajaknya
berkenalan dulu, kau tanyakan namanya, ajak ia berbasa-basi, setelah
akrab barulah kau minta nomor teleponnya.”
Helen menatap Sehun seakan
mereka adalah teman sebelumnya. Ia menunggu reaksi Sehun yang tak
kunjung muncul. “Aku tahu kau sudah banyak melakukan trik ini
kepada gadis yang menarik perhatianmu. Bermodalkan wajah tampan dan
rayuan maut, kau pasti hampir tidak pernah meleset untuk mendapatkan
gadis yang kau inginkan.” Helen memberikan jeda memperhatikan wajah
Sehun yang kini tampak berpikir. “Tapi jika kau terus menerus
melakukannya tanpa basa-basi, kau hanya akan membuat mereka lari.
Dekatilah mereka perlahan-lahan.”
Helen menyelesaikan
kalimatnya tepat saat ia melihat temannya berjalan mendekat dari
kejauhan. Helen tahu, sudah saatnya ia pergi. Tidak ada gunanya
berlama-lama kalau pada akhirnya ia tetap tidak memberikan nomor
teleponnya pada laki-laki yang masih melamun itu.
“Ok, Sehun. Aku harus
pergi. Bye.” Ucap Helen sembari menepuk bahu Sehun layaknya teman
lama. Seakan sadar dari lamunannya, Sehun ikut berdiri melihat Helen
yang baru selangkah menuruni undakan.
“Jadi, aku boleh meminta
nomor teleponmu?” Tanyanya kembali tetap gigih.
“Kunci dasar, Sehun.”
“Oh benar, siapa
namamu?”
“Helen.”
“Nona Helen, boleh aku
meminta nomor teleponmu?”
Helen menyeringai lebar.
“Tidak sekarang.” Jawab Helen kembali membuat Sehun kecewa. Helen
menuruni anak tangga dengan langkah ringan, tapi saat menginjak anak
tangga terakhir, ia menghentikan langkahnya dan berbalik. Mendapati
wajah Sehun yang penuh harap, Helen tak kuasa menahan senyumnya.
“tapi kau bisa mendapatkannya jika kita bertemu lagi.”
Tawa Sehun mengudara saat
Helen berbalik dan melangkah pergi tepat ketika temannya sampai
dihadapannya. “Aku pegang janjimu.” Teriak Sehun yang tidak
begitu ia pedulikan.
“Siapa dia?” Tanya
teman Helen menyejajarkan langkahnya disamping Helen memasuki ruang
tunggu dosen.
Helen mengangkat bahu.
“Hanya mahasiswa iseng.” Dan mereka tidak melanjutkan obrolan itu
karena dosen yang mereka tunggu datang lebih cepat dari jadwal yang
seharusnya. Meski begitu, Helen tidak memungkiri bahwa kapanpun itu,
ia mengharapkan ada pertemuan berikutnya.
The End
“Namaku Hilal,
asal Lombok, semester 3, jurusan mesin, boleh minta nomor telponnya?”
Ternganga, berpikir,
kemudian tersadar dan menepuk pelan bahu cowok itu, “Oke, Hilal.
Dadahhh.” Lalu pergi.
Sebenarnya dialognya
cuma seperti itu, tapi namanya juga fanfict. Dan aku terlalu kaget
disamperin cowok yang tiba-tiba minta nomor telepon, lumayan cakep
sih, cuma g tinggi-tinggi amat, tapi kan serem, takut digangguin.
Nomor telepon itu kan barang privasi. Kalo ternyata disebarin ke
germo gimana? #Eh?! Tapi iya kan? Kecuali kalo tu cowok temen kita sendiri.
Ckckck ada-ada aja
anak muda jaman sekarang, tapi lucu :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar