Rabu, 21 Desember 2011

(Fanfic: Oneshoot) - - Memory of December - -


(Maincast: Cho Kyuhyun and The girL)   




 
* * *

Sebelum musim berlalu, bahkan sebelum waktu memudar.
Aku telah mencoba untuk menyampaikan perasaanku kepadanya.
Namun, terlambat.

Kala itu aku ragu dan tidak sadar,
Tiba-tiba saja dia sudah menjauh dariku.

Jika dia masih ada di sana,
Aku ingin memohon dan berujar 'Cintailah aku, bukan sahabatku'.


* * *

SeouL, 09 Oct, 15.43 pm  (Class Room)

Hujan lebat mengguyur kota tanpa kompromi, tak peduli bahkan manusia dibawahnya sedang membutuhkan langit cerah sekalipun, hujan tak pernah mengenal waktu.

Aku memeluk kedua lenganku, berdiri didepan jendela kelas, menatap kosong halaman kampus yang basah, dengan keluhan sama terlontar dari mahasiswa lain yang asyik bercengkrama, memandang hujan dengan tatapan jengah.

Biasanya dalam keadaan seperti ini, seseorang akan mendekat, dengan sengaja menyampirkan jaketnya dipundakku, tanpa menerima penolakan sedikitpun, kemudian ia akan menyandarkan sisi tubuhnya pada kaca jendela, tangannya bersedekap santai, menatapku dengan senyumnya yang menyebalkan.

"Belum pulang??"
Tanyanya riang. Aku berusaha keras agar tidak memutar bola mataku akan pertanyaan konyolnya, diluar hujan, dan dia bertanya 'Belum pulang?'.

"Kau sedang melihat apa??"
Tanyanya mengikuti arah pandangku. Kepalanya menunduk menyejajarkan tinggi tubuhku, mengakibatkan wajahku tersapu rambut hitamnya.

Seketika aku menjauhkan diri, aroma maskulin tubuhnya sedikit mengusik indra penciumanku, aku sudah menyatakan berkali2 bahwa aku tak pernah suka dia berusaha mendekatiku. Alasanku klise sebenarnya, karena aku memang tak suka berdekatan dengan pria.

"Hey mau kemana??"

"Pulang!!"
Sahutku.

"Diluar masih hujan, biarkan aku mengantarmu."

"Tidak perlu."
Aku melemparkan jaket yang langsung dengan sigap ditangkap olehnya, dan berlalu pergi.


* * *

Seoul, 14 Nov, 11.30 am (Foodcourt)

Aku mengaduk2 makananku tanpa minat, duduk sendirian membuatku tak berselera, biasanya jika seperti ini teman dekatku akan sangat kesal, lalu dia akan memulai ceramahnya.

"Kau tahu tidak berapa banyak rakyat miskin diluar sana yang mati kelaparan?!"
Aku hanya menatap gadis mungil didepanku tanpa mendongak, lalu berkutat lagi dengan jajangmyeon yang tak menyelerakan ini.

"Kalau kau tahu kau tak suka makanan itu, kenapa kau memesannya??"
Kegiatanku terhenti sejenak, memikirkan ada benarnya juga kenapa bisa aku memesan makanan yang tak kusukai.

Tapi, aku sendiri pun tak tahu, aku hanya memesannya, karena biasanya pria itu akan datang dan menghabiskannya untukku, namun bagiku, dia tetaplah pengganggu.


* * *

Seoul, 01 Dec, 23.30 pm (Bedroom)

Aku memandangi layar ponselku, tak ada pesan, apalagi panggilan masuk, na'as, ponselku tak lebih dari sebuah benda persegi yang menyerupai barang rongsok. Lalu jika jam segini aku belum tidur, dia akan menelponku, mengganggu seperti biasa,

"Kenapa kau mengangkat teleponku, kau belum tidur??"
Protesnya ketika sengaja kubiarkan ponselku berdering lama.

"Kau yang membuatku terbangun."
Ucapku sebal, membuatnya tertawa pelan.

"Kalo begitu maaf sudah mengganggu, aku hanya ingin bilang selamat malam."

"Jangan pernah menelponku untuk mengatakan hal tidak penting."
Namun aku berdusta, hal yang sebenarnya terjadi adalah hatiku tengah membuncah, merasa diperhatikan.


* * *

Seoul, 02 Des, 08.30 am (Class Room)

Keberadaannya membuatku terbiasa, ketidakhadirannya selama 3 bulan terakhir ini membuatku seakan memiliki beban luar biasa, ditambah lagi pengakuan teman baikku yang diluar dugaan beberapa waktu lalu. Dia berkata begini,

"Hey, aku ingin tanya sesuatu padamu."

"Apa itu??"
Jawabku tanpa mengalihkan perhatianku dari papan tulis, sibuk mencatat. 

"Kenapa kau tidak pernah menghiraukan Kyuhyun?? Dia sangat menyukaimu bukan?!"

"Tapi aku tidak."
Tandasku kala itu.

"Benarkah?? Dia pria yang sangat sempurna, baik, bertanggungjawab dan juga pintar."


"Lalu??"

"Apalagi yang kau ragukan??"


"Tidak ada, aku memang tidak tertarik dengannya."


"Emmmm....Kalau kau tidak keberatan aku ingin mendekatinya."
Ungkapnya jujur, dan entah mengapa ada rasa tak rela menyusup dalam relung hatiku, menyadarkanku pada perasaan aneh yang menjalar secara tiba2.

Aku mengangkat bahu.


"Dekati saja."
Ucapku datar. Dan saat itulah, aku menyesal telah menyetujuinya.


* * *

Seoul, 13 Dec, 20.00 pm. (Halte Bus)

Memoriku kembali terbang pada ingatan beberapa pekan lalu, ia selalu mengantarku pulang, walau dengan sedikit pemaksaan tentu saja. Aku jauh lebih senang pulang naik bus daripada diantar olehnya, dia suka memulai pembicaraan yang tidak penting, sedangkan aku sangat menyukai ketenangan.


"Sudah sampai, ayo bangun tuan putri."
Aku meregangkan tanganku, tanpa sadar tertidur selama perjalan. Aku membuka pintu mobil begitu saja tanpa ucapan terimakasih, sebelum kakiku melangkah keluar, ia buru2 menahan lenganku.

"Hey, maukah kau jadi pacarku??"
Ucapnya tiba2, tidak terlalu terkejut dengan pernyataanya.

Aku mendengus menyeringai, alih2 pergi meninggalkannya, aku justru menyandarkan kepalaku kembali pada jok penumpang. Lama tak ada respon dariku, ia kembali berujar,

"Aku heran hatimu terbuat dari apa sih?? Keras bagai batu antrasit, padahal sudah kutetesi dengan air setiap hari, tetap saja tidak ada celah."


"Aku tidak pernah memintamu melakukannya untukku."
Sahutku ringan. Ia menarik nafas, lalu menghembuskannya secara pelan, mengetuk2kan jari telunjuknya pada stir, tampak berpikir.


"Boleh kutanya sesuatu?? Apa kau pernah disakiti pria, makanya kau jadi dingin seperti ini??"
Pertanyaannya membuatku gamang. Aku menatap kosong jalanan remang diluar, sedikit menimbang2 untuk menjawab.


"Entahlah... aku hanya merasa semua laki2 sama saja, tak ada yang tulus."


"Lalu, bagaimana caranya agar kau tahu bahwa aku benar2 menyukaimu??"
Tanyanya sendu, aku menoleh kearahnya, tersenyum dan menggeleng tak tahu.


Namun, bukan Kyuhyun namanya jika membiarkan pertanyaannya menggantung. Ia memajukan badannya secara tiba2, membuatku terkesiap, jarak wajah kami hanya tinggal 2 senti, detik berikutnya aku sudah tahu apa yang akan terjadi, bibirnya menekan lembut bibirku. Tak ada penolakan, maupun balasan dariku, aku hanya diam, ia pun tak berusaha bermain, hanya berulang kali mengecupnya.


"Masuklah, sudah malam. Maaf, besok aku tak bisa menjemputmu."
Ia berkata datar. Aku sedikit tertegun, terasa ada yang sesak dihatiku

Dengan sedikit jengkel, aku menjeblak dan menutup pintu mobil dengan kasar, bahkan belum sampai aku meraih pintu pagar, ia sudah melajukan mobilnya dengan laju kesetanan.

Refleks kusentuh bibirku dengan punggung tangan. 'Apa2an tadi??'


Keesokan harinya setelah insiden malam itu, aku sama sekali tak penah melihatnya dikampus, hari2 berikutnya pun ia tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya.

Aku bahkan jarang tegur sapa dengan temanku, terakhir kami mengobrol sejak ia meminta ijin mendekati pria itu. Semuanya mulai terasa berbeda dan sedikit kaku.




* * *

Seoul, 15 Dec, 09.03 pm. (College)

Rasa rindu ini menjalar bagai akar, mengusik tiap inci gerakanku. Entah sejak kapan sosoknya mulai membuatku merasa terisi, hingga aku sepenuhnya sadar bahwa hatiku terasa lain tanpanya.

Aku merindukan tawa riangnya, senyum hangatnya, segala bentuk perhatiannya, semua hanya tercurah untukku.

Hanya satu pertanyaanku, kemana sebenarnya dia??

Sayang, sedikitpun aku tak pernah punya pikiran untuk bertanya kepada yang lain.

* * *

Seoul, 17 Dec, 09.03 pm. (College)

Baru 2 hari yang lalu aku mengeluh rindu, kini Tuhan menjawab do'aku. Nafasku nyaris berhenti ketika melihatnya keluar dari ruang dekan, 'Ia kembali, ia masih disini', desahku kala itu, bahagia luar biasa.

Namun ada yang berbeda dari sikapnya, ia sedikit terkejut sewaktu melihatku, lalu segera berbalik dan melenggang begitu saja kearah berlawanan.

Sebisa mungkin kutahan perasaan ingin mengejarnya, maka yang kulakukan hanya berdiri mematung melihat punggungnya semakin menjauh, kutelan bulat2 rasa penasaran akan ketidakberadaannya selama 3 bulan terakhir ini. Melihat sikapnya barusan saja sudah membuatku muak, toh selama ini aku mampu bertahan tanpanya, aku mampu menekan kuat rasa rindu, selama itu pula aku selalu baik2 saja.

Aku menghela nafas, berjalan menuju kelas dengan langkah mantap.

* * *

Seoul, 19 Dec, 12.30 pm (Foodcourt)

Ada pemandangan yang mengusikku siang ini, aku tahu temanku tak pernah main2 dengan ucapannya, ia benar2 mendekati pria itu, bahkan mereka terlihat begitu akrab jalan bersama, melewatiku begitu saja yang sibuk dengan makalah diatas meja.

Aku bukannya sibuk, tapi aku hanya berusaha agar tidak terus2an melihat kearah mereka.


Dadaku bergemuruh tanpa sebab, rasa cemburu berkobar tanpa kompromi, menimbulkan sisa kebencian yang mendalam, tak rela jika perhatiannya kini teralihkan.

Tiba2 aku menjadi sangat protektif, aku sadar sesadar2nya bahwa ada sesuatu yang lain terjadi pada otakku, aku tak mau ada wanita lain di kehidupannya, bahkan jika sekalipun wanita itu adalah temanku, aku hanya ingin ia memperhatikan satu objek saja. Aku.

* * *

Seoul, 22 Dec, 14.51 pm. (Classroom)

Hujan lagi2 mengguyur kota, aku sudah tidak tahan lagi, aku jengah melihat kemesraan mereka terlalu dibuat2, bahkan didalam kelas, mereka masih sempat2nya terkikik saling berbisik, menggelikan.

Entah setan apa yang merasukiku, aku merangsek melepaskan rangkulannya pada si wanita, mengalihkan perhatian teman2 sekelas untuk fokus pada drama baru yang tengah dimulai.

Aku menariknya kasar, ia mengikutiku dengan raut kebingungan, namun tiba2 tarikanku tertahan, aku berbalik, wanita yang sempat menjadi temanku itulah pelakunya.

"Kau belum meminta ijin padaku untuk membawanya."
Ucapnya angkuh padaku.

"Memangnya kau siapanya??"
Balasku menantang.

Ia menatapku tajam, lalu mengalihkan tatapannya pada pria yang tengah kami perebutkan demi meminta dukungan.

"Tak apa, aku segera kembali."
Ucapnya pelan, aku tersenyum penuh kemenangan, menyeretnya mengikuti langkahku menuju ruang kesehatan, tak mungkin aku membawanya ke atap gedung, diluar hujan deras, lagi pula yang kuketahui jam segini dokter kampus pasti sudah pulang.

Sesampainya, aku langsung menutup pintu, lalu berbalik menatapnya tajam, penuh emosi, sarat akan kecemburuan.

"Kenapa?? Kenapa harus temanku hah??"
Aku tidak membentak, hanya sedikit menekan kata 'Hah' pada pertanyaanku. Ia tidak menyahut, justru berjalan kemeja dan duduk disana, memainkan berkas tanpa minat.

"Aku bertanya padamu!!!"

"Memangnya hal ini penting untukmu?? Toh kau bukan siapa2ku."
Jawabnya datar, namun kalimatnya sukses menghujam ulu hatiku.

"Bukan siapa2mu kau bilang?? Lalu untuk apa selama ini kau berikan perhatianmu padaku?? Lalu apa yang ada dipikiranmu tempo hari saat kau menciumku, kau mempermainkanku brengsek!!"

"Siapa yang mempermainkan siapa?? Untuk apa aku selalu berada didekat gadis yang tak pernah menganggapku ada?!"
Sahutnya sengit, membuatku menyadari sesuatu dan mengangguk2 mengerti.

"Jadi begitu, kalau kau ingin tahu jawaban dari pertanyaanmu kenapa aku tak pernah membuka hati untuk laki2, kau sudah mengetahui jawabannya sekarang. Semua laki2 itu brengsek, kemarin2 ia membumbung tinggi hati seorang gadis, kini saat gadis itu sudah benar2 jatuh cinta padanya, ia hempas begitu saja tanpa ampun."
Teriakku berang, membludak emosiku yang selama ini kutahan.

Ia sedikit tercengang, menatapku takjub, terdiam sepersekian detik tampak mencerna, lalu terbata ia berkata,

"Kau....mencintaiku??"
Tanyanya memastikan, matanya membulat sempurna.

"Aku...Tidak."
Aku tergagap, mataku mengerjap cepat saat menyadari bahwa aku baru saja kelepasan bicara.

"Kau mencintaiku, aku tahu."
Ujarnya penuh kemenangan, menarik jemariku, menuntunku mendekat kearahnya, ia masih duduk dimeja.

"Iya kan?? Tak usah mengelak, aku bisa membaca jelas dari matamu."
Ucapnya lagi, semakin menggodaku. Kini jari2nya terpaut memenuhi jemariku, jantungku bertalu2 menerima sentuhannya, tubuh kami sejajar sempurna. Aku masih diam, ia kembali berkata,

"Apa sulitnya sih mengatakan iya, jika kau masih malu mengatakan bahwa kau mencintaiku?!"

"Aku tidak mau mengakui perasaanku pada pria yang sudah menjadi milik orang lain."
Seruku tak sudi menatap wajahnya.

Ia terkekeh pelan, meraup wajahku untuk menatapnya, tanpa sadar aku berujar dalam hati, betapa aku sangat merindukan senyum pria ini, juga rindu akan keberadaannya.

"Tidakkah kau berpikir bahwa hubungan kami sedikit ganjal?? Kami mengerjaimu asal kau tahu."
Akunya ringan, membuatku mengernyit tak mengerti.

"Maksudmu??"
Ia tersenyum penuh arti, lalu mengecup pipiku lembut.

"Selamat ulangtahun."
Aku melongo, wajahku sukses memanas, aku bahkan tak ingat sama sekali bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku.

Belum berhenti rasa terkejutku, saat itu pula pintu ruang kesehatan terbuka lebar, berdesakan teman2 sekelas merangsek masuk menyoraki kami, detik berikutnya mereka menyanyikan lagu selamat ulangtahun beserta datangnya seorang gadis membawakan kue dengan lilin menyala diatasnya.

Aku yakin, ini sudah direncanakan dengan matang.

Gadis itu tertawa lebar, menyuruhku untuk ber'make a wish' sebelum meniup lilin, aku melirik pria disebelahku yang kini tengah tertawa puas, dengan sedikit mengerang akhirnya aku menurut juga. Iseng ia mencolek cream ke wajahku, tak terima aku balas mencolek cream kewajahnya, teman2 lain tak tinggal diam dan terjadilah perang cream disana, tawa riuh membahana diruang itu.

Gadis itu menyeretku kearah jendela, menjauh dari kericuhan. Kyuhyun mengikuti.

"Maafkan aku ya, aku tidak bermaksud merebut Kyuhyun darimu, dia bersikeras hanya ingin denganmu saja, sedangkan kau sulit sekali didekati, aku jadi tidak tega padanya, maka dari itu tercetuslah ide ini hehehe, aku sampai harus menahan diri tidak menyapamu selama 3 bulan ini, benar2 menyiksa."
Aku manyun, menyenggol rusuk pria disebelahku sampai meringis.

"Kalian benar2 kurang kerjaan."

"Kalau tidak begini, kau takkan pernah mau mengakui perasaanmu bukan?!"
Kyuhyun menyahut.

"Bagaimana kalau tidak??"

"Hey, semua bahkan bisa melihat jelas rasa cemburu dimatamu ketika melihat kami."

"Lalu kemana saja kau 3 bulan ini??"

"Dikampus, hanya saja aku selalu ikut jam matakuliah kelas lain, sengaja menghindarimu."

"Kau benar2 licik, dasar evil."
Umpatku kesal, namun tak berlangsung lama, karena tangan besar itu perlahan meraih kepalaku, membenamkan didadanya, ia menempelkan bibirnya dirambutku. Ruangan yang tadinya ricuh seakan mengalami sepi mendadak, teman2 lebih memilih fokus pada drama yang akan segera usai ini.

"Aku ingin bertanya sekali lagi kepadamu, maukah kau jadi pacarku??"
Suaranya terdengar kaku, serak ia mengatakan, nadanya tampak gugup, bisa kudengar degup jantungnya berdetak tak terkendali. Ia tidak main2.

Semua menunggu, terlebih pria ini, yang semakin menekan kuat kepalaku, menghirup udara dipuncaknya dengan nafas tertahan.

Sekali anggukan mengartikan segalanya, semua bersorak. Aku resmi menerimanya, ia tertawa lega, merasa bahwa perjuangannya tidak sia2.

Aku pun demikian, bersyukur masih diberi kesempatan untuk menyadari perasaanku, bahkan belum terlambat mengakuinya.

Salju dibulan desember turun dengan indahnya, menutup akhir dari musim penghujan yang lama melanda kota, bersiap memasuki awal tahun yang menyenangkan. Aku tersenyum lebar, kembali bersyukur dalam hati, karena memiliki teman2 seperti mereka yang begitu peduli. Sungguh kejutan ulang tahun yang sangat manis.


The End


Uwaaaaa selesai sudah, entah mengapa saya suka sekali dengan FF yang satu ini, simple sebenarnya, namun ada pesan bahwa kita tidak boleh menyia2kan seseorang yang pada dasarnya sayang sama kita.

Cerita ini khusus dibuat untuk peringatan hari uLtah saya tgl 22 nanti, memutar otak dengan sangat keras bagaimana caranya bisa dapat kejutan ulangtahun dari pria satu itu kekekeke

Hahhhh saya merasa semakin tua saja hukz hakz, tapi tak apa, ide saya akan terus mengalir meski usia semakin bertambah.

Sampai jumpa dikarya selanjutnyaaaaa..... 

Sabtu, 17 Desember 2011

(Note: Sharing) - - Sepenggal Surat Cinta Untuk Ibu - -



 Ibu, Selamat Ulang Tahun


  

 * * *

Tepat pukul 00.00 Am.
Hari ini adalah hari ulang tahunmu Ibu,
Kini usiamu genap 43 tahun,
Bukan usia yang muda lagi untuk mendidik anak2 sebandel kami bertiga.




Ibu,
Aku si sulung mewakili,

Tak terasa aku telah meninggalkan rumah semenjak usia belia,
Kau tidak dapat merasakan aku tumbuh hingga kini aku telah dewasa,
Tapi tak apa, bersyukur karena masih ada mereka berdua yang kini semakin tumbuh,
Membuat keramaian dirumah setiap hari.

Aku mencintaimu Ibu, sangat,
Kau mendidik kami dengan kesabaran ekstra, penuh kasih sayang,
Mengajari banyak hal tentang hidup, juga semangat,
Walaupun kami selalu membuatmu kesal dan sedih,
Terlebih aku, si sulung, yang tak pernah tahu diri,
Selalu membuatmu menangis karenaku.

Tak tahukah Ibu, bahwa kau sangat cantik ketika tersenyum??
Iya, kau sangat cantik, siapa diantara kami menurutmu yang memiliki turunan dari paras cantikmu?? :-)



Maafkan aku Ibu,
Aku belum dapat membahagiakanmu dengan membawa kesuksesan atas didikanmu,
Aku tak sepintar si bungsu, dan semangatku tak pernah setinggi si nomor 2,
Aku bukan si sulung yang baik, yang pantas dijadikan panutan,
Kau pasti akan memarahiku jika aku mengatakan hal ini,
Aku merasa, aku telah gagal.



Maafkan aku Ibu,
Aku belum sempat memberikan gaji pertama dari hasil keringatku,
Aku bahkan belum pernah secara resmi mengenalkan seseorang spesial kepadamu,

Untuk yang satu ini aku ragu Ibu,
Kau tak pernah memulai membicarakannya, begitu pula aku,
Bukan aku tak mau, karena memang belum ada yang benar2 pas untukku,
Bersabarlah...

Sekali lagi, maafkan aku Ibu,
Karena aku masih teronggok dalam situasi yang tidak akan pernah membuatku tumbuh maju saat ini,
Tapi jangan khawatir Ibu, hal itu takkan berlangsung lama,
Aku tengah berusaha disini,
Berusaha untuk bangkit demi melihatmu tersenyum bangga.

Aku mencintaimu Ibu, sangat,
Aku rindu belaian tanganmu dipuncak kepalaku,
Aku rindu pelukan eratmu yang menentramkan hatiku bagai sihir,
Aku rindu usapan tanganmu dipunggungku,
Aku rindu,
Aku sadar bahwa aku terlalu lama hidup sendiri, jauh darimu.

Aku mencintaimu Ibu, sungguh,
Suatu saat nanti, dan sebentar lagi,
Meski dalam hati, ijinkan aku,
Ijinkan kami berjanji untuk kesekian kali,
Aku akan berjuang dan membuatmu bangga padaku, pada kami.

Selamat ulang tahun Ibu,
Dihari jadimu ini,
Aku si sulung, mewakili kami bertiga,
Senantiasa memanjatkan do'a,
Agar kau diberi kesehatan dan panjang umur olehNya, berkah rizki yang halal,
Semakin menyayangi kami dengan segala kekurangannya,
Dan kecantikanmu takkan pernah memudar meski usia semakin merenggut tiap tahunnya,

Untuk kesekian kali, maafkan aku Ibu,
Aku belum pernah memberikan sebuah benda kecil berbentuk kubus bernama kado kepadamu,
Hanya lewat tulisan,
Perantara aku bisa mencurahkan rasa sayang kepadamu.

Terimakasih Ibu, karena kau, kami ada,

Selamat ulangtahun.............
Selamat menjelang Hari Ibu,
Love u............


Big Love,


Si Sulung (ELLiez)

Kamis, 15 Desember 2011

(Fanfic: Oneshoot) - - My Obsession - -



(Maincast: Cho Kyuhyun and The girL is Rei)    

* * *

* * *
.
.
.
Disetiap deru sengal nafasku, perasaan luar biasa ini semakin tak tertahankan.

Dia berdiri nyata, membuat hatiku membuncah memenuhi rongga dada, oksigen terasa menghimpit paru-paru, menyekat kerongkonganku.

Pikiran warasku nyaris mati seketika, macet total, hasrat untuk memiliki ini terlalu berlebihan, obsesi yang tak terkendali.

Dan tangan inilah yang pada akhirnya akan bekerja, tanpa sadar, tanpa kompromi.

Membuat sebuah pilihan, antara hidup dan mati.

* * *

Aku diam, sementara ribuan remaja sebaya berteriak memenuhi stadion. Alunan lagu berirama bits itu menggebrak gendang telingaku. Mereka melakukan performance dengan sempurna.

Namun, aku tak suka lagu ini. Lagu untuk comebackstage mereka. Terlebih aku tak suka ketika ribuan penonton lainnya turut bernyanyi menyenandungkan lagu begitu semangatnya.

Dengan kaki gemetar, aku mengepalkan tanganku. Menahan diri untuk tidak menyumpal mulut mereka satu per satu. Berada di barisan VVIP seharusnya membuatku merasa sangat beruntung, bahkan kini posisiku tepat dibawah bibir panggung. Mengingat pamanku adalah pimpinan dari event organizer di Osaka, penyelenggara tiap konser yang mendatangkan artis luar negeri. Aku jadi tidak perlu khawatir kehabisan tiket dideretan terbaik.

Kali ini paman benar2 mengabulkan permintaanku. Mendatangkan Super Junior ke Osaka bukanlah suatu hal yang sulit baginya. Perusahaan SMent sendiri mengarahkan pasar sasaran mereka selanjutnya ke Jepang, maka dengan senang hati perusahaan tersebut menerima undangan untuk mengadakan konser di Negeri sakura ini.

Ketika kulihat sang leader mulai mendekati bibir panggung. Aku terkesiap. Mereka sudah menyelesaikan sebanyak 12 lagu. Mata sang leader menjelajah kepala-kepala dibawahnya, senyum mengembang tanpa henti, penuh rasa bangga.

Ia mulai  menekuk kakinya dan duduk dibibir panggung dengan kaki menggelantung. Aku menahan nafas, takut kalau2 tangan ganas ELF menarik kakinya. Jika saja tidak bedesakkan, akulah yang pasti sudah menariknya turun. Namun, aku justru diam tanpa gerak, tanpa senyum, tanpa rona bahagia, ketika semua remaja berebut menjabat tangannya, hanya aku yang tidak.

Hatiku sakit, merasa tak rela.

Aku mengalihkan pandanganku dari sang leader, ketika mataku kembali fokus pada siluet wajah seseorang yang kujadikan pusat pengalihanku. Cho Kyuhyun, sang magnae. Pria tampan yang berhasil membuatku gila, pria yang membuatku sempat terkurung selama 3 bulan dalam panti rehabilitasi gangguan jiwa, pria yang tak punya tanggungjawab, dan justru semakin menebarkan pesona keseluruh penjuru dunia. Aku benar-benar gila karena aku menyukainya.

Tidak. Aku tidak gila, tapi aku hanya sedikit tidak beres. Setan manusia itu memperdayaku, memperalatku dengan pesona palsunya, menjeratku dengan suara emasnya, menikamku dengan senyum mautnya. Jangan salahkan aku karena selamanya aku akan tetap memvonisnya sebagai tersangka utama aku jadi begini, membuatku mengambang ketika dia menarikku ke derasnya arus, hanyut pada cintanya yang terbagi untuk ribuan gadis.

Suara teriakan penonton membahana menyadarkan lamunanku ketika sang leader mengucapkan salam perpisahan dan terimakasih. Alunan lagu Memories perlahan terlantun, suara Kyuhyun mengawali. Kepalaku berdenyut seketika, melodinya mencabik hatiku.

Merasa tidak tahan, aku menerobos kerumunan, hatiku bisa hancur jika terus mendengarkan lagu ini. Kakiku menapaki 3 anak tangga, meminta pada penjaga agar membukakan pintu pagar yang hanya setinggi 1 meter. Aku berjalan lurus melewati tribun pertama. Stadion minim cahaya, hanya panggung saja yang tersorot lampu ribuan watt. Lautan biru mengangkasa di barisan penonton dengan stik yang terlihat seperti melayang maju mundur. Puluhan tribun terisi penuh oleh ribuan ELF. Aku memandang kebawah, kearah tanganku, dengan stik masih menyala terang disana.

Lagu memasuki reff pertama, tepat ketika aku menemukan pintu darurat dibawah panggung, tertutup tirai hitam yang langsung tembus ke backstage. Aku melewati beberapa pekerja panggung disana. Paman selalu menyuruhku untuk selalu keluar lewat pintu ini agar tidak berdesak-desakkan.

Belok kiri, berjalan 5 langkah terdapat pintu geser. Disinilah masing-masing sisi koridor terdapat ruang tunggu tempat para artis bernaung, menunggu giliran mereka manggung, bahkan aku sempat bertemu dengan salah satu personel boyband 'Arashi - Jun Matsumoto'. Dia terlihat tampan dengan kacamata hitamnya, namun tak sedikitpun dapat mengalahkan ketampanan Cho Kyuhyun.

Aku membungkuk menyapanya, yang dibalas dengan bungkukan tak kalah ramah. Biar bagaimanapun kami berasal dari negara yang sama. Ia tengah promosi solo single, dan termasuk salah satu artis pembuka untuk acara konser Suju di Osaka.

Langkahku terhenti ketika nama Super Junior tertempel didaun pintu bernomorkan 13.  Rasa haru menyeruak menyadari posisiku tepat berada didepan kamar ganti mereka. Bersamaan dengan itu, ponselku bergetar hebat di dalam tasku. Dari paman, beliau menyuruhku agar langsung menemuinya ke private room, lantai 2. Tanpa basa-basi kulangkahkan kakiku kesana.

Sesampainya disana, seorang penjaga membukakan pintu dan membungkuk hormat ketika aku memasuki kamar tersebut.

"Oji-san." (Paman)
Panggilku dengan nada riang, paman yang tengah berbincang dengan seseorang kemudian menoleh. Aku mengenal pria itu, tubuhnya tinggi atletis, dengan pakaian khasnya berupa stelan jas dan kemeja putih tanpa dasi, umurnya berkisar 30 tahunan. Ia yang selalu di elu-elukan ELF akhir2 ini. Prince manager, Kim Jung Hoon.

"Konnichiwa, watashi wa Rei desu." (Halo, nama saya Rei)
Ucapku memperkenalkan diri, membungkuk sesuai tradisi. Ia berdiri dan balas membungkuk. Kemudian terjadi lagi obrolan kecil antara paman dan manajer yang tak begitu kupedulikan, meski aku mengerti karena mereka menggunakan bahasa inggris.

"Kau benar-benar tak mau ditemani translator??"
Tanya paman memegang pundakku. Aku menggeleng, memberikan senyum termanisku.

"Tidak perlu paman, Ibu mengundang seorang Sensei untuk memberikanku les dirumah, kurasa aku sudah siap. Aku hanya ingin berbincang dengannya. Sepuluh menit paling lama."
Paman tersenyum, mengamati penampilanku. Dress putih gading tanpa lengan yang mengekspos tubuh kurusku dengan panjang sebatas lutut, tas kecil hitam berenda menghiasi lengan kiriku.

"Kau sangat cantik dengan penampilanmu hari ini."

"Arigato Oji-san."

"Paman sangat mempercayaimu, Rei. Jangan berbuat yang tidak-tidak. Ingat pesan paman."
Pria paruh baya ini kembali mencoba mengingatkanku. Paman tahu betul kondisi psikisku. Jika waktu itu aku tak mengancamnya akan bunuh diri, beliau pasti sudah menolak mentah2 keinginanku satu ini.

"Aku berjanji, Paman. Demi kepercayaan perusahaan, aku akan membuatnya keluar dari ruangan ini tanpa kurang satu apapun."
Ucapku sedikit bercanda, paman tertawa, sang manajer hanya tersenyum, tak mengerti dengan apa yang kami bicarakan dengan logat Osaka yang sangat kental.

“Sepuluh menit?!”

“Sepuluh menit.”
Balasku memberi penekanan. Setelah merasa yakin, paman menepuk pundakku sebelum akhirnya mereka meninggalkanku sendiri di ruangan, begitu pula dengan penjaga didepan pintu.


Pandanganku menyapu ruangan. Stadion ini berisi 4 jenis private room, ruang pertama untuk rapat antar direksi dan artis. Ruang kedua untuk para artis serta kru untuk menikmati sajian makanan lezat. Ruang ketiga untuk jumpa pers juga fanmeeting, dan ruang terakhir adalah yang sedang ku tempati saat ini, sengaja disediakan apabila ada fans yang meminta untuk mendapatkan wawancara ataupun sekedar mengobrol secara pribadi dengan sang idola.



Aku tersenyum. Kembali merasa bahwa akulah gadis paling beruntung didunia. Memiliki paman yang sangat menyayangiku bagai anak kandungnya sendiri. Ayah sudah lama bercerai dengan ibu, sedangkan paman tak memiliki anak perempuan. Tak sulit meminta apapun padanya, aku hanya cukup menjadi anak baik saja, maka semua akan terpenuhi. Kecuali untuk permintaanku yang satu ini. Aku harus mengerahkan seluruh tenagaku agar paman mengabulkannya.


Aku mengamati interior yang didesign sangat artistik di ruangan ini. Jauh dari kesan Jepang, bahkan nyaris terbilang seperti ruang baca bergaya Eropa. Banyak vas dengan bunga-bunga mahal menghiasi tiap sudut ruang dan meja, lampu cantik dengan hiasan 4 kristal menggantung megah dilangit-langit kamar yang berdindingkan jendela dengan tirai lebar, serta permadani indah kedap suara yang dipesan langsung dari Dubai. Benar-benar ruangan sempurna.


Tak lama, pintu terbuka pelan, membuatku seketika menoleh, dan saat itu juga tiba-tiba saja seperti ada bogem mentah menohok tepat dijantungku. Kembali rasa itu datang lagi, membuncah, dengan degup tak terkendali, berharap seseorang yang kuinginkan muncul dibaliknya.
                                                         

Seseorang itu memasuki ruangan. Tubuh itu tinggi kurus tanpa otot yang menonjol, tidak seperti manager dan kawan-kawannya diatas panggung tadi. Dia masih menggunakan kostum panggungnya, kesan simple terlihat jelas pada penampilannya untuk tema konser malam ini, kemeja kuning cerah yang dibalut dengan jas biru laut, jeans krem memenuhi kaki jenjangnya yang beralaskan sepatu semi boot, rambut semi brownnya menjuntai lurus menyamping menutupi kening. Lihatlah ia, luar biasa tampan bukan?!

Aku berdiri dengan nafas tertahan, sementara ia semakin melangkah mendekat, tersenyum sangat ramah kepadaku.

Apakah ini mimpi?? Aku yakin pamanku telah membayar jutaan won hanya untuk sebuah senyum tunggal itu. Ia bahkan lebih mempesona daripada saat aku menatapnya di MV koleksiku, ia bahkan lebih memukau daripada saat ia bernyanyi diatas panggung, ia justru lebih memikat daripada ia harus menampakkan senyum evilnya. Sudah jelas sekarang, aku tertawan kembali.

Ia berhenti tepat dihadapanku, tersenyum menampakkan deretan giginya yang rapi, lalu membungkuk memberi salam.

"Annyeonghaseyo, Cho Kyuhyun imnida."
Sapanya ramah memperkenalkan diri. Aku memejamkan mata, merekamnya dalam ingatanku. Suara itu, terdengar lembut bagai beludru. Mulutku terbuka hendak membalasnya, namun apa daya, kendali otakku tak bisa sejalan dengan keinginanku.

"Op...pa."
Ucapku dengan suara tercekat, bahkan airmataku mengalir begitu saja. Ia tersenyum heran.

Kupikir, dapat bertemu dengannya adalah hal yang mustahil, bertemu dengannya hanyalah sebuah harapan semu. Tetapi mukjizat itu datang. Kini kami tengah menghirup udara yang sama, menginjakkan kaki ditempat yang sama, berdiri satu atap, saling berhadapan.

Sejurus kemudian tanpa aba2, aku langsung menubruk tubuh kurus itu, memeluknya kuat2, sebisaku menahannya tetap dialam nyata, sebisaku aku tidak lagi terjerumus dalam khayalan semata. Aku mengaitkan tanganku dipunggungnya, membelit jemariku di kedua lenganku, menempelkan tubuhnya ketubuhku agar dapat kuingat dengan jelas tiap lekuk tulangnya.

Aku yakin, Kyuhyun terpaku menerima perlakuan yang sangat tiba2 oleh gadis yang tak dikenalnya, yang diketahuinya hanya sebagai fansnya, bahkan gadis didepannya sampai terisak tanpa henti. Ia pasti bingung tak tahu harus berbuat apa, meskipun ia tidak membalas, ia juga tidak berusaha melepaskan pelukanku.

"Op..paa, saranghae."
Isakku di dadanya.

"Aa...ne...nado."
Jawabnya pelan, merasa bahwa ia wajib mengatakan hal yang ingin didengar fansnya.

"BOHONG!!!"
Teriakku tiba2. Kyuhyun terkejut. Aku yakin, tak pernah ada fans yang berani membentaknya langsung seperti ini.

"Kumohon jangan menyiksaku oppa." Isakku tanpa melepaskan pelukan. "Kumohon jangan......mencintai mereka."
Ucapku lagi semakin tersedu. Aku dapat membayangkan wajah Kyuhyun yang kebingungan. Ia pasti tak menyangka fans yang dimaksudkan manajer justru fans fanatiknya, karena ia paling kesulitan menghadapi fans emosional sepertiku.

Kami terdiam, 2 menit yang terbuang sia-sia.

"Rei..."
Panggilnya ragu. Aku sedikit terkejut, mencari-cari kemungkinan bagaimana bisa ia mengetahui namaku. Namun, kuputuskan bahwa mungkin managernyalah yang memberitahunya beberapa saat sebelum bertemu denganku. Aku mendongak menatapnya, masih terlena.

"Panggil aku sekali lagi oppa."
Pintaku sendu. Kyuhyun mencoba tersenyum.

"Aku akan memanggilmu sebanyak kau menginginkannya."
Ucapnya setengah berbisik, membuatku bahagia luar biasa. Aku menyandarkan kepalaku kembali kedadanya, menghirup udara disana. Wangi.

"Aku mencintaimu oppa, sungguh, tak tahukah kau karenamu aku hampir terdaftar sebagai pasien rumah sakit jiwa?? Aku bahkan sudah divonis memiliki kelainan terhadap halusinasi, dan menjalani masa percobaan dipanti rehabilitasi selama 3 bulan, selama hampir 3 tahun aku hanya membayangkan sosokmu berada disampingku oppa, memelukmu erat seperti ini."
Ucapku dramatis, mengadu semua hal yang telah terjadi padaku.

"Begitukah?? Maaf....."

Aku menggeleng kuat-kuat. "Jangan!!! Jangan minta maaf, oppa. Aku hanya ingin bertemu denganmu dan bilang bahwa aku sangat mencintaimu, itu saja. Aku ingin hanya kau yang mendengarnya. Aku ingin hanya aku yang mengatakannya padamu, tanpa gangguan suara bising penggemarmu yang lain, itu saja. Maafkan aku......"
Lagi-lagi aku terisak, entah mengapa, mungkin karena sebentar lagi waktuku untuk memeluknya akan segera berakhir.

Kyuhyun mengangkat wajahku, menunduk mengusap airmataku dengan ibu jarinya, sentuhannya begitu terasa lembut dipipiku. Ini kesempatanku untuk menjelajahi wajahnya, menghafal tiap teksturnya dengan seksama.

Senyum tulus terkembang disana. Mengejutkan, karena senyum itu tidak terlihat seperti senyum kamera, juga bukan senyum yang biasa diberikannya pada ribuan gadis itu, maupun senyum bayaran jutaan won dari pamanku.

Senyum itu, seolah mencoba mengerti keadaanku.

"Kau mau mendengarkanku Rei?!"

"Apapun oppa, katakan padaku."
Desakku tak sabar.

"Tidak banyak, aku hanya ingin mengatakannya sebagai laki2 biasa, bukan sebagai seorang idola. Apa kau masih mau mendengarku??"
Aku mengangguk ragu, masih menatapnya dengan tatapan tak mengerti, tatapanku menghujam kedalam manik matanya, meminta penjelasan.

Kyuhyun melanjutkan, "Hiduplah dengan baik Rei, kau masih muda, masa depanmu masih panjang, cintailah pria yang nyata, jangan terobsesi seperti ini, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."

Aku mundur selangkah, "Aku tidak bisa oppa. Aku mencintaimu dan kau nyata." Dalihku, dan sejenak Kyuhyun kehilangan kata-katanya.

Kulihat Kyuhyun sedikit berpikir, kembali mencari kalimat yang lebih tepat untuk diutarakan, “Kau harus menemukan sosok pria yang mencintaimu, Rei. Kau boleh mencintaiku, tapi melihat gadis yang mencintaiku hidup dengan menghukum dirinya sendiri demi aku, membuatku semakin mirip dengan seorang penjahat.”
Aku mengalihkan mataku, merenungkan kalimatnya. Ia sungguh pandai berkata-kata. Namun aku tetap pada pendirianku.

Aku menggeleng frustasi, “Aku tidak bisa, Oppa.” Kataku lirih, kembali memeluknya. “Aku tidak bisa.”

"Kau bisa, Rei. Kau harus bisa, berjanjilah."

"........"

"Berjanjilah Rei."

Aku memandangnya nanar, kembali airmataku berlinang, "Lalu apa jaminanku?? Apa yang akan kau berikan padaku jika aku mau berjanji?? Apa yang akan kuterima jika aku mau menurutimu??"

Untuk kesekian kalinya Kyuhyun terdiam. Kalimatku barusan membuatnya kembali merasa kebingungan. Namun sedetik kemudian Kyuhyun menunduk menatapku ragu. Detik berikutnya tatapan itu kemudian berubah menjadi penuh keyakinan. Wajah Kyuhyun mendekat kearahku, dan aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bibir penuh itu mendarat tepat dibibirku.

Ciuman pertamaku yang terasa lembut, tanpa paksaan, tanpa nafsu. Kyuhyun membiarkan bibirnya menekan lama dibibirku. Seakan memberikan kekuatan pada tubuhku. Mataku terpejam seiring butiran airmata yang mengalir ringan melalui sudut mataku.
.
.
.
Sepuluh menit itu terasa singkat, namun sangat nyata bagiku. Aku sudah berjanji padanya agar hidup dengan baik, dan ia memberikanku hadiah yang begitu mengejutkan.

Sepuluh menit itu terasa singkat, saat seseorang mengetuk pintu, menandakan pertemuan kami telah usai. Saat itulah aku yakin, tak akan ada lain kali untuk pertemuan ini.

Sepuluh menit itu terasa singkat, saat senyum perpisahan itu mengembang, lalu tubuhnya berbalik memunggungiku, berjalan menjauh meraih pintu, dan menutupnya dari luar tanpa menoleh kebelakang. Saat itulah kurasakan ada sesuatu yang menjebol dadaku.

Sepuluh menit itu terasa singkat, namun apakah aku bisa hidup sepuluh menit lagi setelah ini??

Saat itu juga dengan mudahnya aku melupakan apa yang dipesankan oleh paman. Memintaku agar menahan diri untuk tidak melakukan hal yang merugikanku, juga membuat sedih Ibu dan pamanku.

Benda dingin berwarna perak itu mengiris pelan kedua nadiku, aku bahkan tak menyadarinya sampai darah membanjiri permadani, dan tak ingat kapan terakhir kali aku mengeluarkannya dari dalam tas. Belati itu jatuh dari tanganku yang gemetaran.

Tubuhku ambruk menimbulkan suara debum ringan, nafasku tersengal, antara menangis dan menahan perih pada 2 tempat. Tangan dan hatiku.

Darah terus mengucur, menyisakan pucat diwajahku yang mulai kehabisan rona. Kepalaku pening. Mataku terasa berat, meredup. Mungkin inilah ajal terbaikku.

Sebagai idola, ia takkan pernah tahu perasaanku, sampai kapanpun. Apapun bentuk senyum yang ia berikan, aku tahu tak ada ketulusan disana. Aku bodoh karena terlalu mencintainya. Ia dengan mudah mengatakan padaku agar aku hidup dengan baik, namun nyatanya aku tak pernah merasa baik saat ia berjalan meninggalkanku.

Tubuhku semakin mati rasa, darahku semakin menipis, mengalir keluar melalui celah luka sayatan yang kubuat. Lalu yang terjadi selanjutnya hanya suara-suara derap kaki yang teredam karpet mulai merangsek mendekatiku. Suara paman berteriak, namun hanya gema yang kudengar.

Saat itulah, semua menjadi gelap.


The End


Lhoh Lhoh, koq gini akhirnya??? Muahahaha saya sadar sesadar2nya bahwa idola takkan pernah bisa bersatu dengan fansnya #Kaburrrrrrrrrrrr......