(Maincast: Wu Yifan and You)
***
Aku membawa kakiku melangkah
ringan menyusuri jalan setapak menuju kampus. Tanganku penuh dengan
buku-buku tebal yang kudekap erat di dadaku, mengabaikan peluh di
dahi dan leher tanpa perlu repot mengikat rambutku yang tergerai.
Hari ini baru pukul setengah sembilan pagi, namun cuaca sudah seterik
ini. Baru ku sadari akhir Maret sudah memasuki awal musim panas di
Seoul.
Perhatianku teralih oleh
suara kicau nyaring sepasang burung gereja yang hinggap di
rerumputan. Kukira mereka sedang bercumbu, rupanya mereka berkelahi.
Aku sempat berpikir apa yang tengah mereka perebutkan? Dan
pertanyaanku segera terjawab ketika seekor burung gereja yang
kupastikan betina hinggap tak jauh dari mereka. Lucu, bahkan hewanpun
memiliki kisah cinta segitiga. Sambil tersenyum sendiri, tanpa sadar
aku melangkah mendekati burung-burung itu yang langsung terbang
ketiganya. Aku mendongak memandangi arah mereka terbang dengan
ekspresi kecewa.
“Dilarang menginjak
rumput.” Aku tertegun menoleh ke belakang. “Kau menganggu
burung-burung itu.” Ucapnya lagi lalu tangannya mengisyaratkanku
untuk kembali ke jalan setapak.
Aku nyengir lalu berdiri di
sampingnya yang tinggi menjulang. “Pagi.” Sapaku ringan dan
dibalas dengan senyum hangatnya. Dia memperhatikan buku-buku yang
kubawa lalu menawarkan diri untuk membawanya sebagian.
“Untuk apa buku-buku ini?”
Tanyanya ketika kami mulai berjalan beriringan menuju gedung.
“Aku mau memperpanjang
masa pinjam buku. Tugasku mulai menumpuk. Bulan depan kan sudah ujian
akhir. Aku lelah sekali sampai kurang tidur.” Keluhku sambil
memijat-mijat leherku. Dia tersenyum maklum disampingku. “Kau juga
ada kuliah pagi ini?”
“Tidak.” Jawabnya
singkat dan aku mengernyit.
“Jawabanmu seperti orang
yang belum makan 3 hari.” Candaku. “Kau sudah sarapan?”
“Aku tidak lapar. Aku
hanya mau mengumpulkan tugas.” Jawabnya sembari menyerahkan buku ke
tanganku. Melihatku yang tampak bingung dengan sikapnya, ia lantas
tersenyum lalu mengacak rambutku. “Mau makan siang bersamaku? Aku
libur part-time sore ini. Chanyeol menggantikan shiftku.”
Aku mengangguk gembira. “Aku
hanya ada 2 mata kuliah.”
“Bagus. Hubungi aku
setelah kelas usai.” Ucapnya sembari membenarkan letak ranselnya
kemudian melangkah pergi. Aku memperhatikan punggungnya yang mulai
menjauh. Tiba-tiba hati dan pikiranku mulai berkecamuk. Semalam aku
melihat kalender dan menemukan bulatan tanda merah di salah satu
tanggal di awal bulan April yang tinggal seminggu lagi. Dan sekarang,
aku menahan napas antara ingin mengajaknya terlebih dahulu atau
menunggunya sampai ia sendiri yang mengajakku.
“Yi Fan!” Panggilku
sedikit keras. Pemuda yang kupanggil akrab dengan nama Yi Fan itu
berbalik. Beberapa mahasiswa yang berjalan melewati kami melirik
kearahnya. Yi Fan menaikkan alis menungguku berucap. Ketika
sepersekian detik aku tak kunjung bersuara akhirnya ia kembali
mendekat.
“Ada apa?” Tanyanya.
Sial! Wajahku panas. Wajah dinginnya memperlihatkan senyumnya yang
sedikit geli, ia pasti melihat semburat merah di pipiku.
Aku membuka mulutku tapi
kemudian menutupnya lagi. Dadaku berdebar. “Tidak apa-apa. Sampai
bertemu nanti.”
Ia terkekeh menampakkan
deretan giginya yang rapi lalu mengangguk. “Ikat rambutmu. Cuaca
sangat panas. Sampai nanti.”
Ketika aku menjawabnya
dengan anggukan, ia kemudian melangkah pergi dan di koridor menuju
kelasnya, aku memejamkan mata dan menghembuskan napas. Apa dia lupa?
Tahun lalu bahkan ia mengajakku sebulan sebelumnya, tapi kenapa kali
ini dia diam saja? Malah dia hanya mengajakku makan siang.
Aku terus berpikir tanpa
kusadari aku sudah hampir sampai di kelas. Mungkin aku terlalu cepat
berharap. Bukankah di usia ke 2 masa pacaran biasanya pasangan akan
sedikit lebih cuek? Bagaimana kalau ternyata dia punya gadis lain
yang sedang ditaksir? Bagaimana jika gadis itu ternyata lebih cantik
dariku? Atau jangan-jangan ia kembali dihubungi oleh mantan pacarnya
yang dari Kanada itu lalu mengajaknya balikan? Tidak, tidak, tidak.
Dia bilang, dia sudah melupakannya dan aku tahu dia tidak pernah
berbohong. Yah, aku hanya harus mempercayainya, itu saja.
Aku mengangkat bahu.
Memutuskan untuk membuang segala pikiran burukku dan memasuki ruang
kelas yang mulai padat.
***
Aku dan Yi Fan memulai
hubungan kami tanpa sengaja. Dia orang yang sangat kaku dan pendiam.
Wajah dinginnya terlihat mengerikan sekaligus menawan di saat yang
bersamaan. Aku tidak tahu dia hanya pura-pura memasang wajah dingin
atau pada dasarnya dia memang seperti itu, yang jelas aku tidak
pernah tertarik dengan pria berwajah muram, apalagi yang tidak pernah
bisa menciptakan suasana.
Saat itu, aku justru tengah
naksir dengan temannya yang berkepribadian hangat dan ceria bernama
Park Chanyeol. Aku dan Chanyeol dulu satu SMA dan dipertemukan di
Universitas yang sama meskipun berbeda jurusan. Di awal semester
kehidupan sebagai mahasiswa, masa-masa pendekatanku dengan Chanyeol
terusik karena kedatangan Yi Fan yang selalu muncul ditengah-tengah
kami. Selain sebagai teman sekelas mereka juga teman satu kerja di
kafe 24 jam, jadi tidak heran mereka menjadi sangat akrab. Hingga
pada akhirnya aku sadar bahwa Chanyeol menganggapku tak lebih dari
seorang teman karena ia sedang menjalin hubungan dengan teman
sekelasnya.
Aku patah hati, tentu saja,
dan Yi Fan datang dengan membawa pundak sebagai sandaran atas
airmataku untuk Chanyeol. Kurang beruntung apa aku ini? Aku pikir Yi
Fan mengajakku berkencan karena ia kasihan padaku, tapi ternyata ia
memang sudah jatuh cinta padaku sejak aku berteman dengan Chanyeol.
Menaklukkan hati seorang gadis yang sedang patah hati itu mudah,
katanya waktu itu. Karena jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik
dengan orang pendiam, tapi siapa sangka selama bersamaku ia jauh
lebih banyak menebarkan tawa dibanding sebelumnya. Semua teman-teman
yang mengenal Yi Fan juga berkata demikian. Yi Fan seperti orang gila
ketika sendirian, dan tampak kasmaran ketika bersamaku. Aku tersenyum
mengingat semua hal tentang dirinya yang begitu manis.
“Hei.” Yi Fan mencolek
ujung hidungku mendapati aku melamun. Ia mengernyit heran melihatku
salah tingkah. “Memikirkan apa?”
Memikirkanmu.
Andai urat maluku sudah putus untuk mengatakan hal itu.
Kami tengah berada di
kafetaria siang ini. Menikmati hembusan pendingin ruangan tak jauh
dari kami. Tadinya kami ingin makan di luar, tapi melihat betapa
teriknya matahari, kamipun memutuskan untuk makan siang di kampus.
Sembari menunggu pesanan kami diantar, aku mengeluarkan buku-buku
dari dalam ransel bermaksud menyicil tugas essay yang baru saja
diberikan oleh dosen.
“Sibuk sekali.” Yi Fan
menggumam di depanku, tanpa sadar makanan kami sudah tersedia di
meja.
“Aku harus menyicil agar
minggu depan kita bisa....” Aku menghentikan kalimatku. Yi Fan
menungguku menyelesaikan ucapanku dengan sumpit yang tertahan di
udara.
“Ya?”
“B-bisa belajar untuk
ujian.” Ucapku akhirnya. “Kita kan sudah semester 4. Ujian
tinggal seminggu lagi.” Aku tertawa garing menarik jus semangka di
depanku. Yi Fan hanya geleng-geleng kepala memakan kimbabnya.
Aku memperhatikan dirinya
selama ia menikmati makanannya yang tampak tidak begitu berselera.
Ini hanya perasaanku atau memang Yi Fan tampak berbeda hari ini? Aku
tahu betul pribadinya yang pendiam, tapi ia tampak lebih pendiam dari
biasanya. Kalaupun dia sakit, wajahnya tidak tampak pucat. Mungkin
aku akan mengetahui suhu tubuhnya setelah aku menyentuhnya. Maka
kuputuskan untuk menyentuh ringan punggung tangannya. “Apa ada yang
ingin kau ceritakan padaku hari ini?”
Yi Fan tampak terkejut
dengan sentuhanku. Tangannya tidak panas, itu berarti suhu tubuhnya
normal. Ia hanya tersenyum menanggapiku. Aku berdiri dan duduk di
sampingnya. “Duizhang, kau tampak seram kalau tidak tertawa. Aku
tidak suka kau berakting cool seperti itu. Jangan membuatku
berpikiran yang tidak-tidak. Katakan ada apa?” Paksaku sembari
merebut sumpit dari tangannya. “Kau tidak sedang berselingkuh,
kan?”
Yi Fan hanya terkekeh dan
memandangku seolah-olah ‘yang benar saja’ dengan tatapannya yang
tajam. Aku menghela napas lega. Syukurlah, berarti dia masih
mencintaiku.
“Jadi?” Aku menopang
pipi dengan tangan kiriku agar bisa menatapnya. Yi Fan malah sibuk
mengunyah dan menyuapkan sepotong gimbab ke mulutku.
“Saat makan tidak boleh
bicara.” Ucapnya lalu menyesap soft drink kemudian kembali
menikmati gimbabnya. Aku memutar bola mataku, menarik buku serta
kertas essay ke hadapanku dan kembali menulis. Percuma memaksanya
bicara, dia tidak akan pernah mengutarakan isi pikirannya jika ia
tidak mau.
“Apa kau tidak ada tugas
sama sekali?” Tanyaku setelah beberapa menit kami terdiam. Yi Fan
tidak menghabiskan makanannya dan malah sibuk meneguk colanya sedikit
demi sedikit.
“Ada.” Ia meletakkan
kalengnya di meja. “Tapi aku sudah menyelesaikannya.” Aku hanya
mengangguk sebagai respon. Lalu kami kembali terdiam. Aku sibuk
menulis dan Yi Fan sibuk memutar-mutar tepi kaleng dengan ujung
jarinya entah memikirkan apa, sampai akhirnya Yi Fan memanggil namaku
pelan. “Hye Ri-ya.”
“Ya?”
Yifan memandangku aneh.
Sepertinya aku terlalu semangat menjawab panggilannya. “Kenapa kau
menatapku terkesima seperti itu saat kupanggil?” Godanya padaku.
“Lalu aku harus
bagaimana?” Aku hanya bisa protes menahan malu. “Seharian ini kau
tampak aneh. Kukira kau sakit. Wajar kalau aku khawatir.” Sewotku
berusaha menutupi sikapku yang mulai salah tingkah.
Yi Fan terkekeh menggaruk
ringan keningnya. “Boleh aku melanjutkan?”
“Aku menunggu.”
“Hye Ri, tentang minggu
depan....” Ia menggantungkan kalimatnya sementara aku menanti
kelanjutannya dengan perasaan was-was. Ajak aku, ayo ajak aku
berkencan. Awas kalau sampai kau melupakannya. “Ayo kita
jalan-jalan.” Dan hatiku bersorak setelah mendengar ajakannya. Aku
yakin Yi Fan tidak akan mengecewakanku.
“Eum... bagaimana ya?”
Aku pura-pura berpikir. “Ini sulit. Tugasku banyak sekali.”
Ucapku memandang benda-benda di depanku dengan tatapan merana.
Yi Fan ikut menatap meja
dengan pandangan iba. “Ya sudah, tidak usah saja. Aku tidak akan
mengganggumu.”
Aku buru-buru mencengkeram
lengannya. “Apa-apan itu? Harusnya kau paksa aku. Cepat sekali
menyerah.” Yi Fan tergelak dengan tingkahku. Tanpa sadar aku pun
tersenyum melihatnya tertawa. “Kau mau ajak aku kemana? Setidaknya
aku jadi bisa menyelesaikan tugas-tugasku lebih cepat.”
Yi Fan berpikir sejenak.
“Kau mau ke pantai?” Tawarnya dan aku mengangguk dengan antusias.
Aku tahu, dia sangat menyukai pantai musim panas. Jika tahun lalu dia
sudah mengabulkan keinginanku untuk ke Namsan Tower kenapa aku harus
menolaknya saat mengajakku ke pantai musim panas?
“Kedengarannya
menyenangkan.”
***
Sesuai dengan targetku. Aku
menyelesaikan tugas-tugasku selama seminggu penuh. Memaksakan diri
begadang bukan hanya supaya aku bisa konsentrasi saat ujian nanti,
tapi agar aku bisa merayakan 2 tahun hubungan kami tanpa terbebani
tugas dan esoknya aku bisa belajar seharian penuh. Aku sampai menahan
diri tidak bertemu dengannya agar aku bisa lebih konsentrasi.
Kami hanya sesekali berkirim
pesan meski hanya sekedar untuk saling menyemangati ataupun
mengingatkan untuk makan, lalu kami akan saling membalas dengan
emoticon senyum dan tanda cinta, terkadang ditambahi dengan emot
kiss. Kami seperti anak sekolahan yang sedang kasmaran, padahal
hubungan kami sudah hampir 2 tahun.
Kemarin malam tanggal 4
April, Yi Fan sudah mengucapkan happy anniversary di telepon sama
seperti tahun lalu. Dan Sabtu pagi ini, aku disibukkan dengan
berbagai persiapan bekal yang akan aku bawa. Ayahku yang mendengar
suara gaduh dari arah dapur terbangun dan segera mendapatiku tengah
sibuk mencuci buah. Beliau sempat menanyaiku akan pergi kemana dan
aku hanya menjawabnya dengan gumaman kecil bahwa aku akan pergi ke
pantai.
“Dengan si Kanadian itu?”
Tanya Ayahku mengigit roti bakar yang sudah aku olesi selai coklat.
Beliau duduk di meja makan tepat di hadapanku dan menuangkan jus
jeruk kedalam gelas.
“Namanya Yi Fan, Ayah!”
Tegurku pura-pura sebal.
Ayah mengangkat bahu,
“Bagaimana Ayah tahu. Kau tidak pernah membawanya kerumah dan
memperkenalkannya pada kami.”
Aku terkekeh mendengar
jawabannya, “Aku akan segera memperkenalkannya. Jangan khawatir.”
“Yah. Ayah harap dia bisa
menjaga putri Ayah agar tidak terseret ombak, ah dan juga bisa
menjaga tangannya saat dia mencoba menyelamatkanmu.” Ayah memasang
wajah seriusnya dan aku hanya bisa berseru protes karena beliau tak
ada habisnya menggodaku setiap aku sedang dekat dengan teman
laki-laki.
Setelah menyusun bekalku
yang terdiri dari sandwich, buah dan jus kesukaannya, aku berjalan
menaiki tangga menuju kamarku untuk bersiap diri. Seperti layaknya
pakaian saat liburan ke pantai, aku memilih dress biru laut sebagai
pakaian musim panasku. Sedikit berdandan kemudian menyampirkan tas
selempang kecil yang terbuat dari rajutan benang wol pemberian Yi Fan
sepulangnya dari Kanada beberapa bulan lalu.
Aku turun ke bawah
berpamitan dengan orangtuaku dan tentu saja disertai
ledekkan-ledekkan kecil dari Ayahku. Kubawa keranjang mini di tangan
kananku dan berjalan menuju Stasiun. Aku harus naik kereta terlebih
dahulu, kami janjian bertemu di Halte dekat Stasiun sebelum akhirnya
menaiki bus menuju arah pantai.
Waktu menunjukkan pukul 9
dan dadaku berdebar mengingat akan bertemu dengan Yi Fan setengah jam
lagi setelah perjalanan kereta. Ini aneh, kami sudah sering berkencan
tapi aku selalu saja merasa berdebar-debar saat akan bertemu
dengannya. Aku menikmati perjalanan sambil duduk di dalam kereta yang
sedikit ramai di akhir minggu ini. Mungkin orang-orang ini juga akan
berlibur ke pantai sama sepertiku. Aku melihat seorang Ibu muda yang
sedikit kerepotan menggendong anak bayinya, laki-laki yang duduk
disebelahnya membantunya menggendong bayi tersebut dan menampakkan
wajah lucu saat menggoda anak bayinya hingga tertawa, pastilah dia
Ayah dari bayi itu. Melihat pemandangan tersebut, aku jadi berpikir
bagaimana aku dan Yi Fan jika sampai menikah kelak? Apa wajah
dinginnya itu akan membuat bayi kami tertawa saat ia berusaha
menampakkan wajah konyolnya?! Aku menutup mulut dengan jemariku
menahan tawa. Apa yang baru saja kupikirkan? Bayi kami? Bahkan aku
sudah berpikiran terlalu jauh sampai aku dan Yi Fan akan memiliki
seorang bayi. Aku menarik napas, mengontrol diri sebelum orang lain
menyadari ada gadis gila di dalam kereta yang mereka tumpangi.
Perjalanan terasa sangat
singkat. Aku berjalan keluar dari Stasiun menuju Halte. Yi Fan sudah
mengimiku pesan sebelumnya bahwa ia sudah sampai dan mataku dengan
mudah menangkap sosok tinggi putih itu tengah duduk bersandar dengan
earphone putih menggantung di telinganya. Aku pasti sudah gila,
bagaimana bisa aku dulu tidak suka dengannya dan lebih memilih
mengejar Chanyeol?
Yi Fan menyadari kehadiranku
dan menoleh tersenyum kearahku. Mata kami membulat bersamaan ketika
melihat sesuatu di antara kami. Baju kami berwarna senada. Yi Fan
melepas jaket biru tuanya dan mengikatnya dipinggang sedangkan aku
tetap mempertahankan kardigan putih di tubuhku. Aku akan melepasnya
saat berada di pantai nanti.
Ia menurunkan tatapannya ke
tanganku, “Kau membawa apa?”
“Sandwich, buah, dan jus.
Kau belum sarapan, kan?.” Yi Fan tersenyum dan menarikku duduk tapi
seorang pria sudah terlebih dahulu mengambil kursi di sampingnya
tanpa rasa bersalah. Tubuhnya tambun dan berbau keringat. “Tidak
apa, aku berdiri saja. Aku sudah puas duduk di kereta.”
Untungnya, bus pun datang
ketika Yi Fan akan berdiri agar aku bisa duduk di tempatnya. Kami
hanya saling memandang dengan senyum sebelum akhirnya kami masuk ke
dalam bus dan memilih kursi yang sayangnya semuanya penuh. Kami pun
terpaksa berdiri. Bus sedikit sesak, Yi fan menggantungkan tangannya
mencari pegangan sedangkan tangan kirinya merangkul bahuku agar tidak
berdesakkan.
“Setelah puas duduk di
kereta sepertinya kau akan puas berdiri di bus.” Sindirnya sedikit
bergumam di belakangku. Aku terkekeh dan menjulurkan lidah ke
arahnya.
Setelah 15 menit perjalanan,
rem bus berdecit kencang di pemberhentian berikutnya, menyebabkan
seluruh penumpang terlonjak kedepan tak terkecuali aku yang hampir
jatuh karena hilang keseimbangan, beruntung Yi Fan menangkap
pinggangku dengan cepat. Belum sempat aku mengucapkan terimakasih Yi
Fan sudang menarik tanganku. “Ayo kita duduk, di belakang sana
kosong.” Ajaknya setelah melihat beberapa penumpang turun di Halte.
Bus sedikit lenggang
sekarang, setidaknya sudah tidak ada lagi penumpang yang berdiri. Yi
Fan membiarkanku duduk di samping jendela dan membantuku membukanya.
“Segar.” Seruku riang saat angin menerpa wajahku.
“Asalkan kau tidak
mengeluarkan tanganmu kecuali kau ingin disambar oleh kendaraan
lain.” Ucapnya mengingatkan kebiasaan burukku ketika naik
transportasi umum. “Aku haus.”
“Oh iya,” Aku
mengeluarkan jus mangga kemasan kecil dan memberikan padanya. “apa
kau juga lapar?”
“Tidak, nanti saja.”
Tolaknya halus. “Ngomong-ngomong, kau bangun jam berapa sampai
sempat menyiapkan bekal ini?”
Aku menerawang mencoba
mengingat-ingat, “Entahlah, mungkin sekitar 6 pagi.” Kataku
pelan. Yi Fan hanya membulatkan matanya meresponku. Aku mengambil
kemasan jus yang sudah kosong dari tangannya kemudian memasukkannya
ke keranjang untuk kubuang nanti.
Ia kemudian menyandarkan
kepalanya kebelakang. Aku tahu kebiasaannya jika sudah berpose
seperti itu saat tangannya terlipat di dada, ia akan mulai tidur. Aku
tahu ia baru selesai dengan shiftnya sekitar pukul 12 tadi malam dan
akan sangat keterlaluan jika aku terus mengajaknya bicara sedangkan
perjalanan menuju pantai memakan waktu kurang lebih 1,5 jam lamanya.
Maka aku memilih memandang
keluar jendela dan membiarkannya tertidur selama perjalanan. Tak lama
kurasakan tautan di antara jemariku dan memandang tangan besar telah
membelenggu disana. “Bangunkan aku kalau sudah sampai.” Ucapnya
dengan mata terpejam. Aku tersenyum dan kembali memandang keluar
jendela. Dia memang tidak bisa ditebak.
***
Kami sudah sampai dan Yi Fan
menguap lebar meregangkan otot-ototnya ketika turun dari bus. Ia
tampak segar, sedangkan aku malah lemas dan mengantuk. Angin pantai
membuatku rileks, rasanya aku bisa tidur sambil berdiri saat ini
juga.
“Ayo kita turun.” Aku
membuka mataku dan menyadari bahwa kami harus melewati puluhan anak
tangga agar bisa turun ke pasir.
“Yang benar saja.”
Protesku lesu. Yi Fan yang riang gembira karena akhirnya bisa bertemu
pantai, mulai menyusun strategi menyadari diriku tak bersemangat.
“Bagaimana kalau kita
bermain?” Serunya membuatku menautkan alis bingung. Ia mulai
menjelaskan permainan, mengajakku bermain kertas gunting batu, yang
menang turun lima langkah dan yang kalah tetap berdiri ditempat.
Siapa yang mencapai pasir terlebih dahulu, dialah pemenangnya dan
sebagai hukuman, bagi yang kalah harus menggendong yang menang sampai
ke tepi pantai. Awalnya aku protes, dia tahu betul aku lemah dalam
permainan ini, tapi Yi Fan berlaku curang dengan menuruni 5 anak
tangga terlebih dahulu. Alhasil aku panik dan mulai mengikuti
permainannya.
“Kau tertinggal jauh. Ayo
semangat. Jika sekali lagi kau kalah, kau harus menggendongku.” Ia
berseru padaku yang tertinggal 15 anak tangga jauhnya. Sial! Aku
tidak rela harus menggendong tubuhnya dipunggungku.
Beberapa orang turun yang
melewati kami terkekeh geli melihat tingkah kami. “Kertas, gunting,
ba......tu. Aaarrrrgghhh!”
Sialan. Sialan.
Sialaaannn!!! Aku kalah!!!
Yi Fan tertawa
terbahak-bahak dibawah. Ia mengangkat tangannya dan menyuruhku untuk
turun kebawah. “Ayo kemari, Baginda Ratu. Gendong Rajamu ini sampai
ke pantai.”
“Mana ada seorang Ratu
menggendong Raja?!” Aku mengerang kesal sambil menuruni sisa anak
tangga. Ide jahil segera terlintas di benakku, ketika aku sudah
sampai di hadapannya, aku segera mengambil langkah seribu dan berlari
meninggalkannya yang berteriak curang padaku. Namun secepat kilat ia
dengan mudahnya menangkap bahuku dan mengangkat satu kakinya
seolah-olah hendak naik ke punggungku. Kami tertawa seperti orang
gila, mengabaikan tatapan geli orang-orang yang melihat kami ingin
tahu.
“Dasar curang!!” Kami
tertawa sampai kehabisan napas dan memutuskan untuk berjalan hingga
ke pantai. Cuaca sangat mendukung hari ini, meskipun hari sudah
menunjukkan pukul 12 siang dan matahari tepat berada di atas kepala
namun langit tidak seterik biasanya. Kami mencari tempat berteduh di
bawah pohon dan mengeluarkan isi keranjang.
Yi Fan meneguk air yang
kuberikan padanya dan menyeka dengan punggung tangan. Kami makan
sambil memandangi pantai di depan dan nyaris menghabiskan seluruh isi
keranjang. Ternyata kami lapar. Aku menoleh kearah Yi Fan dan
menyadari sesuatu, ia sudah kembali seperti biasanya. Seminggu lalu
di kafetaria ia tampak sangat pendiam. Aku senang karena sekarang ia
justru jauh lebih banyak tertawa hari ini. Semoga aku bisa terus
membuatnya tertawa.
“Kau mau berenang?”
Tanyaku yang di balas dengan gelengan kecil. “Kenapa?”
“Berenang bukan gayaku.”
Ujarnya sok cool yang membuatku tertawa keras sekaligus mencibir.
“Kupikir kau takut air.”
Ledekku padanya. Harusnya dia bisa membalasku dengan menjawab bahwa
akulah yang takut pada air, mengingat aku pernah tenggelam saat
olahraga renang di sekolah dulu, tapi Yi Fan lebih memilih diam. “Aku
akan menjaga pakaianmu. Sana berenang. Oh iya, jangan lupa pakai
ini.” Aku membuka kardigan dan mengeluarkan sunblock
dari dalam tasku. Yi Fan memperhatikan tas tersebut tanpa berkata
apa-apa. “Sini aku bantu oleskan.”
Ia membuka kemeja biru yang
dikenakannya dan menanggalkan celana jinsnya, menyisakan boxer kuning
dengan gambar-gambar kecil spongebob yang melekat di tubuhnya. Aku
tertawa melihat pemandangan unik itu.
“Darimana kau mendapatkan
boxer itu?” Tanyaku tanpa menghentikan tawaku. “Seorang Raja
tidak mengenakan benda kekanakkan seperti itu.”
“Dari pacar yang gagal
memberikannya pada cowok lain 2 tahun lalu.” Aku makin tergelak
mendengar pengakuannya yang membawa masa lalu kami. Benar, dulu aku
ingin memberikannya pada Chanyeol karena dia sangat menyukai
Spongebob.
“Aku pikir boxer itu tidak
akan awet jika berada di tangan cowok lain.” Dalihku mencoba
menyenangkan hatinya, namun justru terdengar seperti ledekan.
“Yeah, terimakasih sudah
memberiku barang bekas yang belum sempat dipakai.” Katanya sambil
mengulurkan tangan untuk kuolesi lotion.
“Hei, aku akan memberimu
100 boxer spongebob kalau kau mau.” Ia tidak menjawab dan sibuk
mengolesi lotion ke kaki dan tubuh depannya, sedangkan aku sibuk
mengolesi punggungnya kemudian menepuknya. “Selesai.
Bersenang-senanglah.”
Yi Fan langsung berlari
kearah pantai dengan riang. Aku tertawa melihatnya berkecipuk didalam
hangatnya air. Ia berenang kesana kemari dan sesekali melambai
kearahku. Aku hanya bisa menyaksikannya bersenang-senang sendirian
sambil menikmati apel di tanganku. Setelah hampir 30 menit, ia
kembali dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyup. “Lengket.”
Keluhnya sembari menyibakkan rambutnya yang basah.
“Ayo kita cari toilet agar
kau bisa mandi.”
.
Sembari menunggu Yi Fan
membersihkan tubuhnya, aku melihat stan pakaian tak jauh dari toilet
umum. Tentu saja hal ini terpikirkan olehku begitu saja. Setelah
membelinya aku langsung kembali dan mengetuk pintu kamar mandi yang
dipakainya.
“Yi Fan, ini kuberikan
untukmu.” Teriakku dan menyodorkan bungkusan plastik ketika ia
melongokkan kepalanya di belakang pintu. Ia mengernyit bingung tanpa
berkata apa-apa dan segera menutup pintu. Tak lama ia sudah keluar
dengan pakaian lengkap.
“Apa tidak ada celana
dalam lain selain gambar spongebob?” Katanya kaku dan aku hanya
bisa menyemburkan tawaku mendengarnya.
“Apa kau lebih suka
patrick yang pink?” Godaku yang dibalas dengan gelengan keras.
Yi Fan menghela napas
pasrah. “Kuning lebih baik. Ayo kita main pasir.” Ia meraih
tanganku, mengajakku kembali ke pantai sebelum ia mengambil
keranjangku dan membawanya di tangan kanannya.
Di tengah perjalanan aku
melihat ayunan kosong dan langsung tertarik ingin menaikinya. Aku
menarik lengan kemeja Yi Fan yang langsung mengikuti arah telunjukku.
“Kita naik itu dulu.” Ia berpikir sejenak kemudian mengangguk dan
hanya bisa melihatku berlari menuju ayunan itu. “Aku sudah lama
ingin main ayunan.” Seruku riang menjejakkan kaki di pasir dan
membiarkan tubuhku mengayun pelan. Yi Fan berjalan menghampiriku dan
meraih gantungan besi ayunan tersebut. Ia membantuku mendorong hingga
aku kembali terayun. “Pukul berapa sekarang?”
Ia mengecek arlojinya,
“Setengah dua siang.”
“Apa kita akan berada di
pantai sepanjang hari?” Tanyaku tanpa menoleh padanya. Sebenarnya
yang kurasakan justru ingin lebih lama bersamanya.
“Apa kau ingin ke suatu
tempat?”
“Tidak. Aku ingin melihat
sunset.”
Yi Fan mengangguk dan kembali mendorongku. Tiba-tiba kurasakan
ayunanku ditarik terlalu jauh dan aku berteriak ketika ia
melepaskannya begitu saja. “Duizhang, jangan terlalu kencanggg.”
Aku sungguh takut ketinggian
dan ketika ayunan sudah mulai melambat aku nekat melompat hingga
lututku jatuh ke pasir. “Kau tidak apa-apa?” Yi Fan bertanya
setengah tertawa di depanku. Aku menatapnya sebal. “Ayo kita main
pasir saja.” Ia menarik tanganku hingga berdiri.
Aku melepas sandalku dan
menikmati hangatnya pasir pantai di kakiku, sementara Yi Fan
menggulung celananya hingga batas lutut. “Kapan terakhir kali kau
ke pantai?” Tanyaku saat kami sudah berada di tepi pantai.
“Kelas 5 SD.” Jawabnya
datar. Aku membelalakkan mataku dan mulai menghitung. Yi Fan yang
melihatku berpikir hanya terkekeh dan mulai mengeruk pasir. “Kau
mau kubuatkan istana?”
Aku menghentikan kegiatan
berpikirku dan bergabung dengannya. “Aku tidak yakin kau bisa
membuatkan yang bagus untukku.”
“Hei, jangan meledek
reinkarnasi Phycasso.” Katanya dan lagi-lagi ia sangat percaya diri
dengan reinkarnasi konyol itu.
Aku menahan senyumku dan
duduk dipasir tak jauh darinya. “Sebelumnya kau bilang, kau
reinkarnasi dari Leonardo Davinci. Mana yang benar?”
“Mereka berbagi raga
didiriku.” Ujarnya dan masih sibuk mengeruk pasir. Aku tergelak
mendengar penuturannya.
“Baiklah, Tuan
Phycanardo,” Aku mulai meledeknya dengan panggilan karanganku.
“mungkin setelah mereka berenkarnasi menjadi dirimu, para seniman
kanvas itu sudah beralih menjadi seniman pasir. Sekarang buatkan
istanaku. Apa yang bisa kubantu?”
“Aku butuh air, mana botol
mineral tadi?” Yi Fan membuka keranjang dan mengambil botol mineral
kosong kemudian mengisinya dengan air laut. Ia menuangkannya diatas
tumpukan pasir yang ia keruk tadi dan mulai membuat istananya.
Aku tidak ikut membuatnya
dan hanya memperhatikan wajah seriusnya yang terkadang mengulas
senyum diantara kegiatannya. Harus kukakatan bahwa pria yang dikenal
dingin ini justru manis dan sangat kekanakkan jika sudah bertemu
pantai dan pasir. Efek sinar mentari yang kini menyinari tubuhnya
membuat wajah tampannya terlihat sangat mempesona. Terlebih kemeja
biru cerah yang ia kenakan, ia tampak lebih bercahaya.
Aku kembali teringat kencan
kami setahun lalu saat merayakan hubungan setahun kami. Namsan Tower
menjadi tempat yang paling kuinginkan untuk kudatangi saat itu.
Pemandangannya luar biasa sampai aku mengabaikan dirinya yang hanya
bisa mengekor di belakangku. Kini hal itu justru berbalik kepadaku.
Yi Fan terlihat amat sangat menyukai pantai, ia tidak hanya berenang
tapi juga bermain pasir. Hanya saja ia lebih menyukai pantai saat
musim panas, udaranya hangat katanya.
“Tuan Phycarnado, kau
sebenarnya sedang membuat istana atau rumah suku eskimo?” Aku tidak
tahan untuk tidak meledek memandangi hasil karyanya yang baru
setengah jadi. Lihat saja saat tangannya menekan-nekan pasir. Ia
justru membuat karya seninya tampak cembung ke atas.
“Tidak ada ember dan
sekop, aku kesulitan membuatnya.” Balasnya tanpa mengalihkan
perhatiannya dari pasir.
“Kau hanya beralasan, sini
kubantu.” Aku mendekatkan diri dan membantunya menuangkan air
sedikit demi sedikit.
Setelah hampir satu jam
akhirnya istana pasir yang kami bangunpun jadi. Aku membuat semacam
menara dengan mengucurkan pasir basah menggunakan tanganku dan
menancapkan batang kayu sebagai sentuhan terakhir. Kami menatap hasil
karya kami dengan pandangan datar.
“Istana yang bagus.”
Kataku hambar. Yi Fan hanya memandangku menyadari aku hanya meledek
karya seninya. “Ayo kita menggambar saja.” Usulku memungut kayu
panjang tak jauh dari kami dan mendekati pasir basah di tepi pantai
kemudian menuliskan namaku disana. Hye Ri. Dan juga menuliskan
namanya. Yi Fan. lalu mengambar tanda cinta mengelilingi 2 nama
tersebut. “Bagus, bukan?”
Yi Fan tersenyum memandangi
tulisan itu, namun ombak segera menghapus tulisan tersebut sebelum
aku sempat mengabadikannya di ponsel. Yi Fan mengambil kayu di
tanganku dan menggambar dengan asal. Pada akhirnya kami hanya
menghabiskan waktu dengan mengomentari gambar-gambar kami.
“Akan kugambarkan sesuatu
untukmu.” Ucap Yi Fan padaku.
O ow. Firasatku tidak enak.
Dia boleh mengaku reinkarnasi dari para seniman terkenal itu tapi
mengingat gambarnya yang lebih buruk dari gambar seorang anak TK,
membuatku ragu dengan pernyataannya. Dan benar saja, yang tengah di
gambarnya saat ini kutebak adalah bebek.
“Kau tahu ini apa?”
Tanyanya padaku. Aku menggeleng. “Ini Unicorn.”
Aku menyembur tertawa
mengamati gambar itu. “Ini terlihat seperti bebek. Lihat, dia punya
moncong panjang.”
“Itu bukan moncong, tapi
cula, semacam tanduk.” Yi Fan menjelaskannya dengan bersemangat
sedangkan aku memegangi perutku menahan tawa. Setelah berdebat antara
moncong dan cula yang tak kunjung selesai akhirnya aku memilih duduk
di pasir kering dan mengatur napasku. Lelah. Yi Fan mendekatiku dan
duduk di sampingku. Aku melirik arlojinya yang menunjukkan waktu
lebih dari pukul 4 sore.
Waktu berjalan begitu
singkat. Kami menikmati semilir angin pantai dalam diam. Merasa
nyaman tanpa ada yang bersuara. Yi Fan mendongak ke langit menatap
layang-layang di sana. “Lihat, bukankah layang-layang itu tidak
konsisten?” Aku menoleh padanya dan menautkan alisku. “Ia meliuk
kesana kemari dan dikontrol oleh angin, tak punya arah.”
Aku tersenyum menanggapinya.
Menyadari bahwa bukan ini yang sebenarnya ingin ia katakan. “Apa
yang ingin kau bicarakan, Yi Fan?”
Yi Fan sedikit terkejut. Ia
menunduk memandangi tangannya. Setengah menimang-nimang untuk
berbicara tapi ragu, namun akhirnya ia bersuara. “Hye Ri-ya, apa
kau pernah berpikir akan kemana arah hubungan kita?”
Aku tertegun mendengar
pertanyaannya yang tiba-tiba. Tidak, kenapa ia bertanya seperti itu?
Kenapa ia mengatakan bahwa layang-layang tak memiliki arah? Kenapa
nadanya terdengar sendu di telingaku? Jangan bilang ia ingin putus
denganku? Aku tidak akan membiarkannya. Tidak di saat perayaan 2
tahun hubungan kami. Aku tidak bisa membayangkan dirinya bersama
gadis lain selain diriku.
Sebelum aku menyadari
keposesifanku, aku membuang jauh pikiran burukku itu dan mengatur
napas, lantas tersenyum padanya. “Kau tahu? Tadi pagi saat aku naik
kereta, aku melihat sepasang suami istri dengan anak bayinya. Saat
sang suami menggendong si bayi, ia menunjukkan ekspresi konyol agar
bayinya tertawa.” Aku memandang lututku kembali teringat kejadian
itu dan tersenyum saat teringat apa yang kubayangkan diantara kami.
“Aku membayangkan kita akan seperti mereka kelak.” Ungkapku
malu-malu membenarkan poniku yang tertiup angin.
Yi Fan tersenyum di
sampingku tanpa mengalihkan tatapannya dari laut. “Bagaimana kalau
ternyata salah satu dari kita pergi jauh? Dan aku mengingkari semua
janji kita?”
Aku menautkan alisku tak
suka. “Jangan bicara yang bukan-bukan Yi Fan. Kau terdengar seperti
orang yang akan meninggal esok hari. Kau akan tetap bersamaku apapun
yang terjadi.” Aku mendengus membuang muka. “Kecuali ada gadis
lain yang tengah menarik perhatianmu.” Seruku dengan nada cemburu.
Aku meraih tangannya kemudian menggenggamnya erat dan menautkan
jemari kami. “Lihat? Aku tidak bisa senyaman ini ketika memegang
tangan seorang laki-laki. Jadi jangan pergi dariku.”
Yi Fan tidak berkata
apa-apa. Aku sadar, ungkapanku terdengar begitu egois, namun aku
tidak peduli. Aku mencintainya jadi wajar jika aku ingin terus
mempertahankan hubungan kami. Ia menghela napas pelan dan justru
menyandarkan kepalanya di bahuku kemudian memejamkan mata. Haruskah
aku juga mengatakan bahwa hari ini ia terlihat sangat manja? Kami
tidak melanjutkan obrolan kami karena aku tidak suka dengan topiknya.
Meskipun aku tahu ada sesuatu yang tengah disembunyikannya dariku,
aku tidak akan memaksanya untuk berbicara. Jika ia merasa nyaman
untuk mengatakannya, aku akan mendengarkan dengan baik. Jika ia
membutuhkan pendapat dariku, aku akan berusaha mencarikan solusi
untuknya. Jadi, aku akan membiarkannya sampai ia mau bicara sendiri.
Tanpa terasa kami sudah
lebih dari satu jam berdiam diri hingga waktu menunjukkan hampir
pukul setengah 6 sore. Sampai akhirnya ketenangan kami terusik dengan
datangnya ombak yang cukup besar mencapai kaki kami. Aku berteriak
histeris dan Yi Fan seketika bangun dari posisi nyamannya di bahuku.
Aku menatap dressku yang
basah hingga ke paha dan Yi Fan hanya menatapku terkejut. lalu tawa
kami terlepas begitu saja. Ia mendekatiku dengan seringaian di
wajahnya dan aku tahu apa isi pikirannya. Aku mundur beberapa langkah
dengan tanganku yang tertahan di dada, hingga ia akhirnya meraih dan
memeluk pinggangku dari belakang kemudian mengangkatnya lalu memutar
tubuhku ke udara.
Aku berteriak sambil tertawa
sebelum akhirnya bisa melepaskan diri dan berlari menjauh darinya. Ia
mengejarku hingga kaki kami menyentuh air laut kemudian aku sengaja
menyipratkan air kearahnya. Ia kembali menangkap tanganku dan
menarikku mendekat, menghentikan kegiatanku dengan paksa. Kami
tertawa lepas merasakan sinar matahari menyinari kami dengan cahaya
jingganya.
Yi Fan berdiri di depanku
dan menyelipkan rambut ke belakang telingaku, sementara aku berdiri
dengan dada berdebar menanti apa yang akan dilakukannya padaku
selanjutnya. Ia tersenyum dan menangkup pipiku dengan kedua
tangannya, lalu mengucapkan 3 kata yang jarang sekali aku dengar
keluar dari bibirnya, “Aku mencintaimu.” Akupun meleleh seketika.
Kedua bola mata kami saling memandang lurus. Seolah mencari makna
dalam arti tatapan kami.
“Kau tahu? Kau hanya
setahun sekali mengungkapkan cinta padaku.” Kataku yang dibalas
dengan senyuman ringan. “Happy second annyversary.” Dan ciuman
lembut itu mengiringi doa kami yang terucap dari dalam hati bersama
dengan mentari yang tenggelam sempurna di ufuk barat.